Mongabay.co.id

Para Penjaga Orangutan Tapanuli di Ekosistem Batang Toru

 

Pondok tempat mereka berteduh sangat sederhana. Dindingnya tripleks yang dilapisi anyaman daun rumbia. Alasnya hanya terpal. Total, ada lima pondok di Camp Mayang, Batang Toru ini, yang satu unitnya difungsikan sebagai tempat rapat sekaligus dapur.

Bukan perkara mudah menuju camp ini. Jalur terdekat dari Desa   Sait Nihuta Kalangan II, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (Sumut), harus dilalui berjalan kaki enam jam. Jika hujan, jalan menjadi licin dan menelusuri hutan yang berada dalam ekosistem Batang Toru ini butuh perjuangan ekstra.

Medan yang berat nyatanya tidak menyurutkan tekad enam anak muda ini bertugas. Mereka adalah Sheila Kharismadewi Silitonga, Andayani Oerta Ginting, Ulil Amri Silitonga, Dosmartua Sitompul, Ananda Simanungkalit, dan Jevi Sumakti Gultom.

Baca: Bayi Kembar Orangutan Tapanuli Terpantau di Ekosistem Batang Toru

 

Pagi nan indah di Hutan Batang Toru. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sheila Kharismadewi Silitonga yang merupakan Manager Camp Mayang menyebutkan, camp dibuat sejak 2007 yang dikelola oleh Yayasan Ekosistem Lestari –Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP).

“Tugas utama kami memantau orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) serta flora fauna lain. Kami juga mendampingi para peneliti yang melakukan riset di sekitar Camp Mayang,” ujarnya.

Sheila mengungkapkan, keterlibatannya di Camp Mayang berawal dari penelitian orangutan tapanuli sebagai tugas akhir di Jurusan Biologi Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2017. Lulus 2018, dia bergabung dan sudah empat bulan di sini.

Baca: Orangutan Tapanuli, Spesies Baru yang Hidup di Ekosistem Batang Toru

 

Hutan Batang Toru yang menyimpan keragaman hayati luar biasa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Air jernih dan pepohonan lebat merupakan pemandangan indah yang terpancar di hutan Batang Toru. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dia menambahkan, menjaga keberadaan orangutan tetap aman di habitatnya bukan pekerjaan mudah. Jumlahnya yang tidak sampai seribu individu, habitat yang terus terancam, merupakan kendala utama yang ada saat ini. “Kalau perburuan, sejauh ini tidak ditemukan. Namun, pengrusakan habitat yang sekarang dihadapi.”

Sheila menyebutkan, memantau dan mencatat perilaku orangutan tapanuli butuh kesabaran. Kontur hutan Batang Toru yang terjal membuat tim sering kewalahan mengikuti pergerakan satwa terancam punah itu.   Orangutan tapanuli juga sangat liar dan sering melarikan diri saat melihat manusia. Hanya beberapa individu yang terbiasa melihat tim sehingga tidak terganggu.

“Jumlah yang bisa diikuti sekitar 20 individu. Namun, mencari keberadaan mereka cukup sulit, karena luas daerah yang dimonitoring sekitar 12 kilometer persegi. Sebagian besar anggota tim ini warga Tapanuli, bahkan warga terdekat dengan Camp Mayang yang dalam sebulan bertugas selama tiga minggu,” ungkapnya.

Baca: Ternyata, Orangutan Tapanuli Menyukai Jenis Buah Ini

 

Ini merupakan jenis pakan orangutan tapanuli. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hutan batang Toru menyediakan pakan alami yang cukup untuk orangutan tapanuli. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ulil Amri yang sudah bekerja tujuh tahun di Camp Mayang, sebelumnya merupakan penderes getah karet. “Awalnya agak berat bekerja di hutan seperti ini, namun setelah mengukuti pelatihan tiga bulan, saya mulai betah,” ujarnya.

Dia menyebutkan, setelah menekuni tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya di Camp Mayang, banyak hal yang didapat. Bukan hanya pengetahuan, termasuk juga kenal peneliti asing. “Umumnya yang datang ke sini peneliti, mahasiswa praktik lapangan, juga fotografer. Dari mereka, saya banyak belajar hal baru,” tuturnya.

Baca: Jangan Ada Lagi, Izin Perusahaan yang Mengancam Habitat Orangutan Tapanuli

 

Memantau keberadaan orangutan tapanuli terus dilakukan oleh tim yang bertugas di Camp Mayang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sarang orangutan tapanuli. Foto: Junadi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Lain halnya dengan Ananda Simanungkalit. Penduduk   Desa Sait Nihuta Kalangan II, Kecamatan Tukka ini, awalnya penebang kayu ilegal. Dia melakukan pekerjaan tersebut, untuk memenuhi kebutuhan hidup. “Ternyata menebang kayu itu tidak banyak menghasilkan uang, yang kaya hanya cukong,” ungkapnya.

Ananda beruntung, ketika dia mulai berhenti menebang kayu, salah seorang temannya yang lebih dulu bekerja di Camp Mayang mengajaknya bergabung. “Setelah saya tekuni, ternyata asyik juga mencari keberadaan orangutan tapanuli: mengikuti dan mencatat pergerakannya. Selain itu, belajar jenis-jenis tumbuhan dan satwa lainnya adalah tantangan baru,” sebut Ananda yang baru dua tahun bertugas.

Baca juga: Bahas Orangutan Tapanuli KLHK akan Undang Ahli, Petisi Penyelamatan Tembus 1,3 Juta Orang

 

Bayi kembar orangutan tapanuli dengan induknya ini terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: YEL-SOCP/Andayani Ginting

 

Sheila, Ulil Amri, Ananda dan semua personil Camp Mayang berharap, semua pihak sadar akan keberadaan orangutan tapanuli yang sangat penting untuk keberlanjutan hutan dan lingkungan kita semua.

“Jangan buru mereka, jangan pula rusak habitat mereka. Biarkan mereka hidup alami di hutan Batang Toru,” harap mereka bersama.

 

Ekosistem Batang Toru. Sumber peta: Batangtoru.org

 

Hutan Batang Toru berada di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Luasnya mencapai 133.841 hektar yang terbagi dalam dua blok yaitu blok barat (78.891 hektar) dan blok timur (54.950 hektar).

Data Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) menunjukkan sekitar 66,7% hutan Batang Toru berada di Tapanuli Utara, 22,6% di Tapanuli Selatan, dan 10,7% di Tapanuli Tengah. Ketinggian hutan ini dimuali dari 194 hingga 1.781 meter diatas permukaan laut (m dpl).

 

 

Exit mobile version