Lima belas tahun lalu, Kementerian Sosial membangun trans Suku Anak Dalam (SAD) di Dusun Tigo, Desa Sepintun, Kecamatan Pauh, Sarolangun, Jambi. Puluhan rumah dibangun untuk keturunan Batin Telisak dan Sekamis. Belakangan, rumah-rumah itu banyak dijual pada pendatang. Hanya sebagian SAD masih menetap sampai sekarang.
Baca juga: Rumah bagi Orang Rimba, Benarkah Solusi (Bagian 1)
Kejadian serupa juga terjadi di Singosari, Sungai Sekamis dan beberapa program perumahan lain.
Di Sungai Geger, Kabupaten Batanghari, pemerintah juga membangun 55 rumah untuk rombongan Tumenggung Jelitai, Melimun, Ngamal, dan Girang. Pemerintah menjanjikan membangun sekolah, Puskesmas, dan lahan usaha perkebunan. Sampai lima tahun, sarana yang dijanjikan tak kunjung dibangun. Nasib pun sama, terlantar. Rumah banyak rusak dan ditinggalkan penghuni.
Baca juga: Nasib Orang Rimba, Baru Terusir dari Kebun Sawit, Kini Terancam di Konsesi HTI
Dalam catatan Dinas Sosial Jambi, program rumah Kemensos di Sarolangun, tak hanya di Sepintun, juga di Sungai Mensio, Sungai Sekamis dua kali, Bukit Suban, Pulau Lintang, Gurun Tuo, Desa Jernih, terakhir di Kecamatan Limun, sekitar 50 rumah.
Gagal terus
Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau mengatakan, belum ada program pemukiman orang Rimba yang dibangun pemerintah berhasil.
“Buyar semua!”
Kegagalan tentu bukan tanpa sebab. Menurut Feri, pemerintah tak berpikir bagaimana orang Rimba biasa hidup nomaden dan berburu itu bisa mencukupi kebutuhan hidup, saat mereka dipaksa menetap. Pemerintah hanya membangun rumah tanpa lahan usaha yang cukup.
“Ini sama dengan ngandangin orang, kehidupan tak pernah dipikirkan,” kata Feri.
Rata-rata, hanya orang Rimba yang meninggalkan budaya dan kepercayaan yang berhasil menetap. Contoh, Tumenggung Tarib, setelah jadi mualaf, dia tinggal di perkampungan di Air Hitam dan bekerja sebagai toke karet. Namanya juga berubah jadi Jaelani atau dikenal Haji Jaelani.
Feri bilang, pemerintah harus mau belajar dari kesalahan sebelumnya. Merumahkan orang Rimba tak bisa hanya dengan membangunkan rumah. Orang Rimba perlu ladang sumber hidup.
“Orang Rimba ini kayak orang perantau, mereka punya hubungan emosional dengan kampung halaman di Bukit Duabelas. Suatu saat mereka pasti akan kembali.”
Dia mendorong, program perumahan dibangun dekat kampung orang Rimba, jika perlu di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).
***
Ledakan penduduk di Jawa, berimbas pada kehidupan orang Rimba. Dekade 1970-80an, ribuan penduduk Jawa membanjiri Jambi lewat program transmigrasi. Pembukaan hutan untuk lahan terjadi besar-besaran.
Program transmigasi mengkonversi kawasan hidup orang Rimba jadi petakan-petakan kebun sawit yang dianggap mampu melipatgandakan ekonomi masyarakat dalam waktu singkat.
Lokasi transmigrasi Hitam Ulu dan Air Hitam berada persis di pinggir TNBD. Batas hutan dan desa sedemikian terbuka.
Jalan lintas Sumatera yang menghubungkan antar lokasi transmigrasi, ikut memancing munculnya pendatang baru. Pertumbuhan penduduk di lokasi transmigrasi terutama generasi kedua, telah memberikan tekanan berat terhadap hutan yang tersisa.
Sedang hutan penyangga TNBD yang semula tempat hidup orang Rimba, habis dibagi-bagi untuk 16 perusahaan pengeksploitasi kayu.
