Mongabay.co.id

Sulawesi Tenggara Masih Daerah Rawan Perburuan Penyu

 

Penyu merupakan satwa dilindungi. Sayangnya, di beberapa daerah, seperti di Sulawesi Tenggara, masih banyak pengkonsumsi daging penyu. Beberapa penelitian sudah menyebutkan, bahaya mengkonsumsi penyu, bahkan sudah banyak korban jiwa berjatuhan karena makan daging penyu.

Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra, menyatakan, perburuan penyu biasa di laut Sultra yang berbatasan langsung dengan Sulawesi Tengah. Satwa ini juga diperjualbelikan sampai Rp1 juta per penyu.

Bahkan, orang Bajo memakai daging penyu dalam upacara atau pesta adat tertentu. Walaupun sebelumnya mereka percaya hewan itu banyak menolong manusia ketika mendapat musibah di laut. Istilah pamali atau tabu itu tak bertahan.

“Ini salah satunya. Kalau ada pesta di Kampung Bajo Konawe biasa makan penyu,” kata Darman, Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sultra, kepada Mongabay.

Jenis penyu yang diperdagangkan di Sultra, antara lain, penyu hijau. Dari penelusuran dan pengakuan dari pemakan penyu, daging penyu bisa didapat di Konawe dan Konawe Selatan. Tak semua orang bisa membeli penyu. Pemburu penyu tak sembarang menjual dan menerima orang jadi pembeli.

Kan hewan dilindungi,” kata Gl, pemakan daging penyu.

Minggu (12/8/18), saya mengunjungi Desa Bajo, Konawe, untuk menelusuri jual beli penyu ini. Mereka rapi, tak mudah menemuinya.

“Tidak ada lagi, dulu memang pernah hanya sekarang tidak lagi. Karena banyak orang ditangkap kalau tangkap-tangkap penyu.” Begitu ucapan beberapa warga kala saya tanya.

Saya bicara lagi dengan pengkonsumsi penyu, As. Dia bilang, penjualan penyu masih ada namun dengan cara diam-diam. Para pembeli, katanya,  didata dan masuk daftar tunggu.

“Saya telepon penjual (Konawe) katanya masih langka penyu. Bisa dapat asal menunggu. Mereka akan carikan kalau mau beli,” kata AS kepada Mongabay.

 

Hasil sitaan dilepasliarkan oleh kepolisian di Labengki, Konawe Utara. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Penyelundupan

Ancaman lain habitat penyu di Sultra adalah perburuan untuk memenuhi kuota penjualan keluar daerah. Bali,  disebut sebagai daerah pembeli penyu Sultra. Jumlah bisa mencapai 700 pertahun dengan harga bervariasi mulai Rp450.000-Rp1 juta, bahkan bisa sampai Rp15 juta.

Hampir semua jenis penyu seperti penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu tempayan (Caretta caretta), penyu belimbing (Dermochelys coriacea) dan penyu pipih (Natator depressus) dipasok dari Sultra.

Organisasi ProFauna Indonesia mengatakan, perburuan untuk perdagangan penyu di Sultra sebagian besar di pesisir timur. Selain diperdagangkan,  penyu untuk konsumsi lokal.

“Rata-rata yang kami temukan dari penjualan penyu dari Sultra dengan tujuan Bali,” kata Rosek Nursahid, Ketua ProFauna Indonesia.

Riset ProFauna pada 2010, katanya, memperlihatkan, daerah paling banyak mengirim penyu ke Bali yaitu Wanci, Wakatobi, pertahun rata-rata 600 penyu dan sebagian besar ditangkap di Perairan Taman Nasional Wakatobi.

Sedangkan daerah lain di Sultra,  yaitu Ereke, Buton Utara,  rata-rata 250 penyu per tahun, Moramo, di Konawe Selatan,  rata-rata 240 dan Tikep di Muna,  25 penyu per tahun.

“Ini data sudah publis tahun lalu. Sampai saat ini proses jual beli masih terjadi di Sultra dan sangat besar,” kata Rosek.

Mongabay juga menanyakan kasus serupa ke Polda Sultra. Hasilnya,  hampir tiap tahun mereka menangkap dan memenjarakan pelaku penangkap penyu. Terakhir dan terbesar kasus perdagangan 45 penyu hijau pada 2016-2017.

Pada 2016-2018, pengungkapan penyelundupan penyu asal Sultra ada delapan kasus. Semua tersangka sudah vonis pengadilan dan penyu lepas liar di beberapa tempat.

Kompol Dolfi Kumaseh,  Kasubbid PID Polda Sultra, mengatakan, terus patroli untuk menangani kasus penyu.

