Mongabay.co.id

Cerita Pasangkayu Terapkan Perikanan Budidaya Berkelanjutan

Kabupaten Pasangkayu di Sulawesi Barat menjadi daerah percontohan untuk pengembangan kawasan tambak udang berkelanjutan berbasis klasterisasi dengan pola teknologi semi intensif atau intensif. Selain teknologi tersebut, Pasangkayu juga menjadi pencontohan untuk budidaya polikultur di lahan seluas 50 hektare.

Direktur Kawasan dan Kesehatan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Arik Ari Wibowo mengatakan, dengan dimulainya program pengembangan tambak berkelanjutan di Pasangkayu, diharapkan ada perubahan pola pengelolaan usaha budidaya tambak. Perubahan itu, dari parsial menjadi pola klasterisasi.

Arik menjelaskan, optimalisasi kawasan budidaya udang berbasis klasterisasi yang dilaksanakan di Pasangkayu, dilaksanakan dengan kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi tambak, pembuatan akses jalan produksi, pembuatan jaringan listrik, rehabilitasi kontruksi dasar tambak, dan pematang tambak. Kemudian, penyediaan sarana input produksi, pendampingan teknis dan usaha, serta kemitraan berkelanjutan.

Untuk kawasan tambak klasterisasi seluas 50 ha, Arik menyebutkan bahwa itu berlokasi di Kecamatan Sarjo dan akan digunakan sebagai kawasan utama untuk budidaya udang vaname yang luasnya mencapai 25 hektare. Untuk budidaya tersebut, akan digunakan sistem kemitraan. Kemudian, sisa lahan seluas 25 ha akan digunakan untuk kawasan budidaya polikultur dan budidaya bandeng dengan sistem mandiri.

“Untuk polikultur itu 30 persen dan bandeng 20 persen,” jelasnya, pekan lalu.

baca : Tarakan Jadi Proyek Percontohan Budidaya Udang Windu Lestari

 

Tambak udang di pesisir Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Ari menuturkan, perkembangan saat ini, tambak udang semi intensif berbasis klasterisasi yang sudah dibangun sebanyak 2 klaster di Desa/Kecamatan Sarjo dengan luas mencapai 8 ha. Dari dua klaster tersebut, produktivitas terus memperlihatkan peningkatan dari hasil 50-200 kg/hektare menjadi 5.000-10.000 kg/hektare.

Berkaitan dengan pengembangan tersebut, Arik memaparkan, pihaknya melakukan pengembangan dengan pola pembinaan dan monitoring melalui peran stakeholder yang antara lain Pemerintah Pusat melalui Ditjen Perikanan Budidaya KKP. Adapun, pembinaan dan monitoring yang dilakukan, adalah dengan pembinaan, pelayanan laboratorium kesehatan lingkungan, pemilihan lokasi, pembinaan lokasi, serta monitoring dan evaluasi.

Sementara, untuk Pemerintah Daerah dan juga Dinas Kelautan dan Perikanan di tingkat provinsi atau kabupaten, serta penyuluh perikanan, berperan untuk penguatan kelembagaan kelompok, pemilihan lokasi, verifikasi dan monitoring pelaksanaan, pembinaan serta kemitraan. Kemudian, untuk peran swasta atau mitra adalah pelayanan teknis, manajemen bisnis, penjamin kepastian pasar, dan penguatan modal.

“Juga, dibutuhkan peran perbankan untuk permodalan dalam pengembangan berbasis klasterisasi,” jelasnya.

 

Pemetaan Potensi

Di sisi lain, pengembangan yang dilakukan KKP di Pasangkayu, menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto harus dilakukan dengan pertimbangan yang sangat matang. Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan potensi budidaaya, uji kelayakan, dan kajian distribusi logistik.

“Kemudian, perlu juga dilakukan kontrol kualitas dari benur, pakan yang tidak lagi tergantung pada impor, dan off taker dengan harga baik,” tuturnya.

Tak hanya pemetaan potensi, Yugi mengatakan, dalam melakukan pengembangan, harus juga mempertimbangkan komersial, di antaranya berupa kemudahan lahan, pendanaan, dan industri yang terintegrasi. Untuk itu, KADIN siap memberikan fasilitas berupa penyediaan dana dengan off taker nilai tambah dan infrastruktur.

“Kita juga akan fasilitasi pasar ekspor, seperti ke Taiwan dan Tiongkok,” tambahnya.

baca juga : Merangkai Pesisir Timur Sumatera Selatan Menjadi Desa Mandiri Energi dan Sentra Udang Windu

 

Hasil budidaya udang di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. KKP berencana menjadikan Pasangkayu menjadi daerah percontohan untuk pengembangan kawasan tambak udang berkelanjutan untuk meningkatkan produksi udang. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia

 

Sementara, Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Sutanto mengungkapkan, dalam pengembangan kawasan kluster budidaya udang vaname di Pasangkayu, perlu regulasi yang mengatur agar kegiatan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Regulasi yang dimaksud, seperti peraturan perizinan dan benur berkualitas, serta pembangunan infrastruktur lainnya seperti cold stroge.

“Sehingga produksi dapat dilakukan dengan skala ekspor,” tuturnya.