Catatan Komunitas Konservasi Indonesi (KKI) Warsi luas konsesi HPH mencapai 1,5 juta hektar. Eksploitasi tanpa kendali terjadi di hutan dataran rendah. HPH juga memfasilitasi pembalakan lanjutan dan perambahan melalui jaringan jalan.
Sekarang, beberapa eks HPH di kawasan orang Rimba telah berubah jadi izin HTI, luas mencapai 318.851 hektar. Sebagian mengantongi izin dari gubernur dan bupati.
Rudi Syaf, Manajer Komunikasi KKI Warsi mengatakan, kondisi orang Rimba sudah miris, ruang hidup terkepung perkebunan sawit skala besar dan industri kayu rakus lahan.
Ada perusahaan sawit menguasai lahan sebelah selatan barat TNBD. Sebelah selatan izin konsesi HTI. Di bagian utara ada HTI juga dan sebelah timur ada perusahaan sawit dan HTI.
Dampaknya, ruang hidup orang Rimba di luar taman nasional menyempit. Hilang hutan, menyeret orang Rimba jauh ke luar dan menempati pinggiran jalan lintas. Alih-alih mendapat akses lebih mudah, hidup mereka justru lebih rentan.
Kehidupan terbuka dengan masyarakat luar, membuat pola hidup orang Rimba berubah. Mereka tak lagi melangun dan berburu babi untuk konsumsi. Budaya mereka hilang dan nilai berburu babi berubah menjadi sumber ekonomi lebih kompleks.
Bisnis perdagangan babi, jadikan orang Rimba sebagai pemburu liar yang dipaksa memenuhi kebutuhan pasar. Pengusaha babi memobilisasi mereka berpindah-pindah, mengikuti jumlah populasi babi.
Willi, pernah lima tahun mendampingi orang Rimba di Bukit Duabelas mengatakan, orang Rimba di lintas resisten berkonflik dengan masyarakat umum. Karakter mereka cenderung emosional, berbeda dengan orang Rimba di dalam Bukit Duabelas.
“Hari-hari megang kecepek, berdarah-darah memburu babi, itu secara psikis mempengaruhi perilaku.”
Praktiknya, orang Rimba terjebak dalam bisnis babi meluas, tak hanya di Sarolangun juga di Batanghari, Tebo dan Muara Bungo. Hampir setiap hari, masyarakat dihadapkan dengan orang Rimba yang menyandang kecepek, berseliweran keluar-masuk perkebunan.
Harga daging babi Rp5.000 per kg. Orang Rimba harus kerja keras mencukupi kebutuhan ekonomi yang terbelit utang tengkulak.
“Mereka harus kejar target, kehidupan mereka pora-poranda,” kata Willi.
Jadi pengemis
Hampir dipastikan, orang Rimba selalu kalah dalam persaingan ekonomi dengan masyarakat umum. Banyak dari mereka lantas menuju kota jadi pengemis untuk bertahan hidup.
Pertengahan Juli, petugas Dinas Sosial Kota Jambi, mengangkut 20 orang Rimba dari empat keluarga bermalam di Dinas Sosial.
Hasan Asari, Kasi Pelayanan dan Rehabilitasi Disabilitas dan Napza, mengatakan, mereka dari Kabupaten Batanghari, namun tak tahu empat keluarga orang Rimba itu dari kelompok siapa. Esokan hari mereka diserahkan ke Dinas Sosial Batanghari.
“Kalau ditanya, kenapa sampai ke Jambi (Kota Jambi) ya itu bilangnya hutan habis,” kata Hasan.
Upaya penyelamatan ruang hidup orang Rimba, bukan tidak pernah dilakukan sebelumnya. Pada 2000, Presiden Abdurrahman Wahid, menyetujui perluasan dan perubahan status cagar biosfer menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas dengan total 60.500 haktar.
Penetapan ini tak lepas dari peran Warsi yang riset kawasan adat orang Rimba antara 1997-1999. Tujuan Warsi ingin memperluas ruang hidup orang Rimba, dan mereka berhasil.
Namun TNBD hanya mampu menyelamatkan kelompok orang Rimba di dalamnya, mereka di luar kawasan kehilangan hutan.
