Mongabay.co.id

KLHK: Pengembangan Wisata Komodo Berprinsip Konservasi dan Libatkan Masyarakat, Benarkah?

Kawasan di pulau Rinca yang sedang dalam tahap pengerjaan pembangunan rest area oleh PT.Segara Komodo Lestari yang diprotes segenap elemen masyarakat Manggarai Barat karena berada di dalam zona inti. Foto : Kris Da Somerpes/Mongabay Indonesia.

 

Masyarakat Flores, tergabung dalam Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (Formapp Mabar) protes rencana pembangunan berbagai fasilitas pariwisata dari resort sampai restoran dan lain-lain di dalam Taman Nasional Komodo. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memastikan pengembangan wisata alam mengedepankan prinsip konservasi dan melibatkan masyarakat. Benarkah?

Baca juga: Masyarakat Tolak Pembangunan Fasilitas Wisata di Taman Nasional Komodo, Apa Alasannya?

Alimudin, warga Desa Komodo mengatakan, tak pernah ada informasi terkait konsultasi publik sebelum pembangunan oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism.

”Pada 29 Juli, masyarakat baru mendapat undangan sosialisasi, saya keberatan datang. Sosialisasi itu seharusnya sebelum pembangunan, ini sudah dibangun,” katanya kepada Mongabay.

Dia bilang, sosialisasi itu karena mulai ramai isu privatisasi di media sosial. Ramai gerakan #SaveKomodo di media sosial hingga KLHK konferensi pers.

”Tidak ada privatisasi pembangunan wisata alam di Taman Nasional Komodo,” kata Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), kala konferensi pers di Jakarta, pekan lalu.

Dia mengatakan, pemberian  izin usaha penyediaan sarana wisata alam (IUPSWA) ini berdasarkan PP Nomor 36/2010 dan Permenhut Nomor P.48/menhut-II/2010 jo. Permenhut Nomor P.4/menhut-II/2012.

Saat ini, terdapat dua izin pengusahaan pariwisata alam di TN Komodo, yakni PT Segara Komodo Lestari (SKL) di Pulau Rinca dan PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Komodo dan Pulau Padar.  Kedua izin ini, katanya, berada di ruang usaha zona pemanfaatan. Dia menekankan lagi, prosedur penerbitan izin sudah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor 21/IV-Set/2012 tertanggal 24 Februari 2012, TN Komodo memiliki luasan 173.300 hektar. Terdiri atas, 34.311 hektar zona inti, 22.187 hektar zona rimba. Lalu, 36.308 hektar zona perlindungan bahari, 59.601 hektar zona khusus pelagis, 298 hektar zona khusus permukiman, 879 hektar zona pemanfaatan tradisional daratan, 17.308 hektar zona pemanfaatan tradisional bahari, 824 hektar zona pemanfaatan wisata daratan, dan 1.584 hektar zona pemanfaatan wisata bahari.

Menurut Wiratno, setiap lima tahun sekali, zonasi ini diperbaharui atas hasil dari evaluasi. “Zona ini diubah per lima tahun, namun sampai saat ini zonasi masih sama karena belum ada usulan perubahan dari daerah.”

SKL mendapatkan IUPSWA di Pulau Rinca berdasarkan keputusan Kepala BKPM Nomor 7/1/IUPSWA/PMDN/2015 tertanggal 17 Desember 2015 seluas 22,1 hektar (0,1%) dari Pulau Rinca.

KWE mendapatkan IUPSWA Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.796/Menhut-II/2014 tertanggal 23 September 2014 seluas 426,07 hektar, terdiri dari 274,13 hektar (19%) di Pulau Padar dan 151,94 hektar (0,5%) di Pulau Komodo.

Pulau Rinca, katanya, akan dibangun restoran dan Pulau Padar dan Pulau Komodo dibangun penginapan. Izin ini jangka waktu 55 tahun dan evaluasi perlima tahun sekali. Nilai investasi keduanya rata-rata Rp2-4 miliar.

Perusahaan ini, katanya,  seharusnya membangun wisata alam paling lambat setahun sejak izin keluar tetapi masih terkendala masalah sosial. “Ini baru mau dibangun sudah didemo.”

