Pada Kamis (16/8/2018), Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar menjatuhkan putusan terkait sengketa antara warga bersama Greenpeace yang menggugat Gubernur Bali Made Mangku Pastika terkait izin lokasi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang Tahap II.
Mongabay mengikuti gugatan tersebut sejak diajukan pertama kali pada Januari 2018 dan sidang-sidang selama lima bulan sejak Maret hingga putusan. Tak hanya di dalam ruang sidang, Mongabay juga menelusuri dampak PLTU Celukan Bawang yang sudah beroperasi sejak 2015 tersebut.
Laporan ini mengungkap bagaimana sengketa PLTU Celukan Bawang Tahap II ketika pembangkit yang sudah ada juga menimbulkan berbagai dampak bagi warga desa di bagian utara Bali tersebut.
Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari tiga tulsan. Tulisan kedua bisa dibaca dengan meng-klik tautan ini. Sedangkan tulisan pertama bisa dibaca dengan meng-klik tautan ini.
***
Pembangunan PLTU Celukan Bawang di Desa Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng sebenarnya tidak pernah ada dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Meskipun demikian, pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II dengan kekuatan 2 x 330 MW itu tetap dilaksanakan ketika PLTU yang telah berdiri sebelumnya menimbulkan banyak dampak buruk kepada warga sekitarnya.
Pada pertengahan Maret 2018 lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan telah menyetujui RUPTL Nasional 2018-2027. Dokumen itu menjadi acuan program pengembangan listrik Indonesia sepuluh tahun ke depan.
Salah satu poin dalam RUPTL tersebut adalah perubahan proyeksi kebutuhan listrik nasional. Sebelumnya, pada RUPTL 2017-2026, kebutuhan listrik diperkirakan naik sebesar 8,3 persen, tetapi kemudian dikoreksi menjadi lebih rendah, 6,86 persen, pada RUPTL 2018-2027.
baca : Limbah PLTU Celukan Bawang Membahayakan Manusia dan Lumba-lumba
Menurut RUPTL 2018-2027, Bali termasuk provinsi dengan rasio elektrifikasi tertinggi pada 2018 ini selain Bangka Belitung, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Jawa Barat, dan Banten yang angkanya 100 persen. Artinya, seluruh warga di Bali dan empat provinsi tersebut telah mendapatkan layanan listrik. Bandingkan dengan, misalnya, Provinsi Papua yang rasio elektrifikasinya 65 atau Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 70.
Dokumen itu juga menyatakan bahwa selama 10 tahun ke depan, pemerintah akan membangun 27 pembangkit listrik di Jawa dan Bali. Hanya satu pembangkit listrik yang akan dibangun di Bali pada 2022 yaitu PLTU/Gas Uap/Mesin Gas (PLTU/GU/MG) dengan kapasitas sebesar 135 MW di Desa Antasari, Kecamatan Selemadeg Barat, Tabanan.
PLTU Celukan Bawang Tahap I sama sekali tidak disebut dalam RUPTL tersebut, tetapi tiba-tiba saja sudah dibangun dan beroperasi sejak 2015. Kini, PLTU milik PT General Energi Bali (GEB) itu akan ditambah lagi.
Karena itulah, izin lingkungan pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II pun digugat oleh warga dan Greenpeace. “Rencana Pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II tidak sesuai dengan RUPTL Nasional sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara,” kata Didit Haryo Wicaksono, Juru Kampanye Iklim dan Energi
Didit menambahkan dalam dokumen RUPTL 2018-2027, tercatat bahwa beban puncak Bali yang terjadi pada November 2017 sebesar 825 MW. Dengan kondisi total suplai listrik sudah sebesar 30 persen di atas beban puncak, yaitu sebesar 1.248 MW.
Artinya, Bali saat ini belum memerlukan tambahan pembangkit listrik.
menarik dibaca : Cerita Mereka yang Hidup di Sekitar Tambang Batubara dan PLTU
Kirim ke Jawa
PLN Bali membenarkan adanya kelebihan pasokan listrik di Bali tersebut. I Putu Priyatna, Deputi Manajer Perencanaan PLN Bali mengatakan saat ini Bali justru mengalami kelebihan pasokan listrik sebesar 33 persen.
Kelebihan tersebut mereka kirim ke Jawa, terutama pada siang hari, termasuk untuk memenuhi kebutuhan industri di Jakarta dan sekitarnya. “Bali ini sekarang mengirim listrik ke Jawa terutama ketika Jawa mengalami overhaul. Bukan Bali yang kurang daya,” kata Priyatna dalam wawancara Mei lalu.
