Mongabay.co.id

Pilih Mana, Energi Fosil atau Energi Terbarukan?

Dengan laju pertumbuhan populasi penduduk Indonesia yang tinggi dan arus urbanisasi, diramalkan kebutuhan Indonesia akan energi bakal meningkat setiap tahunnya. Sesuai hukum permintaan, bertambahnya penduduk akan meningkatkan kebutuhan listrik, yan pada akhirnya akan meningkatkan jumlah bahan bakar yang digunakan.

Pada tahun 2016 hampir 65 persen bahan baku yang digunakan untuk memproduksi listrik di Indonesia berasal dari batubara, selanjutnya gas alam (27,05%), minyak solar (6,16%) dan minyak bakar (1,96%).

Pada tahun 2050, kebutuhan batubara akan meningkat tajam sebesar lebih dari 5 kali lipat dari tahun 2015. Di tahun itu diperkirakan pertumbuhan energi akan sebesar 7,1% per tahunnya, dimana sektor yang paling tinggi mengkomsumsi energi listrik berasal dari rumah tangga dan industri.

Baca juga: Tumpahan Batubara di Pantai Lampuuk: Pemerintah Didesak Usut Tuntas, Perusahaan Harus Tanggung Jawab

Ketergantungan akan batubara sangatlah besar, hal ini bisa disebabkan karena harga batubara yang kompetitif dan pesatnya perkembangan industri berbasis batubara (semen, kertas, tekstil, dan lainnya).  Sejalan, peningkatan kebutuhan untuk energi lain seperti gas bumi diprediksi juga turut meningkat, dengan rata-rata pertumbuhan 3,9 persen per tahun.

Di sisi lain, konsumsi energi berbahan bakar fosil (BBM) juga masih mendominasi. Bauran energi yang dikonsumsi di Indonesia 25% berasal minyak, 11% dari gas bumi, 11% listrik, 6,2% batubara, 4,8% LPG, dan masih sangat minor untuk energi terbarukan seperti biodiesel, panas bumi, angin, air, dan matahari.

Tanpa upaya mengurangi pemakaian bahan fosil dan upaya konversinya lewat energi terbarukan, pemanfaatan BBM akan meningkat dengan laju pertumbuhannya, yang diproyeksikan sebesar 6,4% per tahun.

 

Dua orang anak berjalan di kawasan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon I di Desa Kanci, Astanajapura, Cirebon, Jabar. Lepasan hasil pembakaran PLTU  batubara berpengaruh pada kesehatan karena mencemari udara karena asapnya mengandung polutan berbahaya. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Prediksi Kedepan Energi Nasional

Pertanyaannya apakah peningkatan kebutuhan ini akan terus sejalan dengan suplai bahan bakar fosil yang tersedia di Indonesia?

Menurut data dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), cadangan untuk minyak bumi di Indonesia terus menurun dari 5,9 miliar barel pada tahun 1995 menjadi 3,7 miliar barel pada tahun 2015. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor, termasuk semakin tuanya sumur minyak yang ada, dan menurunnya eksplorasi migas yang ada. Jika ini terus berlangsung, diperkirakan cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dalam kurun waktu 11 tahun lagi.

Kondisi serupa pun terjadi untuk cadangan gas alam. Cadangan gas alam terbukti terus menurun dan produksinya saat ini diperkirakan akan habis dalam kurung waktu 36 tahun kedepan.

Demikian juga batubara. Pada tahun 2017 Indonesia menghasilkan 487,6 juta ton batubara, dimana sekitar 28,9% dari batubara tersebut diekspor ke China. Tanpa temuan baru, maka cadangan batubara diperkirakan akan habis dalam waktu 70 tahun.

Sebaliknya, sejak tahun 2004 volume impor minyak bumi Indonesia semakin membesar, dan kecenderungan ini akan terus meningkat hingga 2050. Dari sisi geopolitis keamanan negara,  status net importer country tidak menguntungkan, berpengaruh pada keamanan negara karena selanjutnya negara akan tergantung atas impor energi dari negara lain.