 

Komodo menjadi salah satu dari 14 speses terancam punah prioritas peningkatan populasinya. Foto : Agustinus Wijayanto/Mongabay Indonesia

 

Meski demikian, dari luasan itu pembangunan sarana dan prasarana maksimal seluas 10% dari luas izin, atau 2,21 hektar untuk Pulau Rinca dan 42,6 hektar Pulau Komodo serta Pulau Padar. Sisanya, jadi wilayah publik.

Pembangunan jalan dengan kajian banyak aspek kebijakan, ekologis, teknis, sosial budaya dan rencana pengembangan wilayah dan konsultasi publik. ”Proses dialog publik dengan masyarakat itu penting sekali,” katanya.

Berbeda dengan pernyataan warga yang menyatakan tak ada dialog atau sosialisasi. Warga baru tahu dan ada undangan sosialisasi setelah pembangunan mau mulai.

Wiratno bilang, penolakan masyarakat bukan warga desa sekitar, namun dari Labuhan Bajo, yang digerakkan beberapa orang.

”Mungkin orang-orang di situ yang punya kepentingan wisata juga. Demo itu terjadi karena adanya kurang komunikasi dan membangun kepercayaan  dan menjelaskan, what is going on?”

KWE, katanya,  akan bekerjasama dengan masyarakat Desa Komodo dan Desa Papagarang. Sedang SKL bekerjasama dengan masyarakat Desa Pasir Panjang dalam penyediaan jasa pengembangan wisata alam.

Dalam pengembangan wisata alam ini, katanya, melibatkan tenaga ahli bidang konservasi alam dan pariwisata alam, serta masyarakat setempat. Pemegang izin juga wajib menyisihkan dana minimal 5% keuntungan dari hasil usaha untuk pembinaan dan pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi (UKMK).

Wiratno menilai, desain para investor ini sudah mendukung dan sesuai aturan. ,seperti pembangunan dan pengembangan rencana pengelolaan tak boleh mengganggu lintasan dan sarang komodo.

Proses pembangunan, katanya, gunakan system knock down (bongkar pasang) dengan persiapan di luar taman nasional.

Kedua investor, katanya, dalam pembangunan fisik seperti bangunan, sudah pakai konsep kearifan lokal dan ramah lingkungan baik segi material maupun tata cara pelaksanaan.

“Mereka menggunakan bahan bangunan material bambu dari Bajawa, menggunakan solar panel dan konsep zero waste,” ucap Wiratno.

Saat ini, katanya,  kedua perusahaan masih proses pembangunan konstruksi, dan KLHK terus memonitor.

Dia bilang, konsultasi publik dilakukan tiga desa, yang memiliki potensi berbeda-beda.

 

Pulau Komodo yang merupakan salah satu pulau terbesar di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, Manggarai Barat, Flores, NTT, yang juga gersang dan memiliki padang savana yang luas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Demi dongkrak pendapatan?

KLHK melihat, taman nasional sebagai sumber pendapatan negara cukup menjanjikan. Desa Papagarang dengan 1.252 jiwa potensi ikan pelagis, cumi-cumi dan baronang, Desa Pasir Panjang dengan 1.579 jiwa punya potensi perikanan teri, teripang dan cumi. Desa Komodo dihuni 1.725 jiwa dengan potensi pelagis, udang rebon dan cumi, serta memiliki sentra kerajinan patung komodo.

“Problemnya sebenarnya negara ini perlu gerakkan ekonomi, wisata alam itu dikunjungi 17 juta wisman, yang tiap satu orang membelanjakan US$1.000,” kata Dody Wahyu Karyanto, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi (PJLHK),  tanpa menjelaskan pertimbangan berapa banyak wisatawan bisa masuk sesuai daya dukung taman nasional hingga tak membahayakan lingkungan di sana.

Balai Taman Nasional, katanya,  adalah satuan kerja dengan setoran pendapatan negara bukan pajak tertinggi untuk lingkup Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, mencapai Rp29,1 miliar pada 2017. Terjadi peningkatan signifikan sejak 2015, pada 2014 hanya Rp5,4 miliar, pada 2015 jadi Rp19,2 miliar, 2016 sebesar Rp22,8 miliar.