Iwan mengatakan, jika persyaratan seperti regulasi, infrastruktur, kemudian manajemen teknis seperti pengolahan kualitas air dan penyakit sudah diterapkan, maka produksi dipastikan akan bagus. Jika itu sudah terjadi, dipastikan akan berdampak pada masuknya investor.

Program klasterisasi sendiri, menurut Iwan, merupakan program yang dibuat Pemerintah untuk mendorong penerapan praktik perikanan budidaya di tingkat pembudidaya. Praktik tersebut, tidak hanya mengedepankan kelestarian ekosistem, tapi juga tetap akan mengedepankan prinsip mendapatkan keuntungan.

Terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto menjelaskan, prinsip klaster dilakukan dengan pengelolaan budidaya udang dalam satu kawasan dengan manajemen teknis dan usaha yang dikelola secara bersama. Tujuannya, untuk meminimalisir kegagalan dan meningkatkan produktivitas namun tetap ramah terhadap lingkungan.

“Pendekatan klasterisasi merupakan pengelolaan dalam suatu hamparan tambak kolektif, dan dilakukan secara integratif dari semua tahapan sistem proses produksi budidaya mulai dari pemilihan benih, desain dan tata letak tambak, proses produksi, pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan, hingga pascapanen serta pengelolaan administrasi,” papar dia.

menarik dibaca : Budidaya Udang Percontohan dari Kawasan Perhutanan Sosial, Seperti Apa Itu?

 

Presiden Joko Widodo melihat penebaran benih udang sebagai tanda peresmian beroperasinya unit kawasan budidaya udang vaname untuk program perhutanan sosial di Muara Gembong, Bekasi, Jabar Rabu (1/11/2017). Foto : Dianaddin/Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Bupati Pasangkayu Agus Ambon Djiwa menjelaskan, Kabupaten Pasangkayu masih sangat potensial untuk pengembangan kawasan budidaya tambak udang vaname. Hal itu dimungkinkan, karena Pasangkayu berada di Teluk Makasar yang perairannya relatif masih jernih dan belum tercemar, sehingga peluang investasinya juga masih sangat besar.

Adapun, Agus menambahkan, pola pengembangan investasi budidaya udang vaname di Pasangkayu dapat dilakukan dengan dua pola, yaitu pola kerjasama dengan masyarakat pemilik lahan dengan sistem bagi hasil untuk pemilik lahan 20% dan 80% untuk investor, dan pola kedua, yaitu investor dapat membeli lahan.

“Kawasan budidaya udang vaname di Kabupatan Pasangkayu harus dikembangkan dengan prinsip ramah lingkungan dan berbasis masyarakat dengan pola berkelanjutan, dengan memperhatikan teknologi, aspek sosial ekonomi serta teknis budidayanya,” ungkap dia.

Diketahui, potensi wilayah perikanan budidaya di Indonesia mencapai 17,9 juta ha dengan pemanfaatan lahan baru mencapai 1,2 juta ha sedangkan 16,7 juta ha masih belum termanfaatkan. Potensi tersebut terdiri dari budidaya air tawar 2,8 juta ha dengan tingkat pemanfaatan sebesar 11,18 persen, budidaya air payau 2,9 juta ha dengan tingkat pemanfaatan sebesar 20,44 persen, serta budidaya laut 12,12 juta ha dengan tingkat pemanfaatan sebesar 2,3 persen.

Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat sendiri memiliki potensi panjang garis pantai 151 km, dengan potensi lahan tambak mencapai 13.669,35 hektar dan baru termanfaatkan sebesar 1.833,28 hektar.

baca juga : Marguiensis, Udang Asli Indonesia Pelengkap Udang Vaname

 

Seekor udang yang terkena penyakit bintik putih (white spot syndromeI/WSS). Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Wabah Berak Putih

Sebelumnya Slamet Soebjakto mengingatkan kepada para pembudidaya tentang wabah penyakit berak atau white feces disease (WFD). Wabah tersebut menjadi ditakuti, karena bisa mengancam usaha budidaya udang. Untuk itu, dia meminta kepada semua pembenih dan pembudidaya untuk menggunakan udang vaname hasil breeding asli Indonesia.

“Himbauan tersebut didasarkan pada bukti bahwa saat wabah WFD menyerang Banyuwangi, Jawa Timur, namun benih hasil breeding Indonesia tetap terbebas dari wabah,” tuturnya.

Lebih jauh Slamet mengatakan, agar kegiatan budidaya udang bisa berjalan baik, maka penting untuk menerapkan pengelolaan tahapan rantai produksi secara terukur dan terencana. Yaitu, mulai dari pemilihan benih melalui breeding program, proses produksi dengan menerapkan Best Management Practice, penerapan biosecurity yang ketat, dan penggunaan pakan dan obat-obatan secara tepat.

Selain pengelolaan tahapan rantai produksi, Slamet mengingatkan bahwa pengelolaan budidaya udang harus dilaksanakan secara berkelanjutan. Menurutnya, prinsip ini merupakan hal mendasar yang harus menjadi perhatian para pembudidaya.

“Semua unit usaha budidaya udang wajib memiliki unit pengelolaan limbah (UPL), kami juga akan melakukan sosialisasi sekaligus fasilitasi penyiapan dokumen lingkungan hidup bagi unit usaha, sebagaimana yang disyaratkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.16/2012 tentang Dokumen Lingkungan,” pungkasnya.

 

Exit mobile version