Mongabay.co.id

Dokumen Palsu Kayu-kayu dari Hutan Nabire

Mobil beserta kayu sitaan di Halaman Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Perusahaan-perusahaan yang sudah mendapatkan standar verifikasi legalitas kayu (SVLK) tertangkap tangan gunakan dokumen palsu buat mengangkut kayu-kayu asal Nabire,  Papua. Kok bisa?

 

Perusahaan-perusahaan itu antara lain PT Mutiara Lestari Papua, CV Mandiri Perkasa, CV Wani Star, CV Puspa Yoga, dan PT Intico Pratama. Tangkap tangan ini saat Kepala Dinas Kehutanan Papua bersama tim uji petik peredaran hasil hutan kayu olahan di Pelabuhan Jayapura, Senin (13/8/18).

Saat tangkap tangan, kayu-kayu jenis merbau ini masih di atas Kapal Oriental Diamond, milik PT. Salam Pacific Indonesia Lines (SPIL). Dalam manifest  kapal diketahui  ada 91 kontainer. Dua kontainer berisi besi tua, empat arang briket sudah dilengkapi dokumen. Kemudian empat lagi hasil hutan kayu olahan sudah dilengkapi dokumen angkutan sah. Sisanya, 81 kontainer gunakan dokumen diduga kuat palsu.

Dari 81 kontainer yang diduga berdokumen palsu, 18 kontainer milik PT Mutiara Lestari Papua, 18 kontainer mili CV Mandiri Perkasa, 20 kontainer milik CV Wami Star, empat kontainer milik CV Puspa Yoga, dan 21 kontainer PT Intico Pratama.

Secara fisik kayu-kayu ini diketahui memiliki dokumen lengkap. Ada surat keterangan sah hasil hutan kayu (SKSHHK) dan nota angkutan. Dalam SKSHHK, tercantum pengirim, jumlah kiriman, dan tujuan.

Barcode terbaca tapi kami curiga ada satu aplikasi pembuatan barcode palsu,” kata Ade Ridwan, Kepala Bidang Usaha Kehutanan, Dinas Kehutanan Papua.

Dia bilang, akan konfirmasi ke sistem informasi. “Setelah kita kirim ke sistem informasi rupanya nomor itu tidak sesuai, bukan atas nama perusahaan itu. Ada yang tak terbaca di sistem kami ada yang ternyata itu nomor seri untuk perusahaan lain,” katanya.

Dari hasil pelacakan melalui sistem informasi penataan usaha hasil hutan (SIPPUH), diduga kuat terjadi pemalsuan dokumen.

Dinas Kehutanan lalu berkoordinasi dengan Pelindo IV untuk menurunkan kontainer-kontainer bermasalah. Setelah diperiksa lebih lanjut, hanya hanya ada 54 kontainer dalam kapal. Sisanya, di Pelabuhan Nabire. Empat antara lain, kontainer arang briket. Dinas Kehutanan pun hanya menurunkan 50 Kontainer.

“Kami sudah periksa. Sebagian sudah kami mobilisasi ke tempat penyimpanan yang aman. Karena kalau di pelabuhan kelihatan kita tidak diperkenankan menitip di situ. Biaya penitipan juga cukup mahal. Karena ini memang proses penyelidikan juga.”

Secara administrasi, katanya, asal kayu-kayu ini sulit dilacak karena perlu proses pengumpulan bahan keterangan lebih detil.

“Asumsinya,  kalau dokumen dipalsukan berarti kayu tidak jelas juga sumber. Yang jelas kayu-kayu yang tidak dilengkapi dokumen sah.”

Berdasarkan penelusuran Mongabay, PT Mutiara Lestari Papua beralamat di Jl. Raya Samabusa, Teluk Kimi, Nabire, PT. Intico Pratama di Kampung Yeretuar Distrik Teluk Umar,CV. Mandiri Perkasa Jl. Poros Wanggar, Kelurahan Bumi Wonorejo, Distrik Nabire. Lalu, CV Puspa Yoga di  Jl. Enarotali Kampung Wanggar Sari Distrik Wanggar, dan CV. Wami Star
di Kampung Bumi Mulia
 Distrik Wanggar. Semua ada di Kabupaten Nabire.

Kayu-kayu ini diketahui hendak dikirim ke Surabaya, Jawa Timur. Ketika dimintai informasi mengenai perusahaan penerima di Surabaya, Ade menyampaikan nama-nama perusahaan namun meminta tak membuka dulu ke publik demi kelancaran penyelidikan.

 

Ade Ridwan, Kepala Bidang Pembinaan Usaha Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Perusahaan nakal, SVLK lemah?

Lima perusahaan yang tertangkap tangan menggunakan dokumen palsu di Pelabuhan Jayapura, semua memegang sertifikat legalitas kayu (S-LK).  S-LK kelima perusahaan ini dikeluarkan lembaga verifikasi legalitas kayu PT. Mutu Hijau Indonesia.

