Mongabay.co.id

Perikanan KJA di Danau Toba Harus Berhenti Operasi Dua Bulan. Begini Penjelasannya..

Pemerintah meminta semua pemilik keramba jaring apung (KJA) yang ada di Danau Toba, Sumatera Utara, untuk menghentikan aktivitas produksi selama dua bulan ke depan. Penghentian itu diminta, menyusul terjadinya kematian massal ikan yang ada di danau tersebut. Saat ini, tim satuan tugas (Satgas) Penanganan Penyakit Ikan dan Lingkungan sedang melakukan investigasi.

Tim Satgas yang berasal dari para ahli perikanan budidaya pada Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Jambi, merekomendasikan selama dua bulan, agar perairan bisa melakukan pemulihan kondisi sampai seperti semula. Selain BPBAT Jambi, tim juga menyertakan para pakar dari Balai Karantina Ikan Medan.

Tim Satgas juga merekomendasikan agar untuk sementara waktu aktivitas KJA di hentikan terlebih dahulu sekitar 2 (dua) bulan, agar perairan bias me-recovery kondisinya seperti semula. Demikian himbauan itu diungkapkan Anggota Satgas yang juga Kepala BPBAT Jambi, Ahmad Jauhari dalam rilis yang diterima Mongabay, Rabu (29/8/2018).

Menurut Ahmad, kematian massal ikan terjadi di Danau Toba yang masuk wilayah Kelurahan Pintu Sona, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir,Sumut. Saat ini, tim sedang bertugas untuk fokus melakukan identifikasi dan sekaligus mencari penyebab teknis serta sumber dampak atas kematian massal ikan.

“Tak lupa, juga memberikan arahan untuk menentukan langkah-langkah yang bisa diambil,” ucapnya.

baca : Terjadi Lagi, Jutaan Ekor Ikan Mati di Danau Toba

 

Kematian massal ikan dalam keramba jarring apung (KJA) yang terjadi di Danau Toba, Sumut, sejak Senin (21/8/2018). Foto :Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Ahmad menerangkan, setelah dilakukan investigasi dan monitoring kualitas perairan di lapangan secara langsung, didapatkan hasil dugaan sementara penyebab terjadinya kematian massal ikan. Diantaranya adalah karena terjadinya penurunan suplai oksigen bagi ikan, kepadatan ikan dalam KJA yang terlalu tinggi, dan lokasi KJA terlalu dangkal, sementara dasar perairan merupakan lumpur.

Penyebab terjadinya penurunan suplai oksigen, menurut Ahmad, terjadi karena ada umbalan (upwelling) arus air yang dipicu oleh cuaca yang ekstrim dan itu mengakibatkan munculnya perbedaan suhu yang sangat kentara di permukaan air dan di bawah air. Perbedaan itulah yang mengakibatkan terjadinya pergerakan massa air dari bawah ke permukaan.

“Jadi, pergerakan massa air secara vertikal ini membawa nutrient dan partikel-partikel dari dasar perairan ke permukaan, dan ini menyebabkan pasokan oksigen untuk ikan menjadi berkurang,” ujarnya.

Berkurangnya pasokan oksigen pada ikan, menurut Ahmad, akan semakin bertambah parah karena lokasi KJA yang ada kejadian tersebut ternyata cukup dangkal dan substratnya berlumpur. Tak hanya itu, saat dilakukan investigasi, ternyata kepadatan ikan dalam KJA juga terlalu tinggi dan itu sangat mengganggu sirkulasi oksigen.

baca juga : Soal Keramba dan Kualitas Air Danau Toba, Begini Hasil Kajian Terbaru LIPI

 

Kematian massal ikan dalam keramba jarring apung (KJA) yang terjadi di Danau Toba, Sumut, sejak Senin (21/8/2018). Kerugian diperkirakan mencapai Rp2,7 miliar dengan asumsi harga ikan Rp15.000/kg dari 180 ton ikan yang mati. Foto :Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Upaya Pencegahan

Terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Slamet Soebjakto mengatakan, persoalan upwelling di perairan umum saat kondisi cuaca sedang ekstrim memang terjadi secara periodik. Jika tak ingin terulang lagi kejadian yang sama, maka harus ada tindakan pencegahan yang dilakukan semua pihak, termasuk para pemilik KJA dan juga Pemerintah Daerah dan Pusat.

“Kalaupun terjadi, tidak sampai menimbulkan efek kerugian ekonomi yang lebih besar,” ucapnya.

Sebagai kejadian yang menjadi siklus tahunan, Slamet menyebutkan, karakteristik di hampir semua perairan yang ada di Indonesia memiliki kesamaan. Untuk itu, perlu ada upaya lebih baik lagi dalam melakukan pencegahan yang dilakukan secara bersama, termasuk juga oleh masyarakat.

