Mongabay.co.id

Menghadirkan Kemerdekaan di Sektor Kelautan, Bagaimana Caranya?

Ada banyak cara memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke 73 tahun. Di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (17/8/2018), Keluarga Besar Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi memperingatinya dengan upacara bendera di laut. Mereka berharap, peringatan yang digelar di Tugu Boboca, perbatasan Manado dengan kabupaten Minahasa ini, dapat memperkuat nasionalisme sekaligus menumbuhkan kecintaan pada sumberdaya kelautan dan perikanan.

Lawry Sabatry Otay, ketua panitia kegiatan itu mengatakan, tahun ini kegiatan mengambil tema “Hidupkan Lautmu dengan Semangat Merah Putihmu”. Lewat tema itu, ia berharap, berbagai pihak mau terlibat untuk menjaga dan melindungi laut, serta sumberdayanya.

“Indonesia merupakan negara kepulauan yang lautnya sangat luas. Jadi kami harap, laut kita, laut Indonesia, dijaga, dilindungi dan dirawat dengan semangat kesatuan negara Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika, dan semangat merah putih,” terang Lawry pada Mongabay di lokasi kegiatan, Jumat (17/8/2018).

Secara teknis, Valdy Pungus, alumnus program studi Ilmu Kelautan Unsrat menceritakan, proses pengibaran bendera dimulai dengan 3 orang petugas yang menerima bendera dari pembina upacara. Mereka kemudian menyerahkannya pada petugas yang telah menunggu di perahu.

Dari situ, bendera diserahkan pada pengibar dalam air yang akan membentangkan dan mengibarkannya hingga menjulang beberapa meter dari permukaan laut. “Biasanya kan dibuat hanya pengibaran di laut, hanya bentangkan bendera di laut. Di sini, kami bikin berbeda. Dari darat ke laut, kemudian bendera naik ke udara,” terang Valdy.

baca : Mengusung Kepedulian Lingkungan, Begini Cara Mereka Merayakan Kemerdekaan

 

Keluarga Besar Ilmu Kelautan Unsrat Manado melakukan pengibaran bendera 17 Agustus 2018 dari dalam laut di perairan Tugu Boboca, perbatasan Manado dengan kabupaten Minahasa. Upacara ini untuk menanamkan semangat kebangsaan yang berasal dari laut. Foto : keluarga besar ilmu kelautan Unsrat/Mongabay Indonesia

 

Merdeka dari Sampah

Valdy berharap, peringatan kemerdekaan kali ini dapat menumbuhkan nasionalisme, rasa cinta pada lingkungan hidup serta sebuah bentuk dukungan pada program Nawacita. Salah satu bentuk nyata dari harapan-harapan tadi, kata dia, adalah membebaskan laut dari sampah.

“Lewat kegiatan ini, kami mengajak untuk tidak menggunakan plastik. Panitia juga membawa botol minum masing-masing. Karena belakangan sampah jadi ancaman. Ya, kami akan berjuang untuk memerdekakan Sulawesi Utara dari sampah,” tambahnya.

Gustaf Mamangkey, Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Unsrat membenarkan bahwa sampah menjadi persoalan yang mengancam ekosistem laut. Hanya saja, dia percaya, kualitas pengetahuan sebagian besar masyarakat di Sulawesi Utara sudah semakin meningkat.

Namun, untuk meminimalisir permasalahan ini, pemerintah dipandang perlu memperkuat infrastruktur, serta membuat aturan untuk mendorong produsen agar lebih berpihak dan bertanggungjawab pada lingkungan hidup.

 Selain memberi advokasi kesadaran pada masyarakat, pemerintah juga harus mempersiapkan armada dan distribusi yang baik. Kemudian, harus ada tekanan pada produsen plastik. Harus ada regulasi. Mereka (produsen) juga harus mempertanggungjawabkan itu. Keberpihakan pada lingkungan harus benar-benar dibuktikan,” ujar Gustaf kepada Mongabay.

Keluarga besar program studi Ilmu Kelautan Unsrat telah melakukan pengibaran bendera di laut sejak tahun 2002. Lewat kegiatan itu mereka berharap dapat menanamkan semangat kebangsaan yang berasal dari laut.

