Mongabay.co.id

Merayakan Kemerdekaan dari Karst Kendeng sampai Gunung Kerinci

Para petani dan sedulur sikep di Omah Kendeng sehabis upacara bendara ala petani. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Tampak puluhan warga berdatangan ke Omah Kendeng di  Kecamatan Sukulilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis pagi, (17/18/18). Tiang bendera dari bambu berdiri tegak. Ratusan petani Kendeng dan Sedulur Sikep menggelar upacara Kemerdekaan Indonesia ke-73.

Seorang anak jadi komandan upacara. Berbeda dengan upacara bendera lain, upacara ini khas petani, terutama Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Komandan memakai udeng, baju sorjan, tanpa alas kaki. Peserta upacara pakai caping, perempuan berkebaya, dan peserta lain bebas. Usai upacara, mereka juga adakan acara bersih-bersih dengan mengumpulkan sampah di sekitar.

Warga Pegunungan Kendeng ini memaknai kemerdekaan itu kala warga atau petani merasa aman karena lahan pertanian, maupun sumber air mereka tak terganggu. Merdeka itu ketika Pengunungan Kendeng tak jadi lahan tambang yang bisa menghancurkan air, sebagai sumber kehidupan warga. Kini, warga Pegunungan Kendeng, sedang memperjuangkan karst Kendeng, tetap terjaga dan lestari.

Bambang Sutikno, mewakili JMPPK mengatakan, 73 tahun Indonesia merdeka tetapi rakyat tani masih tertindas.

Pemerintah, seharusnya melayani dan mengabdi pada rakyat tetapi malah membela pemodal yang tak henti merusak alam, dan merampas hak-hak petani.

“Gunung-gunung kaya mineral, sebagai cagar alam, dieksploitasi atas nama investasi. Hutan lindung beralih fungsi jadi hutan produksi agar bisa dieksploitasi. Inikah arti merdeka?” katanya, kepada Mongabay.

 

Para petani dan anak-anak petani di Pegunungan Kendeng merayakan kemerdekaan dengan memungut sampah di Omah Kendeng. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Mereka, katanya, sebagai petani terus terganggu dan terancam kehilangan sumber air dari perizinan dan aturan yang berpihak pada industri semen.

“Penduduk mayoritas bertani, seharusnya kebijakan pembangunan mendayagunakan pertanian,” kata Bambang.

Gunretno, dari JMPPK mengatakan, petani di Kendeng, belum merdeka dari ancaman pertambangan kapur atau ekspansi industri semen.

Dia contohkan, berbagai upaya mempertahankan kelestarian Pegunungan Kendeng mereka dilakukan, bahkan mendesak kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Di pengadilan warga menang, namun keluar akrobat melawan hukum dilakukan gubernur dan perusahaan dengan izin lingkungan baru. Bahkan,  hasil KLHS merekomendasikan agar cekungan air tanah (CAT) Watuputih jadi kawasan karst lindung.

Dalam kajian KLHS menyebutkan, pertambangan batugamping di CAT Watuputih bisa menimbulkan kerugian ekonomi tinggi sekitar Rp2,2 triliun per tahun.

KLHS tahap pertama khusus CAT Watuputih. KLHS lanjutan, meliputi tujuh kabupaten, di dua provinsi, yaitu, Grobogan, Pati, Blora, Rembang (Jawa Tengah), dan Tuban, Bojonegoro dan Lamongan (Jawa Timur).

Hasil rekomendasi KLHS tahap II, menegaskan, ekosistem Pegunungan Kendeng secara umum berada pada titik kritis yang dapat mengancam keberlanjutan.

Dia bilang, penting segera ada langkah-langkah darurat, konkret, terencana baik, dan sistematis mencegah lebih jauh kemerosotan ekosistem Pegunungan Kendeng. Dia tekankan, rekomendasi KLHS tahap II,  yaitu rencana program yang berorientasi upaya rehabilitasi lingkungan, dan mengendalikan kerusakan lingkungan.

“KLHS Pegunungan Kendeng semestinya segera jadi rujukan menghentikan penambangan di seluruh Pegunungan Kendeng, bahkan di Pulau Jawa,” kata Gunretno.

Presiden Joko Widodo, sudah berjanji menyelamatkan Pegunungan Kendeng, tetapi belum terwujud. Perwakilan JMPPK yang bertemu Jokowi dua tahun lalu meminta agar Pegunungan Kendeng diselamatkan dari ancaman kehancuran.