“Direktorat Polair terus penegakan hukum untuk penangkapan satwa atau hewan dilindungi. Kami juga edukasi atau sosialisasi di wilayah-wilayah yang dianggap rawan penangkapan penyu.”

 

Polisi menggagalkan aksi penyelundupan penyu dari Sultra ke Bali. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Pariwisata dan sedimentasi ancam habitat

Sultra sedang gencar mempromosikan pariwisata. Wisata bahari jadi jualan utama. Berbagai infratsruktur untuk peningkatan sektor wisata digenjot pemerintah. La Sara, Dekan Fakultas Ilmu Kelautan, Universitas Halu Oleo, menilai pembangunan infrastruktur pariwisata malah bisa mengancam habitat penyu jika tak memperhatikan kondisi lingkungan.

Dia bilang, perubahan fungsi lahan seperti hutan mangrove atau tempat penyu bertelur jadi hotel atau resort merupakan ancaman luar biasa. Kalau tempat penyu bertelur rusak, katanya, mereka akan kesulitan mencari tempat baru.

“Misal, tempat bertelur jadi resort dan permandian, penyu tak ada tempat tinggal dan mendapatkan makan,” katanya.

Dalam penelitian dia di Wawonii, Konawe Kepulauan, terlihat, perubahan fungsi lahan menyebabkan habitat penyu tak ada lagi.

“Terus terang di Sultra, penurunan tajam habitat penyu. Kami penelitian di Wawonii,  tempat bertelur penyu itu berubah sekali,” katanya.

WWF Indonesia,  pernah riset soal pesisir Sultra 2016. Sekitar 40% ekosistem terumbu karang di Perairan Sultra dalam kondisi rusak.

Penyebabnya, tutupan karang keras dan patahan karang tinggi karena sedimentasi. Perairan Sultra, katanya, berada di bawah ancaman serius karena pertambangan nikel dan emas.

Selain itu, katanya, sedimentasi juga mengancam kehidupan penyu di Sultra. “Makanan tak bisa didapatkan. Semua sumber kehidupan penyu tertutup lumpur. Penyu menjauh dan mencari kehidupan di wilayah lain,” kata Darman.

Menurut Darman, aktivitas manusia jadi penyumbang ancaman kehidupan penyu. Sara juga menyatakan hal sama meskipun menilai, sedimentasi pengaruhi habitat penyu hanya sedikit.

Selain itu, katanya, bak-bak penampung air keruh bercampur ore nikel tidak ada di dalam lahan konsesi tambang, sebagaimana tertuang dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan .

Hingga kini, IUP rilisan Pemerintah Sultra ada hampir 500 dan perkebunan sawit, 50 izin yang terdiri dari ijinlokasi,   ijin   prinsip   dan   hak   guna   usaha   (HGU).

Sebaran wilayah nikel di Sultra meliputi Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Bombana dan Buton.

Bicara tambang di Sultra, wilayah ini mempunyai potensi pertambangan seperti biji nikel, aspal, emas, batubara maupun marmer.  Sejak 10 tahun lalu, obral izin pertambangan nikel begitu massif.

Penambangan nikel di Sultra sangat massif. Sayangnya, dalam 10 tahun tak jadikan wilayah ini penguasa perekenomian nasional. Sekalipun menyimpan kekayaan alam melimpah.

Sultra tidak berubah. Bahkan pendapatan asli daerah hanya mencapai Rp1 triliun. Belum lagi, keyaaan alam melimpah, namun kerusakan alam cukup parah. Lingkungan buruk. Laut tercemar. Hutan habis. Bencana banjir hampir tiap tahun terjadi di beberapa daerah terutama penghasil tambang.

 

Sosialisasi dan penyadaran

Rosek bilang, kasus perburuan penyu menghawatirkan di Sultra. Upaya penyadaranpun sudah sering dilakukan, namun masih menuai kendala.

Ke depan,  kata Rosek, ProFauna dalam sosialisasi soal satwa perlindungan satwa penyu, akan menyasar pelajar SMA dan mahasiswa.

“Kalau orangtua atau nelayan ini agak susah menyadarkan tetapi tetap kita lakukan.”

Daerah di Sultra, seperti Konawe dan Konawe Selatan, sampai kini terus mendapatkan sosialisasi tentang penting menjaga habitat penyu.

“Semua satwa dilindungi kita sosialisasikan. Tak untuk konsumsi, ditangkap, diperdagangkan dan dipelihara. Bukan saja penyu, juga dugong, lumba-lumba atau paus,” kata Jufri, Koordinator BPSPL Makassar wilayah kerja Kendari.

 

Salah satu penggagalan penyelundupan penyu dari Sultra menuju Bali, yang dilakukan Polda Sultra. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version