Indonesia sudah menerapkan standar verifikasi legalitas kayu (SVLK) bertahap sejak 1 September 2009. SVLK adalah sistem pelacakan yang disusun multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu beredar dan diperdagangkan di Indonesia. Kayu-kayu ber-SVLK akan mendapat sertifikat V-Legal.

Penerapan SVLK, katanya,  bertujuan agar konsumen luar negeri tak lagi meragukan legalitas kayu dari Indonesia. Dia terapkan sertifikasi pasar internasional, terutama Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Australia.

Uni Eropa-Indonesia menyepakati skema Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT). Kesepakatan ini dimulai pada 15 November 2016. Kayu-kayu Indonesia yang memiliki sertifikat V-Legal langsung bisa dapat lisensi FLEGT. Kayu dan produk kayu Indonesia bisa masuk pasar Uni Eropa dengan lisensi ini.

Ade bilang, SVLK lebih banyak administrasi. Kalau pemalsuan dan tindak pidana, katanya, kemungkinan besar tak terlacak lembaga penilai, kecuali tertangkap tangan.

“Walaupun kita scan, kalau kita tidak melacak lewat sistem informasi juga tak ketahuan.”

Kemungkinan dari lembaga penilai, katanya, tidak bisa menemukan kegiatan-kegiatan pelanggaran mereka. “Kemarin karena tertangkap tangan jadi kami bisa penindakan. Kalau mau audit ke mereka, agak sulit juga. Kan administrasi lengkap juga.”

Mekanisme pengamanan di pelabuhan, kata Ade, belum ada. Baru ada, katanya, hanya meminta data-data dari pelabuhan saat ada pelayaran.

“Sebetulnya pengawasan ada SKB tiga menteri bisa melakukan pengawasan bersama. Keterbatasan kami juga seperti di pelabuhan-pelabuhan lain, personil kami sangat terbatas,” katanya.

Apalagi, kata Ade, kelembagaan kehutanan Dinas Provinsi baru Juni kemarin dilantik. Selama ini ada kevakuman memang dalam pengawasan.”

Dinas Kehutanan, katanya,  sudah  berbicara dengan Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), Pelindo maupun perusahaan pelayaran, untuk  berkoordinasi dalam pengawasan bersama.

“Jadi harus ada cek dan ricek hasil hutan kayu yang mau diangkut. Kemungkinan nanti ada konfirmasi dan klarifikasi dan Dinas Kehutanan.”

 

Pelabuhan Jayapura Tempat Tangkap Tangan Penggunaan Dokumen Palsu oleh Perusahaan Kayu. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Komitmen Pemerintah Papua

L. Franky dari Yayasan Pusaka mengatakan, perlu kekuatan besar menangani persoalan peredaran kayu ilegal ini.

Peredaran kayu ilegal, katanya, dugaan kuat ada penebangan liar merusak hutan. Untuk itu, katanya, perlu komitmen kuat dari pemerintah Papua,  seperti para gubernur dan bupati.

Kan sudah ada deklarasi dan rencana aksi penyelamatan sumber alam Tanah Papua. Implementasinya bagaimana?”

Sebelumnya pada Maret 2018, Pemerintah Papua,  bersama Komisi Pemberantasan Korupsi mendeklarasikan rencana aksi penyelamatan terutama sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan, kelautan dan perikanan. Deklarasi ini dihadiri oleh Para Kepala Daerah se-Papua, Pimpinan Organisasi Perangkat Daerah dan  Forum Komunikasi Pimpinan Daerah di Papua.

Selain itu, Franky juga mempertanyakan penggunaan aplikasi Sistem Informasi Penataan Hasil Hutan (SIPUHH).  Semua kegiatan perusahaan mulai dari pencatatan dan pelaporan perencanaan produksi, penebangan, pengukuran dan pengujian, penandaan, pengangkutan hingga pengolahan hasil hutan tercatat memalui sistem informasi ini dan online.

Setiap kayu yang ditebang, katanya,  juga ditandai khusus dan diberi ID barcode lalu masuk aplikasi ini. SKSHHK juga bahkan terbit melalui aplikasi ini, setelah perusahaan membayar pungutan hasil hutan atau provisi sumber daya hutan (PSDH). penggunaan.

Bersamaan dengan tangkap tangan penggunaan dokumen palsu kayu-kayu di Kapal Oriental, Dinas Kehutanan Papua juga menahan kontainer-kontainer kayu dari Jayapura karena hanya gunakan dokumen nota angkutan.

“Bukan berarti itu ilegal cuma harus pastikan hasil hutan di kontainer yang dilindungi nota perusahaan itu harus benar-benar legal. Kami sementara tahan dulu, tidak dimuat dan konfirmasi.”

Kayu-kayu itu antara lain milik Sijas Express, Mansiman Global Mandiri, dan IrianUtama.

 

 

Keterangan foto utama:    Mobil beserta kayu sitaan di Halaman Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Kayu-kayu sitaam yang ditumpuk di Halaman Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version