 

Para pemuda Pati tergabung dalam KPPL Pati protes tambang batu gamping buat semen yang bakal rusak Pegunungan Kendeng. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Kala itu, Jokowi menyepakati dan memerintahkan, pertama, perlu segera dibuat analisa daya dukung dan daya tampung Pegunungan Kendeng melalui KLHS.  Kedua, pelaksanaan KLHS dikoordinasi Kantor Staf Kepresidenan (KSP) mengingat masalah di Kendeng bersifat lintas kementerian dan lintas daerah.

Ketiga, pelaksanaan KLHS nanti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagai ketua panitia pengarah. Keempat, selama proses KLHS sekitar satu tahun, semua izin setop. Kelima, pemerintah menjamin proses dialog dan rembuk multi pihak yang sehat selama proses KLHS berlangsung.

“Dari perintah Pak Jokowi itu, ternyata perintah keempat sama sekali tidak dijalankan,” kata Ngatiban, warga Desa Tegaldowo, Gunem, Rembang.

Menurut dia, semua izin dan operasi tambang tak setop. PT. Semen Indonesia, di Rembang akhirnya menyelesaikan pembangunan pabrik dan beroperasi hingga kini. Bahkan izin pertambangan tetap keluar masif oleh Pemerintah Jawa Tengah.

Dari data izin usaha pertambangan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jateng 2018, setelah instruksi Jokowi, Pemerintah Jateng,  justru menerbitkan setidaknya 41 perizinan tambang di Rembang dan tujuh di Pati yang masuk dalam lokasi kajian KLHS Kendeng.

Hal paling nyata, katanya, penerbitan kembali izin lingkungan dan IUP operasi untuk Semen Indonesia di Rembang,  yang sebelumnya dicabut putusan Mahkamah Agung.

“Sebelum kerusakan dan kondisi kritis makin parah, kami menagih janji Pak Jokowi menyelamatkan Pegunungan Kendeng dari kehancuran.”

Data JMPPK, dari dokumen KLHS, karst di Jawa,  memiliki luas paling kecil dari wilayah lain, total 5292,9 km persegi, atau hanya 3,5 % dari total karst di Indonesia (154.000 Km2). Untuk Pulau Jawa jumlah pabrik semen paling banyak, ada 21 pabrik sudah beroperasi di sebagian besar karst di Jawa, yang tergabung dalam Asosiasi Semen Indonesia.

“Melihat hasil KLHS tentang Pegunungan Kendeng dan kondisi karst di Jawa,  Pemerintahan Jokowi perlu memoratorium semua karst di Jawa,” kata Gunretno.

Untuk itu, katanya, perlu kebijakan konkret demi melindungi keberlanjutan dan ruang hidup masyarakat di seluruh karst Jawa.

 

 

Bersih sampah tukar kopi

Lain perayaan kemerdekaan di Pegunungan Kendeng, lain di Gunung Kerinci. Di Gunung Kerinci, sampah yang dikumpulkan para pendaki bisa tukar dengan kopi.

Kala memasuki gerbang pos pendakian awal, angin begitu kencang. Beberapa pendaki mulai turun selepas merayakan Hari Kemerdekaan di Puncak Gunung Kerinci.

Heri Gunawan, terlihat lelah, bibir memucat, badan gemetar dengan sekantong besar sampah juga dibawa turun. Pendaki asal Medan ini tidak tahu ada kegiatan Petani Peduli Gunung Kerinci Bersih diadakan Perkumpulan Petani Alam Korintji (Alko).

Suryani, Ketua Kelompok perempuan tani bunga arabika yang tergabung dalam perkumpulan petani Alko bertugas menjaga stand penukaran kopi gratis dengan sampah yang dikumpulkan para pendaki.

Suryani menjemput sampah yang dibawa Herman dan anggota kelompok pendaki. Di stan itu ada kopi sudah seduh dan penganan yang dibuat secara sukarela oleh kelompok tani. “Ayo minum kopi dulu mas, ini juga ada kuenya,” kata Suryani.

 

Pendaki yang bawa sampah ke bawah, dapat kopi ini. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Herman kaget. Dia senang karena dapat hadiah 12 bungkus kopi untuk tim pendakinya. Mereka membawa sampah hampir 20 kilogram. Ada beberapa sampah botol mineral sudah cukup lama juga mereka pungut. Herman bercerita,  mereka telah menyiapkan kantong sampah sebelum berangkat mendaki. Baginya, pendaki harus peduli kebersihan gunung.”Saya biasa daki selalu bawa kantong sampah untuk membawa kembali sampah yang saya bawa dari bawah. Pendaki harus cinta lingkungan. Wujud nyata ya tidak buang sampah sembarang.”