Rata-rata pertumbuhan pengunjung dalam lima tahun terakhir 20%. Pada 2017 mencapai 125.069 orang merupakan angka tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Sampai Juni 2018, pengunjung mencapai 80.598 orang, 32.611 domestik dan 47.987 orang mancanegara. PNBP per 1 Agustus 2018 sebesar Rp15 miliar.

“Potensi ini jika tidak dikawinkan dengan konservasi, konservasi jadi sia-sia, juga jangan sampai berbenturan,” katanya.

Untuk  tetap mengutamakan prinsip konservasi, katanya, diatur lewat perizinan ketat dengan melampirkan desain maupun rencana kerja. “Dari zona pemanfaatan, tidak semua dikasih izin dikelola perusahaan. Dari lokasi itupun, hanya 10% boleh dibangun (areal usaha) sisanya areal publik untuk wisatawan,” katanya.

Sedangkan populasi komodo di sana mencapai 2.762, tersebar 1.226 di Pulau Komodo, 1.410 Pulau Rinca, dua di Pulau Padar, 54 Pulau Gili Montang, 70 di Pulau Nusa Kode.

Populasi di pulau besar stabil, tetapi makin menurun di pulau kecil dengan ancaman utama perburuan mangsa komodo yakni, rusa.

Taman nasional sudah jadi obyek wisata lama, tetapi KLHK baru mau mengkaji dan evaluasi soal kapasitas pengunjung yang ideal.  “TN komodo akan dibatasi izin (pengunjung), separuhnya jadi 5.000 orang per bulan. Akhir tahun ini kajian selesai dan diimplementasikan tahun depan.”

 

Daftar perusahaan yang telah mengajukan izin investasi dan melakukan aktivitas di dalam kawasan TN Komodo. Foto : Kris Da Somerpes/Mongabay Indonesia.

 

Belum sosialisasi

Alimudin bilang, ada warga menolak, tetapi ada sebagian kecil setuju dengan pembangunan fasilitas ini. Bercermin pengalaman kasus privatisasi Pantai Pede, Labuan Bajo.

”Mereka mengganggap jika menolak dengan demo ataupun apa itu namanya, tetap akan ada privatisasi di tiga desa ini, karena sudah mendapat izin pusat. Kalau sudah begini, kita mengambil keuntungan saja,” katanya.

Pemberian izin resor ini kepada swasta ini, katanya, sangat bertolak belakang terhadap sikap pemerintah kepada masyarakat.

Menurut Alimudin, dia seringkali mendapatkan surat edaran dari pemerintah terkait aturan-aturan konservasi yang dikeluarkan. Regulasi itu dianggap mengebiri hak kehidupan masyarakat karena diberi batasan dalam mencari makan dan tak boleh membangun apa saja di dalam taman nasional. Bahkan sempat ada warga yang dikriminalisasi.

”Sangat kontradiksi dengan sosialisasi konservasi yang selalu diterapkan dalam kawasan itu. Masyarakat tak boleh membangun kawasan apa saja di taman nasional, cari makan dengan A, B, C, D. Tidak boleh gunakan perangkap ikan, ya… tidak ada apa-apa demi kepentingan konservasi,” katanya.

Namun, kata Alimudin, masyarakat kaget dengan pembangunan resor di dalam TN Komodo ini karena bertolak belakang dengan alasan kepada masyarakat.

Diapun pun khawatir dengan pembangunan itu akan merusak habitat komodo. “Kemungkinan iya (merusak) tapi hingga kini kita tak tahu apa yang akan dilakukan, investor biasa memberikan kesan enak-enak, berdasarkan pengalaman tidak akan berdampak pada masyarakat.”

Masyarakat, katanya, memiliki keyakinan dan legenda bahwa komodo adalah saudara kembar. Ada rasa emosional antara masyarakat dan komodo. ”Kini, masyarakat bangga dan senang dengan komodo, tapi perut lapar,” kata pria yang sejak lahir hingga kini tinggal di Pulau Komodo.

Kris Bheda Somerpes, peneliti Sunspirit For Justice Labuan Bajo mengatakan, sosialisasi dengan setengah hati dan tergesa-gesa.