Untuk menarik kembali investor berinvestasi untuk eksplorasi dan eksploitasi migas, maka Pemerintah harus mengatur kembali regulasi yang ada, lebih fleksibel dalam menentukan besaran bagi hasil, serta memberikan insentif fiskal dan non fiskal dalam kegiatan industri hulu migas.

 

Kendala Pengembangan Energi Terbarukan

Selama ini teknologi energi baru dan terbarukan (EBT) serasa menjadi anak tiri. Padahal geografis Indonesia memungkinkan untuk mendapat nilai keuntungan (advantages) yang bisa mendorong kemandiran energi nasional.

Energi solar dan angin misalnya dapat dikembangkan di wilayah kepulauan Indonesia, termasuk untuk menjangkau dan membangkitkan wilayah-wilayah terpencil.

Alasan yang sering dikemukanan, adalah mahalnya eksplorasi, teknologi dan biaya pembangunan terhadap sumber-sumber energi baru dan terbarukan.

Baca juga: PLTU Batubara Sumber Polusi, Kebijakan Pemerintah Terhadap Energi Perlu Direvisi

Dalam jangka pendek, investor lebih senang membangun power plant bertenaga uap berbasis batubara yang memiliki teknologi “plug and play” impor, alih-alih memilih berinovasi pada EBT. Akibatnya negara ini pun terjebak dalam perangkap pragmatisme jangka pendek.

Padahal sejatinya, EBT memiliki masa depan cerah. Teknologinya yang rendah emisi akan sangat menguntungkan bagi lingkungan. Dengan ramah lingkungan, maka akan menekan biaya eksternalitas yang pada akhirnya hitungan jangka panjang menjadi sumber energi yang jauh lebih ekonomis.

Buangan emisi dari energi fosil pun dapat ditekan. Sebuah penelitian upaya reduksi emisi yang dilakukan pemerintah, seperti optimalisasi pembangkit listrik EBT diprediksikan akan mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 22% atau penurunan emisi 6.150 juta ton CO2 dari tahun 2015 sampai 2050.

Bandingkan jika buangan gas rumah kaca (GRK) dari sektor pembangkit listrik yang terjadi akibat penggunaan batubara. PLTU akan melepaskan sulfur dioksida yang merupakan sumber polutan utama yang dihasilkan dari pembakaran batubara.

Secara alami, sulfur dioksida hanya berasal dari erupsi vulkanik, konsentrasinya yang sangat tinggi di udara dapat menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan mengakibatkan berbagai penyakit pernafasan seperti bronchitis.

 

Energi terbarukan, salah satu sumber angin, begitu besar di Indonesia, tetapi masih minim dimanfaatkan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Dengan kondisi energi saat ini dan asumsi pertumbuhan rata-rata PDB Indonesia sebesar 6%, diprediksikan emisi GRK meningkat dari 551 juta ton CO2e pada tahun 2015 menjadi 2.868 juta ton CO2e pada tahun 2050. Ini didominasi oleh sektor pembangkit listrik (47%), industri (21,1%) dan transportasi (20,9%). Emisi dari sektor ini diprediksi terus meningkat seiring dengan peningkatan konsumsi energi.

Memilih energi terbarukan berarti juga berkontribusi pada target reduksi GRK. Seperti tertuang dalam dokumen NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia, maka target penurunan emisi GRK adalah sebesar sebesar 29% dengan kemampuan sendiri (unconditional) dan sampai dengan 41% dengan dukungan internasional (conditional) dibandingkan dengan tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030.

Dengan prediksi akan menjadi negara net impor energi pada tahun 2031, dan jika masih tergantung pada energi fosil, maka hanya ada satu jalan bagi pemerintah untuk mulai mengelola lagi bauran energi yang ada dengan energi bersih dan EBT. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan kebijakan dan regulasi, membangun ruang fiskal, dan menyediakan ruang-ruang insentif yang ada untuk investasi guna perkembangan energi terbarukan.

Positifnya, upaya ini akan berpengaruh terhadap target emisi GRK dalam dokumen NDC Indonesia yang sudah ditetapkan. Dampaknya, energi bersih pun dapat dimanfaatkan dan tak merugikan masyarakat.

 

*Ratna Tondang,penulis adalah lulusan Program Studi Rekayasa Kehutanan, Institut Teknologi Bandung. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version