Mongabay.co.id

Hiu Paus dan Lumba-lumba Mati Terdampar (Lagi) di Perairan Yogyakarta

Paus mati di laut selatan kejadian kedua kali setelah tahun 2012. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Senin, (27/8/18), pukul 4.00 pagi. Rinto, warga Mancingan, Paringtritis, , Bantul, Yogyakarya,  memutuskan berkeliling di pesisir Pantai Parangkusomo. Tigapuluh menit berjalan, anggota Search And Rescue (SAR) Bantul, berusia 24 tahun ini melihat hiu paus (Rhincodon typus) terdampar di sekitar Pantai Parangkusomo, dari laporan warga yang menjaring ikan. Seketika dia melapor ke Pos SAR Parangtritis.

Tak berselang lama, tim gabungan tiba di lokasi, mengecek laporan Rinto. Ada satu hiu paus dengan luka goresan di perut. Ia sempat hidup, sekitar satu jam, namun hiu sepanjang empat meter dan diameter satu meter itu mati menjelang matahari terbit.

“Ketika ditemukan masih hidup, kondisi lemah. Sekitar 5.30-an pagi mati, insang dan ekor tak lagi gerak,” kata Muhammad Arief Nugraha, Komandan SAR Linmas Bantul kepada Mongabay.

Arief mengatakan, upaya menggiring hiu ke laut sempat dilakukan, namun terkendala ombak besar. Akhirnya,  bersama tim gabungan, hiu diikat tali agar tak hanyut ke tengah laut, guna pengecekan petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta.

“Beratnya sekitar satu ton. Upaya mengembalikan ke laut terkendala ombak besar,” kata Arief.

Untung Suripto, Kelapa Seksi Konservasi Wilayah II, BKSDA Yogyakarta mengatakan, tim dokter hewan BKSDA dan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada melakukan nekropsi atau otopsi untuk hewan, ditemukan luka gesekan diduga terkena karang. Namun, katanya, ada kemungkinan bakteri dalam saluran pencernaan.

Temuan lain, saluran pernafasan (insang) mengalami hemoragi atau pendarahan, karena ketika terdampar hiu masih hidup. Di laut,  hiu bernafas dengan insang, di darat mengalami kegagalan pernafasan. Di saluran pencernaan mengalami pendarahan, dari bagian tengah usus sampai belakang. Untuk hati, dari pemeriksaan makroskopis dalam keadaan baik.

“Usus mengalami pendarahan sampai bagian dalam. Penyebab diduga bakteri, sampel baru dianalisa tim FKH UGM,” katanya.

Dokter hewan BKSDA Yogyakarta, Yuni Tita Sari seusai memeriksa tubuh hiu mengatakan, hiu paus ini berkelamin jantan. Dari ukuran masuk balita atau remaja.

Sampai saat ini, katanya,  belum tahu pasti penyebab hiu mati. Dia akan lakukan penelitian lebih lanjut. Dari pemeriksaan sementara tak ada luka luar.

“Dugaan kami, hiu paus mati karena sakit dan terpisah dari gerombolan. Biasanya hiu hidup dan migrasi bergerombol.  Ini dugaan. Hasil ilmiahnya dalam proses.”

 

Seoarang warga mencoba mengevakuasi hiu paus agar tak terbawa ombak ke tengah laut. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Untung, mamalia laut sering terdampar pada Agustus di Pantai Selatan Yogyakarta. Dia mencontohkan, awal bulan, di Pantai Trisik, Kulon Progo, lumba-lumba juga mati.

Pada Agustus 2012, dua hiu paus juga pernah terdampar di laut selatan, di Pantai Parangkusumo dan Pantai Baru, Bantul.

Hiu paus, katanya masuk satwa dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/2013. Badan konservasi dunia,  IUCN, hiu paus masuk kategori rentan punah.

 

***

Setelah nekropsi atau sekitar 12 jam di pesisir, hiu paus dikuburkan. Suwarto, Kepala Seksi Pendayagunaan Laut Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK) Yogyakarta, kepada Mongabay mengatakan, sekitar satu jam, mulai pukul 5.00 sore, hiu dikubur dengan backhoe, di Parangkusumo. Kuburan sedalam tiga meter, hanya ditutupi pasir pantai.

Hasil kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merekomendasikan,  perlindungan penuh hiu paus pada 12 Oktober 2012. LIPI sebut hiu paus memenuhi kriteria sebagai status dilindungi penuh sesuai Peraturan Pemerintah No. 60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan.

