Mongabay.co.id

Tak Diakui Negara, Masyarakat Desa Sendi: Dengan Adat Kami Berjuang Dapat Pengakuan

Sejumlah orang tampak berpakaian adat. Mereka sedang melakukan ritual Ngangsu Banyu di Babakan Kucur Tabud, Desa Sendi, -sebuah desa berketinggian 1.100 m dpl di lereng barat Gunung Welirang, Jawa Timur. Saat ritual selesai, para tamu diberi kain kuning sebagai simbol ikatan persaudaraan dengan warga desa. Selanjutnya, mereka diajak berdoa bersama di Sanggar Pamudjan, Puthuk Kursi.

Hari itu (01/07), ratusan orang datang ke Sendi untuk turut melangsungkan Festival Wilayah Kelola Rakyat Desa Adat Sendi. Tujuannya, untuk meneguhkan bahwa sebagai desa adat, masyarakat Sendi mampu hidup berdikari, berdaulat dan berbudaya. Juga menunjukkan bahwa mereka mampu mengelola wilayahnya secara mandiri, berbasis lokalitas dan lingkungan hidup.

Acara dilanjutkan dengan mengarak bendera Merah Putih yang panjanya 72 meter. Bendera itu diarak keliling desa. Meski kental budaya lokal, masyarakat adat Sendi yang berjumlah sekitar 50 KK, juga memiliki rasa nasionalisme.

“Karena kami masih bagian dari Indonesia, lagu Indonesia Raya dinyanyikan dan pengibaran bendera Merah Putih masih dilakukan,” imbuh Toni, yang biasa dipanggil Ki Demang Sendi.

Baca juga: Menilik Permasalahan Pengelolaan Hutan Jawa dan Penghormatan Hak Masyarakat Adat

Menurut Ki Demang, Desa Sendi memiliki sejarah panjang. Berdasarkan cerita turun-temurun, cikal bakal penduduk Sendi dapat dirunut sejak abad ke-16. Adapun di era kolonial Belanda, eksistensi Sendi dibuktikan dengan dokumen kretek atau buku teritorial yang dikeluarkan pemerintah kolonial tahun 1915.

Sekitar tahun 1918, Sendi berkembang menjadi desa dengan aparat pemerintah desa yang sudah lengkap. Sendi kala itu berada di wilayah Distrik Djaboeng, Regentschap Mojokerto, Recidentie Soerabaja. Berdasarkan keterangan para saksi hidup, waktu itu luas wilayahnya 212 hektar.

 

Hutan dan masyarakat. Pengakuan wilayah mendorong tata kelola hutan oleh masyarakat. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, keberadaan Desa Sendi juga dibuktikan dengan adanya tanah ganjaran para perangkat Desa Sendi seluas 6 hektare. Tanah itu tercatat dalam lansiran buku C Desa Pacet tahun 1975, yang oleh pemerintah, pengelolaan lahan itu sampai sekarang dititipkan di Desa Pacet, yang lalu disebut sebagai tanah ganjaran eks Desa Sendi.

Nama Desa Sendi kemudian lenyap dari wilayah Administrasi Kabupaten Mojokerto. Di dalam Permendagri Nomor 56/2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, nama Sendi tidak termasuk dalam 299 desa dan 5 kelurahan dalam Kabupaten Mojokerto. Wilayah eks Desa Sendi juga tidak menjadi bagian desa lainnya.

Baca juga: Perhutanan Sosial Dorong Reforestasi bukan Legalisasi Deforestasi

Sejak itu, masyarakat Sendi lewat Forum Perjuangan Rakyat (FPR) Sendi yang terbentuk sejak 1999, terus berjuang agar desanya diakui secara hukum. Beriringan, mereka pun membangun kembali budaya, lingkungan dan tatanan sosialnya yang ada wilayah desa, meski pengakuan secara legal hingga saat ini belum didapatkan secara penuh.

 

***

Sebagai bagian narasi wilayah kelola rakyat, Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati yang hadir dalam festival menyebut rakyat Sendi telah mempraktekkan prinsip, norma dan aturan pengelolaan sumberdaya alam yang adil dan lestari.

Pemangku utama yang mengelola hutan adalah masyarakat Sendi yang tinggal dan hidup dari hutan. Mereka hidup sangat bergantung pada keberadaan hutan sehingga amat menjaga kelestariannya lewat aturan adat. Ini dibuktikan dengan tutupan dan wilayah hutan yang kondisinya masih terjaga.

Menurut Hidayati, ada empat pilar utama di dalam wilayah kelola rakyat.

Pertama, adalah tata kuasa, dalam pondasi awal ini perlu memastikan penguasaan berada di tangan rakyat. Generasi masyarakat Sendi yang sudah ratusan tahun tinggal di wilayah ini, menjadi tidak aman ketika pemerintah memberikan konsesi industri yang mana wilayah itu didiami masyarakat. Pengakuan secara legal atas keberadaan masyarakat dan wilayahnya itu lalu menjadi hal utama.

Pilar yang kedua adalah tata kelola. Pengelolaan hutan tidak bisa sembarangan, karena lingkungan memiliki wilayah fungsi yang saling berkaitan. Konsep tata kelola tidak melulu bicara soal pemukiman dan sawah, tetapi juga bicara soal satuan ruang hidup yang mempengaruhi mahluk hidup di dalamnya.

 

Desa Sendi berjuang mendapat pengakuan negara. Foto: Figur Kautsar

 

Misalnya sumber mata air. Tidak bisa semena-mena menghancurkan sumber mata air. Demikian juga dengan hutan. Dalam terminologi lokal, masyarakat Sendi mengenal yang namanya hutan larangan.

Ketika dikaji secara ilmiah, wilayah tersebut sangat penting dan tidak boleh ada aktivitas manusia di dalamnya, apalagi sampai dialihfungsikan. Keberadaan ritual untuk daerah itu membuat masyarakat melindungi wilayah yang dimaksud. Kebiasaan masyarakat adat itu disebut traditional wisdom atau kebijaksanaan pengelolaan oleh masyarakat lokal.

Pilar ketiga adalah tata produksi dan distribusi. Sumberdaya alam dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan keberlanjutan lingkungan. Boleh memanfaatkan alam tapi harus ada batasan, karena alam memiliki daya dukung dan daya tampung.

Kalau batas atau wilayah daya dukung itu dilewati atau dieksploitasi, maka bencana seperti banjir dan longsor akan tiba. Daya dukung atau kemampuan alam untuk menampung limbah-limbah yang kita keluarkan harus diseimbangkan.

Menurutnya, di Desa Sendi, menariknya alih-alih merusak masyarakat justru mengembalikan fungsi daya dukung. Hal ini dapat dilihat pada tebing-tebing yang terdapat tanaman bambu.

Bambu itu sengaja ditanam oleh masyarakat, karena berfungsi mengembalikan atau melindungi sumber mata air. Bahkan di musim kemarau, mata airnya pun masih ada.

Berikutnya, yang keempat yaitu tata konsumsi. Tata konsumsi ini adalah apa yang kita tanam adalah apa yang kita makan, dengan berbasis kepada swasembada dan kemandirian kewilayahan masyarakat adat.

“Jika dilihat di Desa Sendi ini, pertaniannya sudah baik. Dengan adanya festival pasar gunung itu hasil-hasil bumi dijual dan masih segar, Hal yang terpenting adalah mereka menanam sendiri kebutuhannya,” pungkasnya.

 

Figur Kautsar, penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS). Pecinta alam dan pengamat sosial, tergabung dalam Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). 

Exit mobile version