Orang Rimba di luar taman nasional tak bisa masuk ke kawasan TNBD. Sebab, TNBD jadi wilayah adat 15 ketemenggungan, seperti kelompok Makekal Hulu, Makekal Tengah dan Makekal Hilir, Kejasung Besar Ulu, Kejasung Besar Ilir, Kejasung Kecil, Terap, dan Kelompok Air Panas.
“Yang di luar, ini yang hari ini bermasalah, karena tidak punya ruang. Bahasa kasarnya tidak lagi punya tanah untuk ruang hidup,” katanya.
“Kalau yang di dalam kawasan mereka masih happy.”
“Kalau pemerintah hari ini mendorong mereka untuk memiliki lahan dan membangunkan rumah, kami sangat setuju,” kata Rudi.
Dia mendukung niat pemerintah mendorong orang Rimba menetap dalam kawasan terpadu. Meski dia tahu betul, program merumahkan orang Rimba bukanlah ideal.
“Idealnya dikasih hutan, tapi itu sudah tidak mungkin. Sebab biaya menyediakan lahan di hutan lebih mahal dibanding merumahkannya.”
Rudi mulai hitung-hitungan, setiap keluarga paling tidak mendapatkan jatah sepuluh hektar jika pemerintah ingin memberikan hutan. Artinya perlu lahan 600 haktare lebih yang harus disiapkan. Menurut Rudi, itu jauh lebih sulit untuk dipenuhi dibandingkan pemerintah membangun perumahan.
Program transmigrasi jadi contoh nyata bagaimana pemerintah Soeharto berhasil memindahkan ribuan orang Jawa ke Sumatera.
Rudi ingin itu jadi contoh. Program transmigrasi, katanya, sangat terpadu. Masyarakat dapat perumahan, jatah hidup, ada penyuluhan, pendampingan, bantuan bibit, terpenting lahan garapan.
“Buktinya (transmigrasi) Rimbo Bujang, sukses.”
“Kalau orang Rimba dikasih rumah tok, rumah dijual. Jangan salahkan mereka kalau dijual,” katanya.
“Bergurulah dengan transmigrasi.”
***
Sejak 1995-2003, program perumahan komunitas adat terpencil telah mengadopsi pola transmigrasi, kendati demikian tetap gagal. Hanya sedikit Suku Anak Dalam—sebutan umum pemerintah untuk semua komunitas adat di Jambi—yang berhasil menetap, rumah ditinggal, sebagian dijual.
“Sulit sekali menghilangkan budaya nomaden, sulit berubah,” kata Usup Suryana, Kepala Seksi Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, Dinas Sosial Jambi.
“SAD lebih suka berburu dibanding belajar bercocok tanam. Waktu itu hutan masih banyak, jadi mereka balik lagi ke hutan. Kalau sekarang, mereka mau balik ke mana? Hutan sudah habis jadi kebun sawit,” katanya.
Merumahkan komunitas adat di Jambi mulai sejak 1990an. Hingga 2017, pemerintah telah 57 kali membangun perumahan untuk SAD di Jambi. Seingat Usup, ada delapan lokasi yang dianggapnya berhasil.
“Kalau ada lima lokasi pemukiman, terus tiga yang ditempati itu dianggap berhasil. Dulu mereka tidak mengenal motor, sekarang mereka mengenal motor, itu kita anggap berhasil,” katanya.
Dia membenarkan, banyak program perumahan gagal tetapi Usup menuding penyebabnya pemerintah kabupaten tak konsisten meneruskan program pemerintah pusat. Banyak dinas tak mau ikut andil, mereka hanya mengandalkan Dinas Sosial.
“Ada ego sektoral, menurut mereka SAD itu urusan Dinas Sosial saja. Jadi mereka merasa tak perlu ikut tanggung jawab,” katanya.
Hingga 2019, Dinas Sosial punya program perumahan SAD di 37 lokasi di delapan kabupaten. Ada 7.677 jiwa dari 1.885 keluarga akan dirumahkan. Program perumahan di Makekal Ilir, Tebo, telah masuk tender. Selanjutnya, di Sungai Damai, Kecamatan Limun, Sarolangun dicalonkan dibangun pada 2019.
“SAD juga harus mendapatkan layanan dari program pemerintah karena itu hak mereka,” kata Usup.
“Walaupun gagal tetap dicoba.”
