Setelah sekitar enam bulan berada di negeri orang, 596 kura-kura moncong babi akhirnya pulang kampung pada 24 Agustus 2018. Mereka mendarat di Bandara Soekarno Hatta, sebelum lepas liar ke habitat asli di Papua.
Pemerintah Indonesia bersama dengan Pemerintah Hong Kong memulangkan 596 kura-kura moncong babi hasil selundupan penumpang pesawat Indonesia dengan rute penerbangan Jakarta-Hong Kong.
Pada 12 dan 27 Januari 2018, moncong babi selundupan ilegal dari Indonesia-Hong Kong oleh warga Indonesia. Setelah menjalani peradilan dan hukuman denda 20.000 dolar Hong Kong, kura-kura kembali ke Indonesia.
”Sekarang banyak sekali modus operandi dikembangkan pelaku. Kita harus memetakan kembali modus-modus ini,” kata Indra Eksploitasia dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, pekan lalu.
Habitat moncong babi adalah rawa dan sungai. Sebarannya, ada pada tiga negara, yakni, Papua bagian selatan Indonesia, Papua New Guinea dan Australia bagian utara. Di Papua bagian selatan, penyebaran meliputi Merauke, Asmat, Mappi, Boven Digoel, Mimika, Dogiyai, sampai ke Kaimana.
Karmele Llano Sanchez, Direktur Program Yayasan International Animal Rescue (Yiari) mengatakan, modus pelaku biasa diambil saat baru menetas. ”Diambil saat menetas dan diperdagangkan, dibawa keluar negeri dan dibesarkan. Karena ukuran (kura-kura) itu masih sangat kecil hingga bisa membawa cukup banyak dan tak memerlukan tempat terlalu besar,” katanya.
Mayoritas penjualan spesies ini untuk, katanya, konsumsi, pemeliharaan dan dipercaya sebagai obat.
Karmele mengatakan, perdagangan kura-kura dari alam biaya tak sebanding dengan proses pemulangan. ”Proses pengambilan dan perdagangan kura-kura di alam mungkin tak terlalu banyak biaya. Pemulangan sangat besar melibatkan banyak instansi lebih dari satu negara, dana, administrasi dan sebagainya.”
Pemulangan ini, merupakan kerja sama antara Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, CITES Management Authority di Hong Kong, CITES Management Authority di Indonesia, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Juga Balai Karantina Pertanian, Kementerian Perdagangan, didukung Kadoorie Farm and Botanic Garden (KFBG) Hong Kong dan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi (IAR) Indonesia.
Indra mengatakan, upaya perlindungan terhadap satwa ini selain penetapan status dilindungi, KLHK juga melindungi habitat daerah rawa dan sungai, terutama di wilayah konservasi.
“Di luar kawasan konservasi, kami lakukan pemetaan bersama dengan mitra, apabila perlu jadi kawasan ekosistem esensial,” katanya.
Meskipun begitu, pemanfaatan satwa untuk kepentingan masyarakat masih memungkinkan dengan mendorong penangkaran atau pembesaran sistem kuota sesuai ketentuan LIPI.
Mengutip LIPI, kata Indra, data pasti populasi moncong babi di alam melalui survei jadi pertimbangan utama dalam menetapkan kuota tangkap.
Pada 2017, sebanyak 10.640 boleh diambil dari alam dalam bentuk telur, setelah menetas 50% kembali ke alam, sisanya dimanfaatkan.
”Pengambilan telur hanya diizinkan dari lokasi tertentu, di habitat Sungai Katalina, Asmat, Papua.”
Tan Kit Sun, Senior Conservation Officer The Kadoorie Farm and Botanic Garden (KFBG) Hong Kong, berharap, upaya pemulangan ini jadi kesempatan mengedukasi masyarakat agar tak memperdagangkan, membeli dan menjual satwa ini.
Kura-kura moncong babi, katanya, terus terancam karena perburuan dan perdagangan ilegal.
Sebelum ini, kasus penyelundupan moncong babi pernah terjadi awal 2018, pelaku berinisial NA tertangkap petugas Balai Penegakan Hukum KLHK Wilayah Maluku Sesi III Jayapura di Bandara Mopah, Merauke. Dalam proses penyelidikan, dia terbukti menyimpan 1.195 moncong babi dalam koper dan mengaku akan mengirim ke luar negeri.
Keterangan foto utama: Setelah dipulangkan dari Hong Kong, ratusan kura-kura moncong babi ini lepas liar ke habitat mereka di Papua. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia