Mongabay.co.id

Apakah Pembangunan Poros Maritim Sudah Sukses?

Perayaan Hari Maritim Nasional, tiga hari lalu, 21 Agustus 2018, menjadi momen penting bagi Indonesia untuk mengevaluasi sejauh mana fokus Porom Maritim yang dibawa kepemimpinan Presiden Joko Widodo sudah berjalan. Dalam empat tahun terakhir, Poros Maritim menjadi tumpuan masyarakat pesisir untuk mengembangkan dirinya.

Tetapi, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memberi penilaian khusus untuk kinerja Poros Maritim dan menyimpulkan bahwa periode kepemimpinan Joko Widodo dan wakilnya Jusuf Jalla, dianggap gagal mensejahterakan masyarakat pesisir Indonesia.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati di Jakarta, Selasa (21/8/2018) mengatakan, dalam melaksanakan poros maritim dunia, ada lima pilar yang selalu menjadi pijakan Indonesia dalam bekerja. Kelimanya, adalah (1) membangun kembali budaya maritim Indonesia, (2) menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama, dan (3) memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep sea port, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.

Kemudian, Susan menyebutkan, pilar berikutnya atau keempat yang menjadi pijakan, adalah penerapan diplomasi maritim melalui usulan peningkatan kerja sama di bidang maritim dan upaya menangani sumber konflik, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut dengan penekanan bahwa laut harus menyatukan berbagai bangsa dan negara dan bukan memisahkan.

“Untuk terakhir atau kelima, yaitu membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim,” tutur dia.

baca : KNTI : Poros Maritim, Masih Belum Jelas Hingga Sekarang

 

Aktivitas di tempat pelelangan ikan Beba Galesong Utara, Takalar. Diperkirakan 20 ribuan nelayan yang berprofesi sebagai nelayan di sepanjang pesisir Takalar dan menjual ikannya di TPI ini. sejumlah nelayan mengeluhkan mulai adanya penurunan tangkapan ikan sejak adanya penambangan pasir di perairan mereka. Foto Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Susan, pilar yang menjadi pijakan dalam melaksanakan pembangunan poros maritim dunia di Indonesia, sudah berjalan sejak Jokowi memimpin Negeri ini empat tahun lalu. Tetapi, selama itu pula, Indonesia hanya dijadikan sebagai sub narasi One Belt One Road (OBOR) Tiongkok. Kinerja tersebut, menjelaskan bahwa kepemimpinan Jokowi gagal mewujudkan Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia.

“Indonesia harus melayani kepentingan ekonomi-politik Pemerintah Tiongkok. Di sisi lain, Pemerintah juga semakin memperlihatkan keberpihakannya kepada investor,” ungkapnya.

Bukti bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi lebih banyak berpihak ke investor, Susan mengungkapkan, banyak proyek yang dilaksanakan dengan dalih untuk meningkatkan daya saing Indonesia di dunia internasional. Kenyataannya, proyek-proyek tersebut hanya sebagai pembungkus saja untuk memuluskan jalan keberpihakan kepada para pemilik modal.

Adapun, proyek-proyek yang dibangun dengan dalih untuk meningkatkan daya saing Indonesia, di antaranya proyek reklamasi, proyek destinasi wisata baru, konsesi tambang di pesisir, serta berbagai proyek lainnya yang berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir. Di saat yang sama, kesejahteraan masyarakat pesisir justru berjalan di tempat dan itu menjadi kabar buruk bagi masyarakat pesisir.

baca juga : Begini Kampanye Kebijakan Kelautan Indonesia untuk Wujudkan Indonesia Negara Maritim

Susan menambahkan, selama empat tahun Jokowi memimpin Indonesia, sebanyak 38 wilayah pesisir di Indonesia sudah menjalani proses reklamasi. Proyek yanga sudah berjalan itu, pada kenyataannya memunculkan permasalahan karena ada lebih dari 700 ribu keluarga nelayan yang terdampak dan terpaksa kehilangan wilayah tangkapan ikan.

Selain proyek reklamasi, Susan menyebutkan, masyarakat pesisir di Indonesia juga menderita oleh proyek pertambangan pesisir dan proyek pariwisata pesisir serta pulau-pulau kecil yang saat ini tengah dikembangkan oleh pemerintah melalui proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Untuk proyek tambang, sebanyak 32 ribu keluarga nelayan menjadi terdampak.

“Sementara itu, proyek pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil yang merampas ruang hidup, menjadi ancaman setidaknya bagi satu juta keluarga nelayan di Indonesia. Kesimpulannya, setelah empat tahun poros maritim, masyarakat pesisir di Indonesia tak lebih sejahtera. Sebaliknya, mereka semakin kehilangan ruang hidup akibat kebijakan pembangunan,” tandasnya.

menarik dibaca : Negara Tidak Hadir di Tengah Masyarakat Pesisir?