Saat ini, katanya, ruang hidup orang Rimba, sudah sempit, bahkan sebagian tak lagi punya hutan. “Disitulah negara harus hadir. Karena itu kewajiban negera sesuai UU.”
Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Usup percaya SAD akan menyesuaikan. Banyak SAD menikah silang dengan orang luar, sebagian mereka hidup menetap.
Pergeseran budaya
Adi Prasetijo, antropolog Universitas Diponegoro menilai, yang dilakukan Bupati Sarolangun tak jauh beda dengan program Kemensos sebelumnya. Sibuk membangun pemukiman, tetapi mengabaikan sumber penghidupan untuk orang Rimba.
“Akhirnya mereka mencuri sawit, menduduki lahan untuk penghidupan mereka, setelah dapat, dijual.”
Masalah yang dihadapi orang Rimba bukanlah soal pemukiman, tetapi sumber penghidupan makin sulit. Banyak konflik di luar Bukit Duabelas, muncul karena sumber daya hutan mereka habis.
Masuk 1990an, konflik orang Rimba dengan masyarakat luar meningkat bahkan berujung pembunuhan.
“Saya ingat dulu di Sungai Ruan, orang Rimba jalan malam terus mereka dibunuh orang yang memalang jalan.”
Masyarakat melihat orang Rimba sebagai sumber masalah. Mereka dicap suka mencuri. Itu terjadi, lantaran orang Rimba menganggap apa yang di alam milik bersama. Pemikiran seperti itu bertolak belakang dengan pemahaman masyarakat umum.
Tijok, biasa dipanggil, mengatakan, kasus pencurian orang Rimba kebanyakan sumber makanan. “Ada kasus pencurian di warung, itu saya selidiki yang mereka ambil adalah makanan.”
“Kalau yang tinggal di daerah sawit, mereka ambil brondol sawit, itupun mereka belajar dari orang Melayu yang tinggal di sana. Karena itu menguntungkan, maka mereka mencontoh.”
Bagi orang Rimba, hutan bukan hanya sumber penghidupan, juga identitas budaya. Saat hutan berubah, dipastikan timbul masalah.
Pada saat sama, terjadi pergeseran sosial dan budaya orang Rimba. Perlahan ragam budaya unik hilang saat mereka hidup di luar hutan. Hasil riset Tijok, orang Rimba di Bukit Tigapuluh yang hidup menetap, mengalami perubahan tradisi. Begitu juga orang Rimba di Air Panas. Salah satu penyebabm program merumahkan orang Rimba.
Sejak tahun 70an, Kemensos berusaha merumahkan orang Rimba, tetapi, tak satupun program berhasil. “Karena orang Rimba menganggap rumah mereka adalah hutan.”
Dalam kosmologi orang Rimba, tidak mengenal rumah menetap. Juga ada persumpahan antara orang Rimba dengan orang Melayu.
Orang Rimba tinggal di hutan dan akan menjaga semua yang ada di hutan. Mereka pantang makan hewan ternak.
Menurut dia, yang dilakukan pemerintah tak menjawab akar masalah. Orang Rimba, katanya, selalu dilihat sebagai korban, sejatinya mereka adalah aktor unik dan punya cara sendiri bertahan hidup dengan budayanya.
Menurut Tijok, pemerintah harus bisa memfasilitasi orang Rimba yang ingin berubah, dan mereka yang ingin tetap mempertahankan adatnya.
“Saat mereka dipaksa berubah, orang Rimba akan melampaui kosmologi mereka.”
Yang terpenting dalam program pemukiman adalah mengakomodir budaya orang Rimba.
Keluar dari budaya
Tawaran perumahan datang ke Makekal Ulu, dekade 80an. Tetapi kelompok Tumenggung Celitai menolak keluar dari dalam kawasan hutan adat di Bukit Duabelas.
Mijak Tampung bilang, dalam adat orang Rimba, menerima dirumahkan sama artinya memilih untuk meninggalkan adat.
“Kalau kelompok orang Rimba terima rumah, artinya adat budaya hutan tanoh kito, artinyo kito campak, kito buang tidak digunokan lagi. Untuk apo mempertahankan Bukit Duabelas, serahin aja ke pemerintah atau dijual pada pemerintah, kasih uang orang Rimba berapa miliar tiap KK sudah,” katanya. Mijak adalah anak didik Saur Marlina “Butet” Manurung, pendiri Sokola Rimba.
