Mongabay.co.id

Warga Mantadulu Banding Demi Lahan Tak Jadi Kebun Sawit PTPN

Suasana Desa Mantadulu, yang kebanjiran setelah hujan sepanjang malam. Kini, banjir kerab datang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Warga Mantadulu menggugat PTPN XIV Unit Malili yang mengambil lahan mereka jadi kebun sawit perusahaan negara ini. Gugatan class action warga mulai Mei 2017. Awal Agustus 2018, putusan hakim keluar: menolak gugatan warga. Warga tak patah semangat, gugatan banding dilayangkan.

 

Pada sidang lapangan Mei 2018, ratusan warga berharap keputusan pengadilan memenangkan gugatan class action mereka melawan pengambilalihan sepihak lahan oleh PTPN XIV Unit Malili, jadi kebun sawit.

“Sekarang pengadilan sudah lihat, bila lahan perusahaan itu memang milik warga. Dari mulai bukti SKT (surat keterangan kepemilikan tanah-red) dari program transmigrasi hingga sertipikat. Semua ada,” kata Muhammad Nuh, warga Mantadulu.

Baca juga: Cerita Warga Awal Mula Sawit Masuk Mantadulu

Warga menggugat Mei 2017 hingga putusan 2 Agustus 2018. Jalan panjang melelahkan. Warga juga berkali-kali negosiasi dan demontrasi yang tak membuahkan hasil. “Mungkin seperti inilah jalannya. Warga tak punya kuasa, kami hanya punya keyakinan dan semangat. Itu saja,” katanya.

Pagi, 2 Agustus 2018, ratusan warga Mantadulu berkumpul. Dari desa, mereka berjalan beriringan mengendarai kendaraan roda dua dan empat menuju Pengadilan Negeri Malili, jarak tempuh sekitar 45 menit. Mereka bersemangat.

Baca juga: Kala Warga Mantadulu Berjuang Rebut Lahan dari Perusahaan Sawit Negara

Sekitar pukul 13, .00 sidang mulai. Puluhan warga masuk dalam ruangan sidang. Mereka duduk di kursi kayu. Menjelang pukul 16.00 sidang ditunda, untuk salat Ashar. Selanjutnya lembaran-lembaran putusan kembali dibaca.

Menjelang pukul 18.00 keputusan keluar. Tiga majelis hakim memutuskan jika sengketa itu tak diterima alias NO (Niet Ontvankaelijjke Verklaard). Sebuah ketetapan yang dinilai peradilan tak memenuhi syarat administrasi alias cacat formil. Dua anggota majelis menilai tak diterima dan satu anggota majelis menyatakan ditolak.

Warga menghela nafas.

 

Suasana Desa Mantadulu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Muhammad Haedir dari Lembaga Bantuan Hukum Makassar, menyatakan,  NO adalah keputusan formil. Obyek sengketa bisa kembali digugat namun pengadilan menunggu upaya penggugat dalam 14 hari, jika tak banding dan kasasi, keputusan NO akan berkekuatan hukum tetap (inkrah).

NO atau keputusan apapun, kata Haedir, murni interpretasi majelis hakim. Salah satu kasus di Sulawesi Selatan, adalah persidangan reklamasi Pantai Losari, tiga majelis hakim masing-masing berbeda pandangan. “Jika demikian yang diikuti adalah ketua majelis,” katanya.

Mantadulu adalah desa transmigrasi di Kabupaten Luwu Timur, jarak sekitar 350 km dari Makassar. Praktis hanya ada beberapa media yang pernah mengabarkan sengketa antara warga dan PTPN XIV.

Perjuangan sengit untuk mendapatkan kembali hak tanah yang diambil sepihak oleh perusahaan, menimbulkan beberapa keresahan. Beberapa warga mendapatkan intimidasi. Pasukan keamanan Brimob diterjunkan. Kriminalisasi beberapa warga terjadi. “Sekarang, sudah dinyatakan tidak diterima. Pengacara banding. Kami sudah tidak bisa mundur lagi. Ini sudah di akhir, sudah basah, sekalian basah saja,” kata Nuh.