Herman menyaksikan banyak sampah bertebaran di beberapa jalur pendakian. “Banyak sampah di atas, mba’. Bahkan,  di sekitar tenda para pendaki,  sampah dibiarkan begitu saja.”

Herman bukan satu-satunya yang mau mengumpulkan sampah. Ada sekitar 500 pendaki dari total 1.500 an membawa sampah turun dan menyerahkan ke stan Perkumpulan Petani Kopi Alko.

Suryono Direktur Perkumpulan Alko mengatakan, awalnya inisiatif ini bentuk kegelisahan para petani kopi dengan banyak sampah di Gunung Kerinci. “Ada turis datang melalui kelompok kami, merasa kesal sampah-sampah yang berserakan.”

Dia menunjukkan video dan unggah ke media sosial. “Kami berpikir kelompok kami akan dirugikan jika mengurangi turis berkunjung,” katanya.

 

 

Suryono mengatakan, sampah tak hanya kurangi kunjungan turis, juga berimbas pada produksi dan kualitas kopi mereka.

“Berimbas pada kopi kami, karena air dari atas mengandung sampah, kami takut kopi tercemar. Padahal pasar sudah ekspor ke Australia, Amerika dan beberapa negara Eropa lain. Pembeli ini sangat memperhatikan sekai kualitas dan keberlanjutan kopi-kopi yang kami tawarkan,” katanya.

Sebanyak 515 petani dalam 24 kelompok tani di 17 desa yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Alam Korintji bersepakat menyisihkan hasil panen kopi mereka mendukung bersih Gunung Kerinci. “Tidak ada sumbangan dari pihak manapun, inisiasi ini dari petani untuk mendukung pertanian ramah lingkungan. Masing-masing petani menyisihkan satu kilogram biji kopi ceri petik merah.”

Sampah, memang salah satu persoalan di Kerinci. Agusman, Kabag Tata Usaha BTNKS mengatakan,  sudah ada aturan bagi para pendaki wajib lapor di posko awal. Di sana pendaki dapat satu kantong sampah dan identitas kependudukan ditahan.

Selama ini, katanya, aturan sudah berjalan tetapi memang kesadaran pendaki minim.

Desta Satri,  pendaki asal Palembang bilang,  harus ada aturan tegas bagi pendaki.  Dia contohkan, di Gunung Sibuatan. Sejak awal naik sudah ada pemeriksaan barang bawaan.

“Ketika turun, sampah-sampah yang kami bawa ini harus sesuai catatan yang ada.  Jika tidak,  pendaki diberikan denda bahkan dicabut izin mendaki atau naik kembali untuk jemput sampah,” katanya.

Agusman mengaku BTNKS kekurangan personel memeriksa setiap pendaki. ”Kita sedang menyusun standar operasi pendakian, termasuk pembatasan kuota. Kalau HUT Kemerdekaan dan tahun baru pendaki membludak dan personil tak bisa menangani ini.”

Data terakhir kerusakan TNKS sekitar 20% dari total 1.389.510 hektar. Peningkatan ekonomi masyarakat di luar kawasan jadi solusi mengurangi tekanan.

Murnardi, Direktur Lahar, bilangm  dalam mengurangi perambahan TNKS dengan peningkatan produksi lahan pertanian. “Dengan lahan sempit, mereka bisa menghasilkan banyak. Kita mendorong petani organik tak gunakan pupuk.”

 

Bahan kerajinan

Sementara,  sampah-sampah yang dikumpulkan tadi akan jadi berbagai kerajinan. Kaliem,  Direktur Kerajinan Alko mengatakan, mulai memproduksi berbagai kerajinan dari limpah sampah plastik, dan botol.

“Sampah ini kita akan pilah, mana yang bisa dimanfaatkan jadi bahan dasar kerajinan, mana sampah basah dan tidak bisa diolah kami koordinasikan dengan Dinas Kebersihan,” katanya.

Kaliem bercerita, pemanfaatan sampah jadi kerajinan ini jadi penghasilan tambahan bagi keluarga. Kerajinan-kerajinan berupa tas dan topi dari kantong plastik bisa seharga Rp50.000 sampai ratusan ribu.

Kaliem juga sering jadi pelatih beberapa kelompok perempuan daur ulang di Kerinci. Bagi dia, perempuan adalah ujung tombak kebersihan dan kelestarian lingkungan. “Kalau perempuan ini kan suka resik, indah. Sebenarnya,  kelestarian dan kebersihan lingkungan itu di tangan perempuan.”

 

Keterangan foto utama:   Para petani dan sedulur sikep di Omah Kendeng sehabis upacara bendara ala petani. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Bahan kerajinan yang dibuat dari sampah yang dikumpulkan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version