 

Nelayan menyandarkan ikan di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timur, NTB. RIbuan nelayan di perairan Lombok Timur terancam mata pencahariannya karena rencana pengerukan pasir laut oleh PT DAR untuk reklamasi Teluk Benoa Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Labuan Bajo

Salah satu contoh kebijakan yang sudah merugikan masyarakat pesisir, adalah Peraturan Presiden No.32/2018 tertanggal 5 April 2018 tentang Badan Otoritas Pengelola Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores. Perpres tersebut menjadi yang ketiga setelah BOP Danau Toba di Sumatera Utara, dan BOP Borobudur Jawa Tengah.

Tak cukup disitu, Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA Parid Ridwanuddin memastikan, Presiden masih akan menerbitkan Perpres yang sama untuk BOP Wakatobi dan BOP Bromo Tengger Semeru. Khusus untuk BOP yang ada di wilayah pesisir, dia menyebut bahwa pembentukan BOP menjadi catatan negatif karena itu sama saja dengan merampas ruang hidup masyarakat yang ada di kawasan pesisir.

Parid mengatakan, di dalam Perpres 32/2018 Pasal 2 ayat 2 dan ayat 3, disebutkan bahwa BOP Kawasan Labuan Bajo Flores akan menguasai wilayah paling sedikit hingga mencapai 400 hektar, yang diantaranya meliputi Desa Gorontalo seluas 83 hektar dan Desa Nggorang seluas 83 hektar. Keduanya terletak di kecamatan Komodo.

baca : Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo Ditetapkan Presiden, Apa yang Harus Dibenahi?

Adapun, total kawasan di bawah kontrol dan penguasaan BOP tersebar di 6 kabupaten, di Nusa Tenggara Timur, yaitu Manggarai Barat, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, dan Flores Timur. Dalam catatan KIARA, kawasan Pariwisata di bawah kontrol dan penguasaan BOP tak hanya terletak di kawasan daratan, tetapi juga masuk di kawasan pesisir.

“Hal ini akan berdampak kepada kehidupan masyarakat pesisir di enam kabupaten yang dijadikan kawasan BOP Labuan Bajo Flores,” jelasnya.

Menurut Parid, pembentukan BOP Labuan Bajo Flores merupakan cara baru perampasan ruang hidup masyarakat pesisir, khususnya di NTT. Kesimpulan itu muncul, karena di dalam Perpres 32/ 2018, Pasal 23 ayat 1 poin c, disebutkan bahwa BOP Kawasan Labuan Bajo Flores memiliki wewenang untuk menyewakan dan atau mengadakan kerja sama penggunaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah dengan pihak ketiga, serta menerima uang pembayaran sewa dan atau uang keuntungan hasil usaha kerja sama.

baca juga : Marta Muslin: Turisme Labuan Bajo Harus Buat Warga Lokal Sejahtera

 

Aktivitas di perairan pelabuhan Labuan Bajo Manggarai Barat, NTT. Pelabuhan ini dekat dengan gugusan kepulauan Taman Nasional Komodo. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sementara, Direktur Eksekutif WALHI NTT Umbu Wulang Tana Amahu Paranggi menuturkan, akibat proyek BOP yang sudah digulirkan dan diperkuat dengan Perpres, tak sedikit masyarakat pesisir yang tak bisa lagi mengakses laut untuk menangkap ikan. Hal itu terjadi, karena masyarakat sudah dilarang memasuki BOP Labuan Bajo Flores yang menjadi kawasan pariwisata.

“Setidaknya ada 1.719 nelayan yang tinggal di kawasan Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo yang terancam ruang hidupnya,” ungkapnya.

Paranggi menyebutkan, akibat proyek pariwisata di NTT, seorang warga di Kabupaten Sumba Barat bernama Poro Duka harus meregang nyawa. Dia menjadi korban dari proyek yang didesain bukan untuk membangun kehidupan masyarakat pesisi. Akan tetapi, proyek seperti itu disediakan untuk memberi kemudahan para investor dalam mencari rupiah.

Dari data KIARA, diketahui jumlah masyarakat pesisir di enam kabupaten sangat banyak. Di Kabupaten Manggarai Barat, jumlahnya mencapai 1.026 rumah tangga Perikanan (RTP), Kabupaten Manggarai sebanyak 841 RTP, Kabupaten Ngada sebanyak 917 RTP, Kabupaten Ende sebanyak 2.010 RTP, Kabupaten Sikka sebanyak 1.493 RTP, dan Kabupaten Flores Timur sebanyak 3.047 RTP.

“Total rumah tangga nelayan yang akan terdampak proyek pariwisata ini sebanyak 9.334 keluarga,” tegas dia.

Tak hanya soal pembangunan fisik, Paranggi kemudian mengkritik pendanaan proyek-proyek seperti itu. Khusus untuk proyek BOP seperti di Labuan Bajo Flores, pendanaan terpaksa dilakukan dengan cara berhutang kepada lembaga-lembaga donor internasional seperti Bank Dunia.

“Setelah Proyek KSPN Danau Toba, KSPN Borobudur, dan KSPN Mandalika, kini Proyek KSPN Labuan Bajo Flores akan didanai oleh utang dari World Bank. Pemerintah harus segera menghentikan proyek ini demi keberlanjutan kehidupan masyarakat pesisir yang lebih berdaulat di atas tanahnya sendiri,” pungkasnya.

 

Exit mobile version