“Kami menaikkan bendera dari bawah laut, tapi tiangnya harus keluar ke angkasa dan bendera itu harus benar-benar berkibar. Harus diketahui semua orang. Sementara, dari laut itulah akarnya, semangatnya,” tambah Gustaf.

baca juga : Nasionalisme Suku Bajo Merayakan Kemerdekaan Indonesia

 

Proses pembentangan bendera di bawah air. Keluarga Besar Ilmu Kelautan Unsrat Manado melakukan pengibaran bendera 17 Agustus 2018 dari dalam laut di perairan Tugu Boboca, perbatasan Manado dengan kabupaten Minahasa. Foto : Keluarga Besar Ilmu Kelautan Unsrat/Mongabay Indonesia

 

Kesejahteraan Nelayan

Di tempat terpisah, Alex Ulaen, Sejarawan Maritim Sulawesi Utara memandang, kemerdekaan di sektor kelautan harusnya juga membawa nelayan dan masyarakat pesisir pada kehidupan yang sejahtera. Namun, sejauh ini, cita-cita itu dianggap masih menjadi cita-cita.

Menurut dia, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir. Pertama, aparatur negara di wilayah kepulauan harus lebih proaktif dan mampu membuat rancangan sesuai dengan kebutuhan lokal.

Upaya lain adalah dengan memberi jaminan permodalan, serta menempatkan mereka sebagai subjek dalam rantai produksi. Karena, masih menurut Alex Ulaen, meski aktif melakukan penangkapan ikan namun nelayan di wilayah kepulauan tidak memiliki kemampuan untuk menentukan harga, masalah keterbatasan pasar, serta alat tangkap ikan.

“Jadi, semua stakeholder perlu diberdayakan. Sebab, berdasarkan rekaman pengalaman kami, bantuan atau subsidi tidak membangun mentalitas tapi justru merusak. Dengan menyediakan hal-hal yang sederhana tapi tepat guna, itu lebih positif,” terang Alex Ulaen ketika ditemui Mongabay.

Bahkan, pada tahun 2012 ketika meluncurkan salah satu bukunya, dia pernah menyarankan ke beberapa pelaku usaha untuk mengambil inisiatif seperti kapal-kapal Filipina, yang menjemput ikan pada nelayan-nelayan lokal. Sebab, contohnya, salah satu keuntungan nelayan Sangihe bagian utara adalah kedekatan geografis dengan Filipina, dibanding Manado ataupun Bitung.

 Tapi, kalau jual ke Filipina tidak ada retribusi dari nelayan ke daerah. Akhirnya, kuncinya adalah aparat yang terlibat di situ harus proaktif. Jangan hanya duduk di kantor. Lepas (aparat sipil negara) ke pulau-pulau.”

“Sebab, kalau indikatornya adalah Nawacita, maka kemerdekaan di sektor kelautan belum sepenuhnya tercapai. Karena bagaiamanapun juga, masyarakat bahari masih terikat dan tergantung pada pasar. Jadi, nelayan sesudah menangkap belum bisa menentukan harga, kemana jualnya, kalau tidak dijual gimana dengan tempat penyimpanan ikan,” demikian dikatakan Alex Ulaen.

Susan Herawati, Sekretaris Jendral Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, di 73 tahun usia kemerdekaan Indonesia, masih banyak konflik terjadi di sektor pesisir serta tingginya angka alih profesi nelayan. Dengan begitu, kata merdeka masih terkesan abstrak bagi nelayan.

“Secara fisik kita tidak lagi dijajah Belanda, tapi oleh pola pembangunan yang tidak ramah terhadap nelayan. Ditambah lagi, rezim investasi cenderung meminggirkan nelayan,” kata dia ketika dihubungi Mongabay.

Meski pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam, namun UU tersebut dinilai terlampau jauh dari upaya negara untuk melindungi nelayan.

“Karena mandat UU No.7/2016 masih diartikulasi hanya sebatas kartu-kartu, kartu Kusuka, atau asuransi. Tapi untuk hal yang paling mendasar seperti kepastian usaha, hak akses nelayan untuk melaut, masih belum dijamin dan dilindungi oleh negara,” pungkas Susan.

 

Exit mobile version