Data KKP,  katanya, hiu paus atau hiu totol, salah satu jenis hiu terbesar di dunia. Indonesia, katanya, salah satu jalur migrasi hiu paus. Ia terbukti dengan seringnya ikan ini ditemui di beberapa perairan Indonesia seperti Sabang, Situbondo, Bali, Nusa Tenggara, Alor, Flores, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, dan Papua.

Sepanjang tahun,  ikan ini tampak di sekitar Tanjung Kwatisore, Nabire Papua, dengan jumlah sekitar 27–41 hiu.

“Penelitian hiu ini masih sangat minim karena sulit mempelajari siklus hidup yang cenderung migrator dan hidup soliter,” katanya.

Dia perkirakan, jumlah makin berkurang karena hiu mudah tertangkap tak sengaja (bycatch) oleh nelayan. Penyebabnya, kemungkinan ukuran besar dan gerakan lambat.

Saat ini, kata Suwarto, hiu paus masuk Appendiks II CITES dan termasuk daftar merah IUCN dengan kategori rentan (vulnerable). Satwa ini memiliki karakter spesifik seperti berumur panjang, fekunditas rendah, anakan sedikit, lambat mencapai matang kelamin dan pertumbuhan lambat. Untuk itu, sekali terjadi eksploitasi berlebihan, sangat sulit pulih.

“Jika masyarakat pesisir melihat hiu paus akan terdampar ke darat, segera menghubungi, agar ada upaya penggiringan kembali ke laut,” katanya.

Dihubungi terpisah, Fahmi, pakar hiu dari Pusat Penelitian Oseanologi LIPI mengatakan, kematian hiu paus di Pantai Selatan, belum ada penelitian kuat terkait dugaan penyebab. Jadi, katanya, baru berdasar literatur atau prediksi.

“Penting, kematian hiu paus kali ini jadi penelitian ilmiah, untuk mengetahui penyebabnya.”

Menurut Fahmi, enam tahun lalu terjadi kematian dua hiu paus di Pantai Selatan, dengan identifikasi terjerat jaring nelayan. Dia bilang, penting membentuk pengetahuan masyarakat lokal untuk evakuasi hiu paus ataupun mamalia laut lain jika terdampar di pesisir.

“Penyelamatan tetap hidup di habitat harus didahulukan.”

 

Tim Fakultas Kedokteran Hewan UGM dan dokter BKSDA Jogja melakukan otopsi hiu paus yang mati di laut selatan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Mengapa penting?

Hiu paus, katanya, predator tingkat trofik tinggi dalam ekosistem pesisir dan lautan terbuka. Peran hiu, katanya  menjaga keseimbangan ekosistem atau rantai makanan perairan laut, menjaga kelestarian biota laut langka, menjaga nilai dan keragaman sumberdaya ikan dan lingkungan berkelanjutan. Juga memberikan manfaat ekonomi masyarakat melalui pengembangan pariwisata bahari berbasis hiu paus.

“Perlindungan hiu paus karena jenisnya terancam punah dan pelindungannya tidak memengaruhi kesejahteraan nelayan,” kata Fahmi.

Dalam peraturan internasional, kata Fahmi, Indonesia telah meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden Nomor 43/1978.

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) merupakan konvensi perdagangan internasional untuk spesies tumbuhan maupun satwa liar yang terancam punah, berlaku sejak 1975. Tujuan CITES, selain melindungi satwa terancam punah, juga memastikan produk Indonesia perikanan diterima pasar internasional.

Sejauh ini,  sudah ada beberapa jenis hiu masuk daftar Appendix CITES,  yakni hiu paus pada 2013, oceanic whitetip sharkscalloped hammerhead (hiu kepala martil bergerigi), smooth hammerhead (hiu martil caping). Lalu , great hammerhead (hiu martil besar), hiu koboi (Carcharhinus longimanus) dan hiu martil pada 2014.

Dengan memasukkan hiu-hiu dalam daftar Appendix, pemerintah Indonesia mempunyai pedoman pemanfaatan dan pengelolaan terhadap jenis hiu dilindungi serta terancam punah.

Selain CITES, kata Fahmi, Indonesia juga menandatangani International Plan Action yang disepakati negara-negara PBB melalui FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) tahun 1999.

Realisasinya, dalam bentuk pengembangan rencana kerja nasional pengelolaan hiu. Dibuatlah Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Hiu dan Pari dari 2016-2020 sebagai acuan mengembangkan dan melaksanakan program konservasi serta pengelolaan hiu dan pari di Indonesia.

Lingkup lokal, Raja Ampat Papua Barat, menerapkan larangan penangkapan hiu. Wilayah seluas 46.000 kilometer persegi dan salah satu lokasi wisata itu jadi kawasan pelindungan hiu dan pari manta lewat penetapan Perda 9/2012. Perda di Raja Ampat,  berlatar belakang pemburuan hiu marak.

