Mongabay.co.id

Menata Pariwisata Lombok, Jangan Lupakan Standar Penanganan Bencana

Seorang warga Gili Air duduk di depan artshop. Gempa yang mengguncang Lombok tidak banyak menimbulkan kerusakan di pulau ini. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Gempa mengguncang Lombok berkali-kali. Pada 29 Juli, 5 Agustus, 9 Agustus, dan 19 Agustus. Kondisi ini,  nyaris mematikan seluruh aktivitas pariwisata di Pulau Lombok. Wilayah paling terdampak di Lombok Utara.Daerah ini sebagian besar pendapatan dari pariwisata Desa Gili Indah (Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan). Mereka berupaya memulihkan kondisi Gili. Berbagai kalangan mengingatkan, penataan pariwisata dibarengi dengan standar penanganan bencana.

 

Pada 17 Agustus 2018, jadi momen awal membangkitkan pariwisata di Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan. Pemerintah Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui Dinas Pariwisata, Pemerintah Lombok Utara, dan para pelaku pariwisata menggelar upacara bendera.

Kali pertama, upacara Hari Kemerdekaan diikuti peserta dari berbagai negara. Melalui upacara bendera 17 Agustus itu, pemerintah dan pelaku pariwisata ingin menunjukkan, daerah itu relatif aman dibandingkan desa-desa di daratan Pulau Lombok.

Pantauan Mongabay, pada Jumat (17/8/18) di Gili Air, pulau pusat pemerintahan desa, beberapa wisatawan asing terlihat berjemur di pantai. Sebagian lain berkeliling pakai sepeda. Beberapa mini market, warung kecil sudah mulai beraktivitas. Tak terlihat ada pengungsi di tenda utama, di depan dermaga, yang jadi posko penanggulangan bencana.

Di posko itu berjaga para polisi yang menjaga keamanan di Gili Air. Sejak gempa 7SR, mengguncang 5 Agustus, sebagian besar warga Gili Air dan pemilik usaha meninggalkan pulau itu. Sempat beredar isu penjarahan dan pencurian, para pemilik usaha meminta bantuan aparat keamanan berjaga. Setiap hari, selain menunggu di posko, aparat dari kepolisian keliling pulau dengan sepeda.

“Saya sudah menghubungi warga saya agar kembali ke pulau masing-masing. Di sini sebenarnya lebih baik dibandingkan di daratan,’’ kata HM Taufik, Kepala Desa Gili Indah.

 

Public boat (angkutan umum perahu) sudah bersandar di Gili Air. Penyeberangan warga maupun wisatawan dimulai seminggu pascagempa. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Walaupun paling dekat dengan titik episentrum gempa, kerusakan di Gili Air, tak terlalu banyak. Hanya rumah penduduk lokal, berbahan batako mengalami rusak berat. Tempat usaha tak ada rusak serius. Bangunan tetap utuh, tak ada retak parah. Bahkan beberapa bangunan tak terdampak sama sekali.

“Kerusakan paling banyak di Gili Trawangan, itupun tidak separah di daratan Lombok,’’ katanya.

Sebagian besar warga Desa Gili Indah,  memiliki keluarga di daratan Pulau Lombok. Termakan oleh isu tsunami, mereka pun memutuskan keluar dari pulau. Mereka memilih mengungsi bersama kerabat di sekitar Kecamatan Pemenang dan Tanjung, bahkan sampai ke Kota Mataram. Tak sampai seminggu di pengungsian, beberapa warga memutuskan kembali ke Gili setelah tahu kondisi di pengungsian lebih parah.

Di gili, setidaknya mereka tak perlu membangun tenda pengungsian dengan terpal. Bangunan masih utuh, beberapa fasilitas penginapan, restoran berbahan kayu dan bambu masih utuh dan bisa jadi tempat mengungsi sementara.

“Air ada, makanan ada. Lebih terjamin sanitasi di sini,’’ kata Taufik.

Para pekerja di Gili juga diminta kembali. Beberapa pemilik usaha sudah kembali ke Gili diminta menghubungi karyawan mereka. Saat saya menumpang angkutan umum perahu di Pelabuhan Bangsal, sebagian besar penumpang karyawan di Gili. Di beberapa penginapan mulai tampak aktivitas. Mereka membersihkan kolam renang, halaman, dan beberapa puing reruntuhan kecil.

“Beberapa tamu yang membatalkan booking karena gempa, sudah ada yang kembali menghubungi. Mereka akan datang,’’ katanya yang juga memiliki beberapa kamar penginapan.

Bupati Lombok Utara Najmul Akhyar sudah meminta para pemilik usaha kembali beraktivitas. Mereka diminta memanggil karyawan dan mengumumkan kepada jaringan tentang kondisi di Gili. Memang, katanya, ada kerusakan, tetapi tak separah di Lombok. Mereka juga diharapkan aktif menyebarkan informasi perkembangan penanganan pascabencana.

