Mongabay.co.id

Polemik Alat Tangkap Ikan, Negara Diragukan untuk Jaga Laut Lestari?

Ikan merupakan sumber pendapatan masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Keseriusan Pemerintah Indonesia dalam menjaga wilayah laut Indonesia untuk tetap lestari, kini mulai diragukan. Penyebabnya, karena hingga saat ini masih banyak nelayan yang menggunakan alat penangkapan ikan (API) tidak ramah lingkungan dan itu bertentangan dengan komitmen Pemerintah untuk menghilangkan API tidak ramah lingkungan dari laut Indonesia.

Demikian disampaikan Sektretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati di Jakarta pekan lalu. Menurut dia, sejak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) lahir, hingga sekarang manfaatnya belum terasa.

Begitu juga, kata Susan, setelah Peraturan Menteri No.71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI), hingga sekarang belum juga memberikan kedaulatan bagi masyarakat pesisir dan sekaligus menjaga laut Indonesia tetap lestari.

“Komitmen Negara untuk menjaga Laut Indonesia tetap lestari dipertanyakan,” ungkapnya.

Susan mencontohkan, wilayah yang masih menggunakan API tidak ramah lingkungan, adalah Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Di sana, sejumlah nelayan di Dukuh Tambakpolo, masih menggunakan API yang merusak, sehingga terlibat konflik horizontal dengan sesama nelayan dan masyarakat setempat.

“Jadi, ada yang menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, dan ada juga yang masih menggunakan alat tangkap yang merusak (ekosistem laut) seperti Sodo (jaring dorong) dan Arad (mini trawl),” jelasnya.

baca : Catatan Akhir Tahun : Penggantian Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan Berjalan Mulus atau Tidak?

 

Seorang anak nelayan menangkap ikan dengan menggunakan jaring sodo (push net). Foto : cendananews/Mongabay Indonesia

 

Menurut Susan, munculnya konflik horizontal di daerah tersebut, karena masyarakat masih kebingungan dengan posisi mereka dan Pemerintah dalam persoalan tersebut. Dalam posisi kebingungan tersebut, masyarakat tetap saja menjadi korban, karena seharusnya Pemerintah hadir saat sedang terjadi masalah seperti itu.

“Khususnya nelayan tradisional, ABK (anak buah kapal) dan masyarakat pesisir yang terlibat dalam rantai pasok pangan laut,” jelasnya.

Persoalan API juga dirasakan masyarakat nelayan di Kabupaten Kendal dan Jepara, Jateng. Di Kendal, nelayan yang menggunakan API seperti Arad dan telah mendaftar peralihan alat tangkap, mendapatkan hasil tidak memuaskan karena alat tangkap yang baru dari Pemerintah dinilai tidak sesuai serta tidak dapat menghasilkan tangkapan.

Akibat kondisi itu, Susan menyebutkan, nelayan di sana kemudian ramai-ramai menjual bantuan alat tangkap tersebut dan mereka kembali menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Di Jepara, nelayan Arad tetap menggunakan alat tangkapnya, karena tidak ada kejelasan skema peralihan alat tangkap.

“Dan ketika skema peralihan jelas, yang terjadi justru nelayan tidak mendapatkan alat tangkap yang diinginkan, atau berbeda ketika menerima bantuan alat tangkap dengan alat tangkap yang diajukan,” tuturnya.

baca juga : Kenapa  Alat Tangkap Cantrang Masuk Kelompok Dilarang di Indonesia?

 

Jaring arad (mini trawl), salah satu jenis alat tangkap ikan. Foto : fishtrawls.com

 

Dengan fakta di atas, Susan menilai telah terjadi jarak antara semangat dari kebijakan pengaturan kelautan dan perikanan melalui kebijakan alat penangkapan ikan dengan implementasinya. Bagi dia, skema implementasi belum melihat disparitas kebutuhan, kemampuan, dan konteks keragaman dari masyarakat pesisir baik dalam aspek sosiologis, geografis, maupun ekonomi politik.

Menurut Susan, konsistensi dan sinergitas antar kebijakan dan implementasi kebijakan dalam pengelolaan kelautan dan perikanan berkelanjutan harus ada dalam proses itu. Kemudian, harus ada pendampingan kepada nelayan selama masa adaptasi alat tangkap baru.

“Itu sangat dibutuhkan oleh nelayan dan perempuan nelayan. Sehingga nelayan tidak akan terbebani selama masa adaptasi.

Di sisi lain, Susan menambahkan, Pemerintah juga perlu memfasilitasi nelayan dalam inovasi teknologi alat penangkapan ikan yang mutlak diperlukan di masa sekarang. Dengan teknologi, dia meyakini tidak hanya akan menguntungkan secara ekonomi, namun juga mendukung keberlanjutan ekologi.

menarik dibaca : Susi : Penggunaan Alat Tangkap Ramah Lingkungan Dorong Kualitas Produk Perikanan. Seperti Apa?