“jadi penting daerah berperan aktif melindungi hiu, seperti membuat perda perlindungan. Termasuk melibatkan dan mengedukasi nelayan dan masyarakat pesisir.”

 

Etika polisi

Siang hari, 27 Agustus 2018, sebuah foto beredar, jadi viral di jaring media sosial. Tiga polisi berseragam dinas berswafoto di hiu paus yang mati terdampar di Pantai Parangkusumo. Dua anggota berdiri, dan seorang duduk di kepala hiu. Ketiganya tersenyum sembari mengacungkan jempol.

Tak ayal foto ini menuai kritik publik. Atas foto itu, Kepolisian Yogyakarta menyampaikan permintaan maaf melalui akun twitter resminya.

“Terkait kejadian tiga anggota kami yang tertangkap kamera sempat menaiki ikan hiu mati, kami memohon maaf. Tidak ada maksud tertentu atas peristiwa itu,” bunyi tweet polisi.

Atas tindakan aparat kepolisian, Forum Edukasi Satwa dan Tumbuhan (Forest), gabungan 30 komunitas dan para individu Pecinta Satwa dan Tumbuhan dari Jogjakarta, Muntilan, Magelang, Semarang dan Sumedang prihatin atas tindakan tak etis itu.

Hanif Kurniawan, Divisi Advokasi Forest mengatakan, tindakan ketiga polisi ini menyakiti hati para pecinta satwa, dan mencerminkan tidak ada sikap menghargai apalagi mencintai satwa kebanggaan Indonesia.

Forest, kata Hanif, meminta Kapolda Yogyakarta, agar menumbuhkan spirit dan kecintaaan satwa.

 

Warga di Trisik, Kulonprogo mengevakuasi bangkai lumba-lumba terdampar di laut selatan. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Lumba-lumba terdampar

Senin, (6/8/18), lumba-lumba ditemukan sudah jadi bangkai di Pantai Trisik, Kulonprogo, Yogyakarta. Lumba-lumba hidung botol ini sepanjang dua meter dan berat 200 kilogram.

Joko Samudro,  Kepala Dukuh Trisik,  waktu itu kepada Mongabay mengatakan, kejadian ini pertama kali di Pantai Trisik. Dulu, pernah juga hiu paus terdampar.

Joko juga koordinator SAR Trisik menduga, mengatakan, lumba-lumba terdampar terbawa ombak besar. Kondisi musim dingin pada Mei hingga Juni membuat hewan bermigrasi ke daerah panas.

“Banyak warga melihat, kami segera mengkubur, karena sudah bau.”

Dia bilang, tak ada tim dari instansi pemerintah otopsi bangkai lumba-lumba ini hingga akhirnya dikubur.

Habitat hidung botol di perairan hangat. Ia berwarna abu-abu bervariasi dari abu-abu gelap bagian atas dekat sirip punggung dan abu-abu muda keputih-putihan di bagian bawah.  Hidung botol dewasa panjang 2-4 meter dan berat dari 150-650 kilogram.

Di laut selatan Yogyakarta, hidung botol mati merupakan kejadian keempat. Pada Desember 2014 dan Februari 2015, lumba-lumba jenis ini terdampar namun berhasil diselamatkan tim SAR.

Pada April 2015, lumba-lumba jenis sama tak berhasil diselamatkan tim SAR Parangtritis.

Sekar Mia, peneliti Mamalia Laut LIPI dihubungi terpisah mengatakan, faktor penyebab hewan-hewan laut terdampar antara lain, lantaran kondisi laut tercemar. Bisa pengaruh polutan atau cemaran di laut.

“Jadi banyak banget faktornya. Bisa juga ini indikasi cuaca ekstrem, misal gempa dasar laut atau pasang surut ekstrem bisa berpengaruh,” katanya.

Dia menambahkan, yang pasti kematian hewan-hewan laut tak lazim itu menjadi alarm bagi manusia. Sebab, hal bisa menjadi indikasi ada sesuatu yang salah dengan kondisi laut saat ini.

Data yang masuk rekaman Whale Stranding Indonesia (WSI) hingga awal Mei 2018, kejadian terdampar satwa laut di berbagai wilayah Indonesia yang dicatat WSI dalam satu dekade terakhir,  yakni, Kalimantan Timur ada 107 kasus, Bali (57), Aceh (25), Nusa Tenggara Timur (22), dan Papua (19).

 

Keterangan foto utama:    paus mati di laut selatan merupakan kejadian kedua kali setelah tahun 2012. Foto: Tommy Apriando

Lumba-lumba hidung botol yang mati terdampar di pantai Trisik, Kulonprogo. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version