 

Polisi patroli keliling gili untuk mengamankan dari aksi penjarahan mengingat destinasi wisata tersebut banyak yang ditinggalkan pemilik. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Najmul mengatakan, pemerintah kabupaten meminta khusus kepada tim penanggulangan bencana memulihkan kondisi di tiga Gili. Matinya aktivitas di tiga Gili itu berdampak luas pada masyarakat Lombok Utara, terutama para korban. Selain kehilangan rumah, mereka juga kehilangan pekerjaan. Berbeda dengan para petani dan peternak, para pekerja di Gili menggantungkan hidup dari kedatangan para wisatawan.

Kedatangan wisatawan, kata Najmul,  diyakini cepat memulihkan kondisi Lombok Utara. Masyarakat kembali bisa bekerja, secara langsung mengurangi pengungsi. Mereka juga bisa memperoleh pendapatan untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari.

Untuk langkah awal, pembersihan reruntuhan bangunan mulai dari persimpangan Bangsal, mesjid, toko, dan rumah yang ambruk sudah dibersihkan.

Saat ini, persimpangan utama jalan dari Mataram,  melalui jalur Pusuk dan Senggigi, sudah bersih dan puing-puing bangunan. Begitu juga dari persimpangan Bangsal hingga Pelabuhan Bangsal, mulai dibersihkan. Juga reruntuhan bangunan yang menghalangi jalan. Reruntuhan bangunan di Gili Trawangan, juga dibersihkan. Alat berat dikapalkan menuju Gili Trawangan.

Tim gabungan TNI-Polri, Basarnas, BNPB, pemerintah daerah, serta pelaku pariwisata bekerja bersama membersihkan puing-puing reruntuhan. Pantai kotor karena sampah sudah disingkirkan. Pantai berpasir putih seperti sediakala.

Salah satu operator penyeberangan ke Gili, Koperasi Karya Bahari sudah mulai mengoperasikan kapal-kapal mereka. Jumlah pelayaran memang belum normal, tetapi dalam sehari minimal delapan perahu berangkat ke Gili.

Wisatawan mancanegara sudah mulai kembali. Begitu juga wisatawan nusantara berani datang liburan ke Gili. “Sementara ke Gili Air sampai siang, kecuali kalau sudah normal nanti sampai sore,’’ kata Mutia, petugas tiket Koperasi Karya Bahari yang melayani rute Pelabuhan Bangsal–Gili Air.

Gubernur NTB HM Zainul Majdi juga mengeluarkan surat tentang kondisi pariwisata NTB, khusus Pulau Lombok pascabencana.

Beberapa destinasi pariwisata di Lombok Barat dan Lombok Tengah, katanya, tak terdampak gempa. Tidak ada kerusakan di tempat wisata, dan kondisi wisata aman.

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di Kabupaten Lombok Tengah tetap seperti biasa. Begitu juga destinasi pulau-pulau kecil di kawasan Sekotong,  Lombok Barat, aman dikunjungi.

Kawasan pantai selatan Lombok Timur seperti Pantai Pink, Tanjung Ringgit, Pantai Kaliantan,  juga tak terkena dampak gempa. Senggigi Lombok Barat juga tak parah. Ada kerusakan rumah penduduk, tetapi tak sampai merusak fasilitas penginapan dan jasa pariwisata lain.

 

Jumlah Pengungsi di Pelabuhan Bangsal mulai berkurang, warga kembali ke rumah masing-masing. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

***

Pendakian di Gunung Rinjani, masih tutup, dan pariwisata tiga Gili serta Senggigi,  belum normal berimbas pada pelaku pariwisata lain. Salah satu terdampak, para pemilik usaha di Desa Tetebatu, Kecamatan Sikur, Lombok Timur. Daerah yang menjual keindahan alam persawahan dan alternatif pendakian ke Rinjani ini begitu terdampak.

Saya bertemu Jaya, pemilik Jaya Trekker. Sejak gempa 29 Juli, hingga kini tak ada satupun tamu memakai jasanya. Jaya mendapat tamu dari wisatawan ke tiga Gili dan Senggigi. Mereka menginap di Tetebatu.

Selain Tetebatu, Desa Jeruk Manis, dan Desa Kembang Kuning yang memiliki homestay juga terpukul gempa. “Belum ada satupun tamu sekarang, banyak yang cancel,’’ kata Jaya.

Desa Tetebatu, Desa Kembang Kuning, Desa Jeruk Manis,  salah satu daerah terdampak gempa. Puluhan rumah rusak karena gempa 9 Agustus. Meski tak sampai menimbulkan korban jiwa, kerusakan parah para rumah warga yang tidak memiliki pondasi kokoh. Fasilitas homestay di desa-desa ini utuh. Aktivitas utama masyarakat sebagai petani pun masih berjalan seperti biasa.