Dia bilang, penguasaan lahan oleh swasta menimbulkan beberapa kekhawatiran. Pertama, penguasaan atau pengelolaan oleh swasta atas titik-titik strategis di Taman Nasional Komodo tak membawa manfaat apa-apa kepada masyarakat dalam kawasan dan secara umum bagi Manggarai Barat.

Kedua, kehadiran swasta dalam pengelolaan kawasan strategis Taman Nasional Komodo akan menambah beban penderitaan bagi masyarakat dan para pelaku usaha wisata lokal.

”Swasta pasti susah menyediakan jasa pramuwisata dan akomodasi, juga akses terhadap jalur-jalur wisata akan dikontrol ketat. Jika ini yang terjadi, ragam usaha masyarakat setempat seperti homestay, penginapan, kapal wisata dan naturalis guide akan tersingkir dengan sendirinya.”

Ketiga, pembangunan swasta akan merenggut ruang hidup komodo dan hewan lain. Siklus dan rantai ekosistem khawatir rusak karena ada kebisingan dan polusi.

”Jika mengizinkan dua perusahaan swasta ini mengelola kawasan strategis dalam Taman Nasional Komodo bukan tak mungkin swasta lain akan berbondong-bondong merebut akses dan manfaat pembangunan yang seharusnya dinikmati masyarakat setempat.”

 

Berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (Formapp Mabar) saat melakukan aksi demo di Labuan Bajo, pada Senin (6/8/2018) menentang pembangunan sarana wisata rest area di pulau Rinca dan pulau lainnya di dalam kawasan TN Komodo. Foto : Kris Da Somerpes/Mongabay Indonesia.

 

Bukan ekowisata

Eko Cahyono, peneliti agraria menilai,  pariwisata di Indonesia, salah satu TN Komodo, belum memenuhi ekowisata tetapi hanya wisata alam.

“Wisata alam tuh yang penting bisa cepat sampai ke sana. Mau bangun apa saja, yang penting sampe wisatanya, penginapan ada dan sebagainya.”

Sedangkan, ekowisata, kata Eko, ada prinsip menjaga ekosistem. “Ga bisa bangun apapun. Prinsip kelestarian alam dan keberlanjutan masyarakat lokal serta pendidikan. Syarat dasar ekowisata tidak dipenuhi.”

Pariwisata, katanya, jadi salah satu program prioritas dengan brand Pesona Indonesia. Fokusnya, pertama, pariwisata diaggap peluang ekonomi nasional, kedua, pariwisata mampu memberikan pemasukan nasional mengganti pemasukan  nasional ekstraktif sumber daya alam. Ketiga, pariwisata jadi peluang ekonomi nasional yang belum maksimal, dianggap brand nasional yang bisa go international dengan cepat.

Eko bilang,  di Indonesia ini, pariwisata lekat dengan perampasan lahan atas nama konservasi itu. Hal itu, katanya,  bak jadi watak asli dari pemerintah. Ia selalu jadi gejala umum ditemui di beberapa tempat.

Dia pernah meneliti kebijakan strategis pariwisata nasional (KSPN), seperti di Wakatobi, Bromo Tengger Semeru, Kepulauan Seribu dan Danau Toba. Meski, TN Komodo tak masuk KSPN, ada kemungkinan masuk wilayah Labuan Bajo– salah satu daftar KSPN.

Hasil penelitian itu memperlihatkan,  pembangunan pariwisata pemerintah melalui program KSPN memiliki klaim hijau dan konservasi. ”Faktanya pariwisata itu hanya jadi sumber ekonomi yang mampu menggenjot upaya peningkatan devisa dan pendapatan. Target disamaratakan dengan jumlah kunjungan wisata.”

Label ekowisata tetapi pelaksanaan kontradiktif. “Saya mau simpulkan, kebijakan pariwisata adalah green grabbing yakni perampasan lahan masyarakat dengan isu konservasi dan lingkungan.”

 

Data pemberian izin oleh pemerintah untuk melakukan aktifitas pembangunan berbagai sarana dan pra sarana kepada PT.Segara Komodo Lestari di pulau Rinca, kawasan TN Komodo, NTT. Foto : Sunspirit Justice anda Peace/Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version