Mongabay.co.id

Bahas Orangutan Tapanuli KLHK akan Undang Ahli, Petisi Penyelamatan Tembus 1,3 Juta Orang

Inilah bayi kembar orangutan tapanuli dengan induknya yang terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: SOCP

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tampak galau bersikap atas rencana pembangunan pembangkit listrik air di Batang Toru, Sumatera Utara, yang disebut bakal mengancam kehidupan orangutan Tapanuli. Satu sisi,  bilang mau bahas dan kaji bersama para ahli, sisi lain menyatakan, proyek ini penting dan strategis demi pasokan listrik dan pengairan pertanian. Padahal,  para ilmuan dunia sudah menyuarakan kekhawatiran keterancaman terhadap kehidupan orangutan Tapanuli yang hanya ada sekitar 800-an.

Baca juga: Para Ilmuan Dunia Kirim Surat ke Jokowi Khawatir Pembangunan PLTA Batang Toru

Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, akan berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk melihat proyek hidropower dan dampak pada orangutan Tapanuli.

Dia juga bilang, akan memanggil para pakar orangutan untuk mengkaji segala dampak dengan Direktorat Penelitian dan Pengembangan KLHK serta pihak terkait. “Selanjutnya saya akan panggil pakar orangutan itu,” katanya.

Baca juga: Walhi Gugat Gubernur Sumut soal Izin Lingkungan PLTA Batang Toru

Ketika ditanyakan, kemungkinan menyetop pembangunan ini, Wiratno, malah bilang bendungan dan PLTA ini proyek strategis. “Wah,  itu proyek strategis, dampaknya bagus sekali untuk pertanian dan listrik,” katanya.

Dia bilang, ada seluas 110.000 sebagai habitat orangutan hingga masih terbilang luas meskipun begitu kajian bersama ilmuan akan dilakukan. “Ya nanti kita bicarakan bersama secara scientific based.”

Baca juga: Jangan Ada Lagi, Izin Perusahaan yang Mengancam Habitat Orangutan Tapanuli

Orangutan ini merupakan spesies baru orangutan yang baru rilis November 2017. Baru pengumuman, sudah ada rintangan menghadang sekitar 800 satwa ini yang hidup di hutan Batang Toru, Sumatera Utara ini. Satu proyek listrik pembangkit air yang akan dibangun PT North Sumatera Hydro Energi (HNSE), akan bikin bendungan dan membuka berkilo-kilo meter jalan.

 

 

Sebelumnya, pada Selasa (10/7/18), sebanyak 25 ilmuan terkemuka dunia tergabung dalam Allliance of Leading Environmental Researchers and Thinkers (ALERT) mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Surat mereka kirim melalui Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta.

Baca juga: Proyek PLTA di Hutan Batang Toru Dibangun untuk Kepentingan Siapa?

Para peneliti dan pakar mengatakan, rencana PLTA ini gagal bekerja saat pengamatan dari dekat. Baik International Finance Corporation Bank Dunia maupun Asian Development Bank menolak membantu proyek ini, terutama karena alasan lingkungan.

“Penelitian kami menunjukkan, di tempat munculnya jalan-jalan dan pembangunan lain, kera ini menghilang. Kera ini hanya hidup di pepohonan dan tak dapat bertahan hidup tanpa hutan-hutan utuh,” kata Mohammed Alamgir dari Universitas Chittagong di Bangladesh, dalam rilis pekan lalu.

Walhi Sumatera Utara, juga sudah ajukan gugatan kepada Pemerintah Sumut karena menyetujui proyek ini. Penolakan ini didorong keterancaman orangutan Tapanuli, spesies kera besar paling langka di dunia.

 

Aliran air yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik Sumatera Utara dan Aceh ini, berasal dari hutan lindung dan Ekosistem Batang Toru. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Perusahaan berusaha beli pengaruh?

William Laurance, profesor dari Universitas James Cook di Australia mengatakan, proyek PLTA ini diprotes baik di Indonesia maupun internasional. Sebagai tanggapan, katanya, NSHE sedang menekan dan membujuk para ilmuwan, membagi-bagi uang untuk membeli pengaruh, membuat pernyataan palsu.

“Sekarang mempekerjakan firma humas yang memiliki keahlian di bidang manajemen krisis perusahaan. Taktik-taktik ini benar-benar tercela,” katanya, pekan lalu.

Firma humas ini, katanya, mengajak pertemuan tatap muka dengan banyak ilmuwan. “Sambil mengulang argumen-argumen palsu dari perusahaan itu,” kata Erik Meijaard dari Borneo Futures Initiative di Brunei. Pada 1997, Meijaard merupakan ilmuwan pertama yang menemukan orangutan Tapanuli di alam liar.

Proyek ini akan dibangun dengan pendanaan dari Tiongkok sekitar US$1,6 miliar. “Ini akan merusak wilayah-wilayah paling penting dari rumah kecil kera-kera itu,” kata Alamgir.