Untuk persoalan tersebut, Slamet menambahkan, KKP sudah melakukan upaya berupa penyadartahuan tentang upwelling di perairan umum. Bahkan, dalam beberapa waktu terakhir himbauan terus menerus diberikan kepada masyarakat untuk bisa melaksanakan pengelolaan budidaya secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

“Misalnya menerapkan manajemen pakan yang lebih efisien, sumber pakan yang sedikit mengandung fosfor, pengaturan kepadatan tebar, pengaturan jadwal budidaya hingga pengaturan jumlah KJA yang disesuaikan dengan daya dukung lingkungan yang ada,” paparnya.

menarik dibaca : Lingkungan Rusak, Pemerintah Kena Gugat Pulihkan Danau Toba

 

Proses penguburan sekitar 180 ton ikan yang mati dalam keramba jarring apung (KJA) yang terjadi di Danau Toba, Sumut, sejak Senin (21/8/2018). Kerugian diperkirakan mencapai Rp2,7 miliar dengan asumsi harga ikan Rp15.000/kg. Foto :Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Berkaitan dengan itu, Slamet meminta semua pemilik KJA dan masyarakat secara umum untuk bisa melihat masalah perairan umum lebih luas lagi dan tidak secara parsial. Kemudian, dalam mencari solusi untuk persoalan di perairan umum, juga harus dicari secara bijak dan komprehensif. Kata dia, ada banyak faktor yang memengaruhi kualitas lingkungan perairan.

“Oleh karenanya, semua pihak bisa duduk bareng mencari solusi yang sifatnya jangka panjang,” tandasnya.

Dari sudut legalitas, Slamet mengingatkan bahwa aktivitas usaha budidaya ikan di perairan Danau Toba telah diatur dalam berbagai regulasi. Diantaranya tertuang dalam Peraturan Presiden No.81/2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya, yang menyebutkan bahwa dibolehkan kegiatan budidaya ikan sepanjang dapat dikendalikan dan dilakukan pada zona budidaya perikanan.

“Zonasi peruntukan budidaya juga telah kita atur agar sesuai dengan Perpres,” sebutnya.

Khusus untuk kawasan budidaya di kelurahan Pintu Sona, Kecamatan Pangururan ini, Slamet menambahkan, sejak 2016 tim kajian dari Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KKP sudah merekomendasikan untuk segera dipindah ke lokasi yang lebih dalam. Rekomendasi itu ada, karena dari hasil kajian, lokasi saat in terlalu dangkal yakni di bawah 30 meter dan berada di teluk.

“Padahal idealnya minimal 30 meter dan ini riskan karena arus yang minim,” tuturnya.

Tentang kerugian ekonomi yang diderita para pemilik KJA, Slamet mengaku akan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah baik Provinsi dan Kabupaten untuk menentukan langkah selanjutnya terkait dukungan yang diperlukan. Kata dia, pihaknya akan menunggu kondisi perairan stabil dan setelah itu baru menentukan solusi yang tepat.

baca juga : Nasib Danau Toba, Antara Investasi Pariwisata dan Penyelamatan Lingkungan (Bagian 1)

 

Warga mengambil ikan yang mati dalam keramba jarring apung (KJA) yang terjadi di Danau Toba, Sumut, sejak Senin (21/8/2018). Kerugian diperkirakan mencapai Rp2,7 miliar dengan asumsi harga ikan Rp15.000/kg. Foto :Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Rekomendasi

Profesor Riset sekaligus peneliti senior Danau Toba dari Balai Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) Kelautan dan Perikanan Krismono memberikan rekomendasi berkaitan kasus kematian massal pada ikan yang terjadi di Danau Toba. Adapun, rekomendasi itu adalah:

  1. Mengubah visi dari SK Gubernur Sumut No.188.44/213/KPTS/2017 tentang Daya Tampung Beban Pencemaran dan Daya Dukung Danau Toba untuk Budidaya Perikanan dan SK Gubernur Sumut No.188.44/209/KPTS/2017 tentang Status Tropik Danau Toba dari oligotropik menjadi mesotropik.
  2. Menetapkan daya dukung perairan Danau Toba untuk budidaya perikanan KJA sebesar 45.000 hingga 65.000 ton ikan per tahun.
  3. Menyesuaikan tata letak atau zonasi budidaya perikanan KJA di Danau Toba sesuai dengan Perpres No.81/2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya dan peraturan lain yang berlaku.
  4. Memberi pedoman standardisasi budidaya ikan KJA di Danau Toba sesuai dengan arahan KKP dalam rangka budidaya perikanan yang ramah lingkungan.
  5. Menjalankan kemitraan antara KJA milik perusahaan dan KJA milik masyarakat dalam rangka pembangunan ekonomi kerakyatan.
  6. Mengenai pengalokasian kuota produksi (jumlah KJA) kepada masing-masing stakeholders akan dibahas kemudian.

Kepada Mongabay, Krismono menerangkan, dalam mengoperasikan KJA, pihak terkait harus bisa memberikan batasan dan penegasan tentang banyak hal. Termasuk, tentang daya dukung perairan dan kedalaman air. Jangan sampai, kedalaman air terlalu dangkal, sementara KJA produksinya sangat tinggi. Jika itu sampai terjadi, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

“KJA ini idealnya ada di air yang dalam, bukan dangkal. Itu yang harusnya dipahami oleh semua pihak yang terkait,” tegasnya.

Diketahui, kasus kematian massal ikan yang terjadi di Danau Toba sejak Senin (21/8/2018) dialami oleh sekitar 18 kepala keluarga (KK) yang menjadi pemilik KJA. Ikan yang mati jumlahnya diperkirakan mencapai 180 ton dengan taksiran kerugian diperkirakan sedikitnya Rp2,7 miliar dengan asumsi harga ikan Rp15.000/kg.

baca : Mau Lihat Foto-foto dan Video Jutaan Ikan Mati di Danau Toba? Simak Ini…

 

Exit mobile version