Kuasa hukum warga, Amir Kapeng mengatakan, keputusan majelis untuk NO, menjadi pelajaran lain. “Kita upaya banding, dan memasukkan semua unsur dan bukti lain yang dianggap tidak memenuhi syarat,” katanya.

Bagi Amir, keputusan NO oleh majelis hakim, yang menyatakan jika ada ingkar dalam perjanjian atau wanprestasi, adalah keliru. “Tidak ada itu. Tidak ada perjanjian antara warga dan perusahaan. Yang ada itu perusahaan berjanji ke warga atau iming-iming,” katanya.

“Kamu tahu, dalam bahasa hukum perjanjian itu adalah kedua belah pihak. Kalau berjanji itu tidak dua pihak.”

“Kami sudah memasukkan upaya banding, pada Rabu (8 Agustus 2018) di Pengadilan Tinggi Makassar. Selanjutnya kami akan mengajukan memorinya,” kata Amir.

 

Warga, bersama majelis hakim dan perwakilan PTPN XIV, mengunjungi koordinat obyek sengketa lahan dalam kebun inti sawit, di wilayah Wana-wana Desa Mantadulu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Manager Kebun PTPN XIV Unit Malili yang membawahi kebun Mantadulu, Andi Evan mengatakan, keputusan menempuh jalur hukum langkah paling baik. “Saya belum menerima putusan. Kayaknya seperti itu (putusan tidak diterima). Kita hormati keputusan itu,” katanya.

Saat ini, pasca keputusan PN Malili, warga Mantadulu tetap tenang. Mereka menyatakan kesiapan dan semangat melihat dan mengikuti perjalanan dalam upaya banding. “Sabtu malam (4 Agutus 2018) kami berkumpul. Warga menyatakan sikap tetap berjuang,” kata Lalu Wiredana, warga penggugat.

Sebelumnya, Direktur Utama PTPN XIV Doni P. Gandamihardja mengatakan, perkebunan sawit dalam wilayah kerja di Sulawesi Selatan, merupakan tanaman tua dan renta. “Untuk 2018, perusahaan membuat perencanaan me-replanting tanaman sawit seluas 3.500 hektar,” katanya beberapa waktu lalu.

Lahan itu, kata Doni, termasuk di kebun Luwu Timur. Di Sulawesi Selatan, perusahaan plat merah ini hanya memiliki satu pabrik di Kecamatan Buaru, Luwu Timur. Kala melintas di jalan utama provinsi menuju Malili, bau menyengat acap kali tercium.  Pabrik sawit di Mantadulu adalah milik PT Bumi Maju Sulawesi.

Di Sulawesi Selatan, rencana penanaman sawit PTPN XIV, meliputi Enrekang, Wajo, Luwu Utara, dan Luwu Utara. Kantong-kantong utama ini jadi prioritas perusahaan dan mengupayakan keterlibatan warga dalam menanam sawit.

Bahkan, dengan iming-iming harga dan keberlanjutan produksi, beberapa petak lahan di Kecamatan Kalaena, berubah jadi sawit. Bahkan beberapa tempat, sawit dan sawah bersisihan.

Beberapa warga yang awalnya bertahan menanam padi, ikut beralih, ketika tetangga kebun menanam sawit. Hama tikus mulai muncul. Kini, jika berjalan dari Kota Palopo menuju Luwu Timur, pemandangan sawit bukanlah tak susah ditemui. Bahkan pemerintah daerah menjadikan tanaman peneduh di taman-taman trotoar jalan.

 

Keterangan foto utama: Suasana Desa Mantadulu, yang kebanjiran setelah hujan sepanjang malam. Kini, banjir kerab datang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version