Laurance sudah malang melintang mengurusi masalah-masalah serupa selama 40 tahun. “Saya kira saya sudah melihat semuanya— korupsi, ancaman, pelobi-pelobi berbayaran tinggi. Saya tidak pernah melihat perusahaan gunakan firma humas untuk melawan konsensus ilmiah dan membingungkan masyarakat umum,” katanya.

Kondisi ini memperlihatkan, kata Laurance, ada banyak uang tersangkut. Perusahaan, katanya,  akan melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang mereka mau—meskipun para ahli terkemuka dunia sudah memberi tahu kalau itu ide buruk.

Para ilmuan ini mendesak masyarakat Indonesia dan para pengusaha internasional menghindari hubungan dengan NSHE. Mereka juga meminta Bank of China, menjauh dari NSHE atau akan berkontribusi jadi penyebab kematian satwa langka di Sumut itu.

Myrna Soeryo, konsultan humas dari A+ untuk NSHE memberikan tanggapan. “Klien kami, yaitu NSHE, berinisiatif dan beritikad baik berdiskusi terbuka dan transparan dengan ke-25 ilmuwan terkemuka dunia yang tergabung dalam ALERT,” katanya.

Inisiatif dan itikad baik itu, katanya, dengan menyurati pribadi ke-25 ilmuwan dan mengajak bertatap muka guna berdiskusi lebih lanjut atas kesalahpahaman yang mungkin terjadi.  “Di belahan dunia manapun, di tempat para ilmuwan dunia itu tinggal atau bersedia untuk bertemu,” katanya dalam keterangan kepada Mongabay, pekan lalu.

Dia bilang, tak ada pembagian uang maupun pemberian tekanan untuk membeli pengaruh ke-25 ilmuwan dunia.

William Laurance, professor yang mengatasnamakan pemimpin dari ke-25 ilmuwan dunia ini, katanya, pada e-mail tercatat 8 Agustus, menyambut baik itikad NSHE untuk bertatap muka dan berdiskusi langsung.

“NSHE juga telah bersedia mengikuti ground rules yang diajukan Professor Laurance, yaitu diskusi akan direkam langsung dan bisa dibagikan hasil rekaman ke publik serta tak ada interupsi.”

NSHE, katanya, dengan senang hati menerima pihak-pihak terkait yang ingin mendengarkan diskusi ini secara terbuka. NSHE mengusulkan waktu pertemuan awal September 2018.

“Kami masih mengharapkan itikad baik dari Professor Laurance, untuk bertatap muka dan berdiskusi dengan perwakilan NSHE secara transparan, terbuka dan penuh itikad baik untuk mencari solusi bersama bagi keberlangsungan keragaman hayati di ekosistem Batang Toru,” kata Myrna.

 

Ekosistem Batang Toru. Sumber peta; Batangtoru.org

 

Penandatangan petisi lebih 1,3 juta orang!

Sementara itu, sebuah petisi penyelamatan orangutan Tapanuli muncul di Avaaz. org.

“Wahai penduduk dunia, kami butuh kalian ikut mendorong upaya penyelamatan 800 orangutan Tapanuli dari kepunahan dengan membatalkan pembangunan bendungan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru. Nasib dari spesies tersisa ini ada di tangan anda.”

Begitu bunyi petisi di Avaaz.org, yang menyerukan kepada pemerintah Indonesia dan Presiden Joko Widodo, untuk menghentikan pembangunan bendungan di Batang Toru. Petisi ini sudah ditandatangani lebih dari 1,3 juta orang!

Kampanye ini dimulai setelah 25 orang ahli dari berbagai negara memberikan peringatan soal ancaman kepunahan orangutan Tapanuli, andai pembangunan bendungan di habitat orangutan itu, terus jalan.

Petisi ini mendesak Presiden Indonesia,  Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar agar menyetop  ancaman yang bisa mengganggu kehidupan orangutan Tapanuli ini.

Mike Baillie, juru kampanye dunia Avaaz mengatakan, nasib orangutan Tapanuli ada di tangan Presiden Jokowi. Kalau bendungan itu  terus jalan, katanya, akan jadi malapetaka bagi binatang  di Batang Toru ini.

“Orang-orang dari seluruh dunia meminta Presiden Joko Widodo melakukan hal yang benar, dengan menyelamatkan ikon dunia yang ada di Indonesia itu,” katanya dalam rilis kepada Mongabay.

Dia bilang, penduduk Indonesia dan dunia telah menandatangani dan menyebarkan kampanye ini untuk menyelamatkan orangutan Tapanuli yang ada. Dalam waktu, singkat dukungan terkumpul begitu banyak, lebih dari 1,3 juta tandatangan dari target 1,5 juta.

 

Keterangan foto utama: Inilah bayi kembar orangutan tapanuli dengan induknya yang terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: SOCP

Hutan Batang Toru, sumber air masyaraat tiga kabupaten. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version