Pada Kamis (16/8/2018), Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar menjatuhkan putusan terkait sengketa antara warga bersama Greenpeace yang menggugat Gubernur Bali Made Mangku Pastika terkait izin lokasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang Tahap II.
Mongabay mengikuti gugatan tersebut sejak diajukan pertama kali pada Januari 2018 dan sidang-sidang selama lima bulan sejak Maret hingga putusan. Tak hanya di dalam ruang sidang, Mongabay juga menelusuri dampak PLTU Celukan Bawang yang sudah beroperasi sejak 2015 tersebut.
Laporan ini mengungkap bagaimana sengketa PLTU Celukan Bawang Tahap II ketika pembangkit yang sudah ada juga menimbulkan berbagai dampak bagi warga desa di bagian utara Bali tersebut.
Tulisan ini merupakan bagian kedua. Tulisan pertama bisa dibaca dengan meng-klik tautan ini.
***
Ketika sebagian wilayah Bali di bagian selatan mulai diguyur hujan, panas terik justru lebih terasa di pesisir utara Bali. Begitu pula pada Rabu (15/8/2018) di Desa Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng.
Di antara terik Celukan Bawang, terdengar dengungan terus menerus suara dari pembangkit listrik yang baru mulai beroperasi di desa berjarak sekitar 55 km dari Singaraja, ibu kota Kabupaten Buleleng ini. Sejak 2015, PT General Energy Bali (GEB) membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di desa ini. PLTU dengan kapasitas 426 MW ini membutuhkan setidaknya 5.200 ton batubara per hari.
Kini, mereka hendak membangun PLTU tahap kedua dengan bahan baku sama yang izinnya telah digugat warga bersama Greenpeace Indonesia. Padahal, bagi warga Celukan Bawang, PLTU lama yang sudah berdiri justru menciptakan banyak masalah lingkungan, ekonomi, kesehatan, dan sosial.
Salah satunya adalah Qomaruddin, 45 tahun. Pagi itu pekerja kebun tersebut bergegas menunjukkan daun-daun kelapa di kebun 1,5 hektar yang dia kelola. Daun-daun kelapa yang masih menempel di pohon itu terlihat kering dan kusam. Begitu pula buah-buahnya.
Bapak dua anak ini mengambil salah satu kelapa dengan kulit cokelat di antara tumpukan kelapa yang sudah dipanen. Dia membuka kelapa tua itu dengan linggis. Begitu kulit luar dan cangkang terkelupas, terlihat kelapa itu tanpa daging. Hanya sisa kerak menghitam. Qomar membuka kelapa lain. Kali ini dagingnya masih ada, tetapi sebagian besar sudah rusak.
“Sejak ada PLTU, kelapa saya, ya, begini ini,” katanya.
baca : Limbah PLTU Celukan Bawang Membahayakan Manusia dan Lumba-lumba
Tak hanya daun dan buah yang rusak, hasil panen kelapa di 3,5 hektar lahan milik Ketut Mangku Wijana itu juga menurun. Mangku, pemilik kebun, menambahkan dulu dia bisa mendapatkan kelapa antara 9.000 – 10.000 butir tiap panen dua bulan sekali. Namun, saat ini hanya sekitar 3.000 butir. Penurunan jumlah hasil panen kelapa itu termasuk di 1,5 hektar lahan yang dikelola Qomaruddin.
“Bahkan bunga kelapa saja sekarang sudah rusak,” ujar Mangku.
Selain daun dan buah kelapa yang rusak, Qomar mengatakan tanaman lain di kebunnya juga rusak: jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan pisang. Umumnya mereka tidak mau berbunga apalagi berbuah. Kalaupun berbuah, ukurannya lebih kecil. “Daun pisang kalau dipakai untuk membungkus jajan pun jajannya jadi terasa pahit,” Qomar menambahkan.
Saat ini warga yang masih bertahan di dalam kawasan PLTU Celukan Bawang hanya tinggal lima keluarga. Selain Qomar dan anak istrinya, keluarga lain adalah Surayah. Jarak rumah keduanya tak lebih dari 200 meter. Mereka dikepung lahan-lahan kosong yang sudah beralih kepemilikan dari warga ke pemilik PLTU Celukan Bawang.
Sering Sakit
Seperti Qomaruddin, Surayah dan keluarganya juga tinggal di dalam kebun. Selain rumah panggung khas Bugis sebagai penunjuk asal usul mereka, ada dua rumah lain yang dia tinggali sehari-hari bersama suami, anak, dan cucunya.
Pagi itu Surayah, 64 tahun, menggendong cucu perempuannya yang terlihat agak sakit dengan ingus di hidungnya. “Cucu saya lagi demam,” katanya.
baca juga : Mengganggu Kesehatan, Limbah PLTU Celukan Bawang Bali Menuai Protes
Menurut Bu Karimun, panggilan akrabnya, dia dan cucunya sekarang lebih sering sakit, terutama demam dan gangguan pernapasan. Udara di rumahnya pun terasa lebih panas, siang ataupun malam. Padahal, dulunya lebih dingin karena banyak pohon kelapa di sekeliling rumahnya.
Sejak masih dalam proses pembangunan, Karimun menambahkan, PLTU Celukan Bawang sudah membawa banyak masalah baginya. Selain suara bising mesin-mesin alat berat yang wara-wiri di dekat rumahnya juga debu-debu yang berterbangan.
Pernah pula ada rencana PLTU Celukan Bawang untuk membuat tempat pembuangan limbah hanya berjarak sekitar 20 meter dari rumahnya. “Saya sampai bawa dua cucu saya ke alat beratnya untuk menolak biar tidak jadi dibangun. Akhirnya mereka berhenti,” katanya.