“Setelah gempa pertama itu saya punya tamu, tapi gempa kedua (5 Agustus) terasa sangat besar itu yang membuat tamu panik, apalagi kejadian malam hari,’’ kata Bram, pemilik homestay.

Bukan hanya Bram dan Jaya yang mendapat kesusahan akibat gempa, juga pra pedagang makanan. “Sekarang nganggur semua,’’ katanya.

Abdul Hayyi, manager pemasaran penginapan di Gili Trawangan mengatakan, hingga kini belum ada kejelasan kapan penginapan kembali beroperasi. Gempa pertama, 29 Juli sedikit terasa di Gili, tak sampai membuat wisatawan panik.

Gempa kedua, 5 Agustus pada malam hari membuat para pekerja panik. Isu tsunami membuat mereka meninggalkan Gili Trawangan. Akhirnya para wisatawan pun ikut evakuasi. Padahal sejak kejadian gempa hingga keesokan harinya, tak ada tsunami. Karena terlanjur panik, seluruh wisawatan dan pekerja dievakuasi dari Gili.

“Sudah ada yang masuk, tapi gempa kemarin (19 Agustus) membuat banyak kembali. Masih trauma,’’ katanya.

Kini Hayyi dan ribuan pekerja di Gili Trawangan, Gili Air, Gili Meno, dan tempat usaha pariwisata lain masih menunggu kepastian pemulihan. Status mereka masih karyawan, tetapi kalau tak ada tamu datang, otomatis tak bisa mendapatkan penghasilan.

Walaupun tempat mereka bekerja tak rusak, tak ada tamu datang, berarti tak ada kegiatan mereka lakukan.

 

Seorang penarik cidomo menawarkan angkutan pada wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Gili Air, Jumat (17/8/18). Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Menata ulang Gili

Gempa 5 Agustus (7SR) merusak seratusan bangunan di Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno. Bangunan yang mengalami rusak parah yang gunakan material bata (batako). Bangunan dari kayu, bambu, dan gabungan keduanya masih utuh.

Beberapa bangunan permanen berukuran kecil juga utuh. Hanya bangunan-bangunan besar mengalami kerusakan parah.

“Dulu sudah ada warning pembangunan besar-besaran di Gili. Setiap tahun makin banyak bangunan permanen bahkan sampai lantai tiga,’’ kata Ridha Hakim, Direktur WWF Nusa Tenggara kala ditemui Mongabay di Mataram.

Hasil kajian tanah di Gili, tidak direkomendasikan bangunan lebih dari satu lantai. Tanah gili berpasir memungkinkan bangunan dengan beban berat bisa merusak kestabilan tanah. Ia juga berakibat buruk pada bangunan. Logikanya, kata Ridha, jika beban berat pada tanah labil, bisa amblas.

Selama ini, katanya, tak ada kontrol pembangunan di Gili. Silau oleh duit yang mengalir dari tiga pulau. Ia membuat pemerintah buta terhadap potensi bencana. Para pengusaha pun tak memerhatikan keselamatan dan daya dukung lingkungan.

Ridha bilang, gempa harus jadi pelajaran bagi pemerintah dan pelaku usaha. Bangunan roboh, rusak berat, dan sedang dibersihkan tak boleh lagi dibangun permanen. Pemerintah tak boleh mengeluarkan izin, pengusaha juga harus menghitung untung rugi untuk masa mendatang.

“Jangan karena ingin mendapatkan keuntungan cepat, pembangunan hotel bertingkat dengan skala besar dilakukan.”

Selain menertibkan bangunan, Ridha menyarankan akses jalan utama di Gili Trawangan, Gili Air, Gili Meno, diperlebar. Kondisi jalan utama saat ini hanya bisa dilewati dua cidomo (angkutan di Gili). Tak ada jalan khusus pejalan kaki dan akses sepeda. Satu-satunya,  jalan dipakai bersama pejalan kaki, sepeda, dan cidomo.Jalan utama sempit. Jalan-jalan kecil lain juga harus evaluasi total.

Ridha meminta,  pemerintah jangan ragu merelokasi bangunan di pinggir jalan. Semua akses jalan harus diperlebar memudahkan evakuasi jika bencana.

 

 

 

Tak ada standar penanganan bencana

Pada evakuasi pascagempa 5 Agustus  lalu, banyak korban terluka karena rebutan menuju tempat evakuasi. Jalan sempit, penginapan antara satu dengan lain tak ada ruang kosong membuat proses evakuasi terhambat.