 

Sejumlah kapal dengan alat tangkap ikan berupa cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, pada Selasa (13/2/2018). Kapal-kapal tersebut belum bisa melaut sebelum administrasi kapal dan menyanggupi kesediaan mengganti cantrang dengan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Kehadiran Negara

Susan Herawati menerangkan, masyarakat pesisir yang mendiami seluruh pulau di Indonesia membutuhkan perlindungan dari Negara. Hal itu untuk menghalau berbagai ancaman dan kondisi yang datang silih berganti kepada masyarakat di kawasan tersebut, seperti kriminalitas, kesejahteraan, sosial, dan lainnya. Dan persoalan paling mendasar, seperti API di Jateng.

Agar masyarakat pesisir bisa tetap bertahan hidup dengan rasa aman dan nyaman, Susan menyebut, Negara harus hadir untuk mendampingi, memberdayakan, dan sekaligus menjamin hak-hak konstitusional mereka. Proses tersebut, diyakini bisa memberi kekuatan untuk masyarakat pesisir dalam menghadapi berbagai tekanan dan ancaman.

Akan tetapi, menurut Susan, walau sangat dibutuhkan kehadirannya, hingga saat ini Negara masih belum terlihat hadir dan memberikan perlindungan kepada masyarakat pesisir. Padahal, dalam konteks tersebut Negara wajib untuk selalu hadir mendampingi.

Susan mengungkapkan, Negara tidak hadir di masyarakat pesisir, di antaranya berkaitan dengan kebijakan peralihan alat tangkap yang masih berjalan di tempat. Permasalahan dalam skema bantuan peralihan alat tangkap yang belum merata dan tidak sesuai dengan spesifikasi alat tangkap yang dibutuhkan nelayan, menjadi persoalan serius saat ini.

“Implementasi kebijakan masih belum mengakomodir kebutuhan dan keragaman nelayan dengan kondisi geografis pesisir yang berbeda-beda,” ujarnya.

Berdasarkan peta persoalan tersebut, KIARA meminta Pemerintah untuk tetap hadir memberikan perlindungan dan menjamin hak konstitusional masyarakat pesisir dan mengimplementasikan amanat Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

baca : Negara Tidak Hadir di Tengah Masyarakat Pesisir?

 

Sekelompok nelayan dalam perahu berangkat melaut untuk menangkap ikan roa Roa di perairan Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Susan memaparkan, jumlah desa pesisir di Indonesia sebanyak 12.827 desa dari 78.609 desa yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari seluruh desa tersebut, tercatat ada 8.077.719 rumah tangga perikanan yang hidup dan mendiami kawasan desa pesisir serta menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan.

Jika satu rumah tangga terdiri dari 3 orang, menurut Susan, maka ada lebih dari 25 juta orang yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan. Namun, jika satu rumah tangga terdiri dari 5 orang, maka ada lebih dari 40 juta orang yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan.

“Permasalahan serius yang dihadapi masyarakat pesisir yang dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama, yaitu permasalahan yang bersumber dari alam, permasalahan kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, dan permasalahan sosial ekonomi politik,” tegasnya.

Lebih jauh Susan memaparkan, ketidakhadiran Negara bisa juga dilihat saat proses penetapan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang masih belum mempertimbangkan dan memasukan kepentingan masyarakat pesisir. Proses tersebut, terlihat saat penyusunan perda di delapan provinsi yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Lampung, dan Sulawesi Tengah.

menarik dibaca : Komitmen Pembangunan Pesisir dan Pulau Kecil Diragukan, Kenapa Bisa Terjadi?

Selain pembuatan Perda RZWP3K, Susan menjelaskan, ketidakhadiran Negara bisa juga dilihat dari pengakuan terhadap peran serta kontribusi nelayan, khususnya perempuan nelayan, di Indonesia. Dari total 8.077.719 rumah tangga perikanan, hanya ada 1.108.852 kartu nelayan yang disiapkan oleh negara.

“Dari angka tersebut, hanya ada 21.793 kartu nelayan yang diperuntukkan untuk perempuan nelayan. Artinya, hanya dua persen saja kartu nelayan untuk perempuan nelayan,” tutur dia.

Berkaitan dengan hal tersebut, Susan mengatakan, pemberian asuransi nelayan yang menjadi mandat UU No.7/2016, hingga saat ini baru diberikan sekitar 143.600 asuransi kepada nelayan. Padahal, pemerintah telah menargetkan 1 juta asuransi nelayan.

***

Keterangan Foto Utama :  Sekelompok nelayan menarik jaring ikan di pesisir pantai di Provinsi Aceh. Foto : Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Exit mobile version