Ketika sudah beroperasi sejak 2015, PLTU berbahan baku batubara itu menciptakan masalah lagi untuk Karimun dan keluarganya. Suara bising PLTU Celukan Bawang terus mengganggunya. Begitu pula dengan abu-abu bekas pembakaran batubara. Tiap hari abu sisa pembakaran itu masuk ke rumahnya.
“Padahal dulu pada saat sosialisasi rencana pembangunan PLTU (tahap pertama), investor bilang akan menggunakan teknologi canggih yang bisa mengatasi debu dan kebisingan,” kata Muhajir, mantan Kepala Desa Celukan Bawang.
Tangkapan Berkurang
Dampak lain yang terasa bagi warga setelah adanya PLTU Celukan Bawang adalah berkurangnya jumlah tangkapan ikan. Baidi Suparlan, anggota Kelompok Nelayan Bhakti Kosgoro mengatakan sebelum ada PLTU mereka mudah mendapatkan ikan. “Dulu menangkap ikan pakai dayung saja sudah dapat. Sekarang dengan perahu bermesin sampai tengah pun susah dapat,” ujarnya.
Baidi menceritakan sebelum PLTU Celukan Bawang beroperasi, dia bisa mendapatkan sampai 300 ember ikan per hari hampir sepanjang tahun. Mereka umumnya menggunakan jaring yang ditarik dari pantai. Namun, saat ini ikan-ikan di pinggir pantai sudah tidak ada lagi.
“Mungkin karena airnya tambah panas karena ada pembuangan limbah PLTU,” Eko Sucahyono, nelayan lain menambahkan.
baca juga : Greenpeace: PLTU di Celukan Bawang Meracuni Bali
Selama empat tahun terakhir, para nelayan menceritakan, menangkap ikan jadi terasa sangat susah. Nelayan setempat kini harus menggunakan perahu kecil dengan kekuatan 12 PK. Lokasi tangkapan pun lebih jauh. “Biaya melaut lebih tinggi, tetapi hasilnya lebih sedikit. Jelas kami rugi,” ujar Eko.
I Putu Gede Astawa, anggota Kelompok Nelayan (KN) Mekarsari menambahkan, hal lain yang terasa bagi nelayan adalah kian hilangnya lumba-lumba. Celukan Bawang berada satu garis dengan Lovina, kawasan populer untuk melihat atraksi lumba-lumba. Biasanya turis dari Lovina juga naik perahu untuk melihat lumba-lumba di pagi hari sampai laut di Celukan Bawang.
“Sekarang makin susah lihat lumba-lumba di sini. Kalau dulu kan 300-400 meter dari pantai sudah dapat lumba-lumba,” ujarnya.
Seperti sebagian nelayan lain di KN Mekarsari, Gede Astawa tak hanya menangkap ikan tetapi juga menyediakan layanan bagi turis untuk melihat atraksi lumba-lumba. Tiap penumpang bayar Rp100 ribu dengan satu perahu berisi tiga penumpang. Bagi nelayan, pendapatan dari wisata lumba-lumba itu sangat besar. Namun, menurut Astawa, kian hilangnya lumba-lumba menjadi ancaman hilangnya pendapatan mereka sehari-hari.
Pemerintah Membantah
Ketika dikonfirmasi terkait dampak PLTU berbahan batubara terhadap warga Celukan Bawang, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (BLH) Buleleng Putu Ariadi mengatakan pihaknya sudah secara berkala memantau kualitas lingkungan di sekitar PLTU Celukan Bawang.
“Kalau ada laporan dari warga mengenai dampak, itu mungkin saja memang terjadi, tetapi bisa dibandingkan dengan data-data kami,” kata Ariadi yang dihubungi Mongabay Indonesia pada Sabtu (25/8/2018).
Menurut Ariadi yang juga mantan Camat Gerokgak, wilayah di mana PLTU Celukan Bawang berada, berdasarkan hasil pemantauan BLH Buleleng, baku mutu udara dan air di Celukan Bawang sudah sesuai standar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, Ariadi tidak bisa menyebutkan pasti berapa standar tersebut.
“Pokoknya standar baku mutu udara dan air di sana sudah sesuai standar, tidak melewati batas yang ditentukan pemerintah,” tambahnya.
menarik dibaca : Cerita Mereka yang Hidup di Sekitar Tambang Batubara dan PLTU
Secara terpisah Kepala Tata Usaha Puskesmas Gerokgak I I Ketut Merta juga menyatakan tidak ada laporan peningkatan jumlah penyakit akibat pencemaran udara. “Berdasarkan data kami, tidak ada penyakit terkait pencemaran udara yang terlalu melonjak di sini,” katanya pertengahan Agustus lalu.
Merta menambahkan staf Puskesmas sudah turun ke Celukan Bawang karena adanya laporan warga yang mengeluhkan gatal-gatal. Namun, setelah dicek ke lapangan, tidak ditemukan kasus tersebut.
Berdasarkan data diagnosis di Puskesmas Gerokgak I, penyakit akibat pernapasan seperti asma hanya berada di urutan terakhir dari sepuluh penyakit pada 2017. Tiga kasus penyakit terbanyak adalah hipertensi (1.371 kasus), cedera terbuka (1.162), dan tuberkulosis (636). Adapun asma 198 kasus.
“Bisa jadi karena mereka yang mengeluhkan gangguan pernapasan akibat udara juga memang tidak melapor ke sini,” Merta menambahkan.