“Orang rimba itu sudah punya rumah, untuk apa rumah, rumahnya ya Bukit Duabelas itulah.”
Katanya, masyarakat adat harus berpegang pada adat dan menjaga wilayah adatnya. Beberapa tumenggung dianggap bertindak gegabah karena menerima dirumahkan. Mijak bilang, akan bahaya jika semua kelompok menerima untuk dirumahkan. Ia takut pemerintah dengan sengaja ingin mengosongkan Bukit Duabelas dengan cara membangun perumahan di luar kawasan adat dan memodernisasi orang Rimba.
“Politiknya kan manis, halus, tidak bisa dilihat sembarangan orang.”
Kekhawatiran Mijak, tidak sebatas pengosongan kawasan TNBD, tetapi lebih dari itu. Konflik sosial besar-besaran akan terjadi antara orang Rimba setelah mereka dirumahkan. Alasannya adalah aturan adat.
“Ketika sekelompok orang Rimba memberontak, bahwa orang Rimba yang telah dirumahkan tidak punya hak lagi di dalam wilayah adat, pasti akan muncul konflik sosial besar-besaran.”
“Tapi apakah orang yang menerima perumahan, rela seperti itu?”
“Tapi saya tak mau jahat, tak mau jadi provokator.”
Ancaman kerusakan hutan juga semakin terbuka, ketika orang Rimba yang hidup di luar kawasan menikah dengan orang luar. Mereka akan membawa masuk keluarganya ke dalam kawasan adat untuk membuka lahan perkebunan baru. Apa yang dikhawatirkan Mijak, seperti tak terpikirkan oleh pemerintah.
“Jokowi ke Bukit Duabelas juga tak bawa perubahan, malah pengangguran tambah banyak. Kebun karet di Makekal itu setiap orang punya puluhan hektar tapi tak ada disadap, karena harganya rendah, jalan tidak ada.”
“Kalau pemerintah pusat turun malah programnya rumah, rumah, apokah bisa makan rumah, orang rimba tidak bisa makan rumah,” kata Mijak, terdengar kesal.
Menurutnya, orang Rimba yang hidup di perumahan justru akan lebih sengsara, dua kali lebih sengsara dibanding kelompok yang tinggal di dalam kawasan. Mereka yang hanya bisa bercocok tanam dan berburu, dipaksa hidup di luar hutan dengan pengetahuan terbatas. Akibatnya, banyak orang Rimba jadi pengangguran meski hidup dengan kemodernan.
“Punya motor tapi tak punya penghasilan, akhirnya banyak kasus pencurian brondol sawit, atau minta-minta (jadi pengemis). Kasusnya yang saya datangi, itu orang-orang yang terima perumahan.”
“Mau berkebun dia sudah tidak mau lagi, gengsi, sudah terima kemodernan,” kata Mijak.
Yang dibutuhkan orang Rimba adalah bagaimana caranya agar ekonomi mereka meningkat. Harga karet stabil dan tersedia jalan untuk membantu mereka menjual hasil hutan bukan kayu. Di dalam kawasan TNBD, orang Rimba memiliki banyak kebun karet.
“Kebun karet sudah cukup, tapi hasilnya mano? cuma dimanfaatkan tengkulak, karena pemerintah belum turun tangan, harga getah tidak jelas, fasilitas dak ado, jalan dak ado.”
Kata Mijak, sebenarnya orang Rimba punya keinginan yang sama dengan pemerintah, menjaga kelestarian hutan. Tidak hanya untuk orang rimba tapi buat semua orang. Saat bencana kebakaran hutan 2015, orang Rimba di Bukit Buabelas membuktikan mereka berhasil menjaga rumahnya. Sekali lagi dia bilang, keinginan orang Rimba bukan rumah. “Bukan rumah.”
“Cari langkah itu hati-hati, jangan sok pintar tapi mengorbankan banyak orang.” (Selesai)
Keterangan foto utama: Rumah ‘hutan’ orang Rimba yang hancur. Kemana mereka bergantung hidup? Foto: Heriyadi Asyari/ Warsi