Selain standar bangunan dan jalan, Ridha menekankan fasilitas evakuasi perlu mendapat perhatian. Saat evakuasi 6 Agustus 2018, bisa berlangsung cepat karena ada operator kapal swasta kebetulan sedang sandar di Gili.

Dari pemerintah hanya menyiapkan satu kapal Basarnas.  Jika tak ada kapal swasta, Ridha tak bisa membayangkan evakuasi lama dan berpotensi menambah korban.

“Apalagi di sana lebih banyak orang asing. Apa kata dunia internasional jika banyak warga mereka jadi korban karena terlambat evakuasi,?”

Saat evakuasi, hanya satu titik jadi tempat kumpul. Dermaga tak bisa berfungsi. Malahan, satu korban meninggal dunia ditemukan di reruntuhan dermaga. Artinya, dermaga Gili tidak aman menghadapi gempa.

Tak ada titik evakuasi jelas menambah kepanikan wisatawan, hingga semua rebutan naik ke kapal dengan cara tak aman. Mereka bergelantungan, tangga tak mencukupi. Padahal, kalau dermaga bagus, wisatawan yang dievakuasi bisa lebih mudah diarahkan dan lebih aman ketika naik kapal. “Saya lihat foto dan video evakuasi, benar-benar tidak ada standar.”

Beralih ke soal informasi bencana. Ridha heran, destinasi wisata kelas dunia itu tak memiliki standar penanggulangan bencana. Bahkan sekadar papan petunjuk dan tempat berkumpul jika ada bencana pun tak ada.

Ketika bencana, tak ada otoritas yang memberikan informasi pasti ke wisawatan hingga panik karena melihat para pekerja dan orang lokal panik. Dalam situasi mati lampu, dengan beredar informasi ada tsunami menambah kepanikan. Dalam kondisi itu,  seharusnya ada otoritas di Gili yang menyampaikan informasi.

Belajar dari beberapa kecelakaan di Gili, seperti perahu terbalik, wisatawan terseret arus, wisatawan keracunan, dan kebakaran, selalu terlambat penanganan. Bahkan korban meninggal yang berjatuhan dari berbagai peristiwa itu karena penanganan lambat.  “Jangan hanya memikirkan uang, pikirkan juga keselamatan.”

Ridha meminta,  pemerintah tak sekadar memperbaiki fisik Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno. Juga harus ada standard operating prosedure (SOP) untuk penanganan bencana.  Dia bilang, harus ada otoritas bertanggungjawab ketika ada musibah di Gili.

Uzlifatul Azmiyati, dosen kebencanaan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) NTB mengatakan,  pemerintah belum memiliki SOP penanganan bencana di daerah-daerah pariwisata.

Beberapa waktu lalu dia mengikuti kegiatan para ahli geologi yang fokus pada upaya pengembangan geowisata. Dalam kunjungan itu, dia melihat upaya serius pemerintah mempromosikan potensi geowisata termasuk komitmen pemerintah menata kawasan. Sayangnya, tak ada satupun tempat-tempat yang dikunjungi memiliki petunjuk jelas jika terjadi bencana.

“Jangan hanya menjual keindahan, tetapi tidak ada prosedur keselamatan.”

Di Lombok, bukan rahasia umum, tempat wisata adalah salah satu pembunuh. Di beberapa destinasi andalan sudah banyak memakan tumbal. Wisatawan tenggelam di pantai, tenggelam di air terjun, jatuh dari tebing saat pendakian. Tak sedikit nyawa menjadi tumbal.

Di tempat-tempat wisata itu, katanya,  tak ada petunjuk potensi bencana/kecelakaan. Tak ada petunjuk arah tempat evakuasi yang aman termasuk tak ada otoritas/petugas yang bisa mengamankan wisatawan jika ada kecelakaan.

Ngeri kalau membayangkan jika ada musibah tidak ada prosedur dan otoritas yang menjamin keselamatan wisatawan,’’katanya.

Beberapa dokumen rencana pengembangan pariwisata juga nihil analisa bencana. Ridha dan Uzlifatul kompak menyatakan, rencana pengembangan pariwisata di NTB hanya mementingkan ketersediaan fasilitas liburan tetapi tak mempertimbangkan aspek kebencanaan. Padahal,  di daerah-daerah pariwisata itu berpotensi terdampak bencana.

 

Keterangan foto utama:   Seorang warga Gili Air duduk di depan artshop. Gempa yang mengguncang Lombok tidak banyak menimbulkan kerusakan di pulau ini. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

Alat berat untuk membersihkan sisa reruntuhan di Bangsal, yang menjadi pintu masuk kawasan tiga Gili (Air,Meno,Trawangan). Pembersihkan kawasan ini untuk mempelancar akses menuju destinasi pariwisata demi mempercepat pemulihan pariwisata. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version