Priyatna mengatakan kontrak pembangunan PLTU Celukan Bawang justru langsung di pusat, bukan di Bali. “Kami sih tidak menghendaki (PLTU) itu. Kami di Bali lebih memperjuangkan Jawa Bali crossing (JBC). Kalau itu sudah terpenuhi kan tidak perlu batubara,” katanya.
“Kami lebih getol mencari PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) karena PLTU batubara jelas mengotori Bali. Masyarakat Bali sudah tidak menginginkan batubara,” lanjutnya.
Jikapun alasan pembangunan PLTU Celukan Bawang adalah untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik di Bali, pihak PLN Bali sebenarnya lebih memilih dibangunnya kabel penghubung Jawa – Bali atau JBC. Rencananya, JBC ini akan dibangun di sekitar Gerokgak juga. Namun, rencana ini masih ditentang Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali.
baca juga : Begini Ironi Membumikan Energi Bersih di Bali
Di sisi lain, pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap I yang dibangun sejak 2003 justru tidak mendapat tentangan dari masyarakat karena pada saat itu warga belum tahu tentang dampaknya.
Zainuddin, Ketua RT 05 Desa Celukan Bawang, yang bersedia pindah rumah karena tanahnya dipakai untuk membangun PLTU, mengatakan warga pada dasarnya memang tidak keberatan saat itu karena saat itu ada alasan Bali kekurangan listrik. “Warga juga legowo pindah karena mau membantu Bali agar tidak kehilangan listrik,” katanya.
“Ketika mendapat sosialisasi pembangunan yang pertama dulu, kami juga belum tahu dampak PLTU dengan batubara itu seperti apa,” Zainuddin melanjutkan.
Setelah mengalami dampaknya, antara lain suara pembangkit yang terlalu bising, hilangnya ikan di sekitar PLTU, dan banyaknya debu batubara, sebagian warga pun menolak rencana PLTU Celukan Bawang Tahap II. “Kami bukannya menolak PLTU. Kami hanya tidak mau kalau PLTU-nya pakai batubara karena sudah terbukti berdampak buruk pada kami,” kata Muhajir, warga Celukan Bawang lain yang juga mantan kepala desa.
Toh, penolakan tersebut tak berpengaruh. PLTU Celukan Bawang Tahap II sudah menang dalam gugatan terhadap izin lingkungan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar.
Kepentingan Terselubung
Aktivis Greenpeace mengatakan masih terus berjalannya PLTU berbahan batubara di Bali tak bisa dilepaskan dari kondisi bisnis batubara nasional saat ini. Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan, secara global dan regional negara-negara di Eropa dan Asia Timur sudah mulai meninggalkan batubara sebagai sumber energi mereka. Akibatnya, batubara dari Indonesia ke pasar internasional pun berkurang.
“Di sisi lain, pada saat negara lain sudah beralih dari energi kotor ke energi terbarukan, Indonesia justru menggelar karpet merah untuk batubara,” ujarnya.
Padahal, menurut Hindun, PLTU batubara sudah terbukti berdampak buruk terhadap warga. Sebuah laporan dari Universitas Harvard menyebutkan sebanyak 20.000 orang di Asia Tenggara mengalami dampak buruk industri ini. “Jika tidak dihentikan, jumlahnya bisa sampai 70.000,” katanya dalam sebuah diskusi di Denpasar awal Mei lalu.
Dampak buruk itu terutama pencemaran udara akibat emisi karbon dan menyebabkan berbagai penyakit, terutama kanker.
Hindun menambahkan pemerintah Indonesia saat ini masih sangat tergantung pada batubara sebagai sumber energi. Pemerintah memberikan jaminan regulasi dan garansi agar investasi batubara masih aman ketika pasar internasional justru berkurang.
baca juga : Greenpeace: PLTU di Celukan Bawang Meracuni Bali
Salah satu kejanggalan dari maraknya investasi PLTU batubara saat ini, menurut Hindun, adalah karena banyaknya investor dari China. Pembangunan PLTU Celukan Bawang yang saat ini telah beroperasi, misalnya, menggunakan dana pinjaman dari China Bank Development dan China Huadian Engineering Co, Ltd sebagai pengembangnya, bersama dengan dua perusahaan lain.
Padahal, pemerintah China sendiri justru sangat giat beralih ke energi terbarukan.
Hindun mengatakan ada kepentingan terselubung yang harus diselidiki jika pembangunan PLTU Celukan Bawang Tahap II terus dilanjutkan. “Karena akan ada rupiah yang dibakar percuma untuk setiap megawatt yang tidak terserap oleh konsumen,” tegasnya.
“Karena itu pula, kami menggugat makin banyaknya PLTU berbahan batubara di Indonesia ini,” tambahnya. Selain di Bali, Greenpeace Indonesia juga melakukan gugatan terhadap PLTU berbahan batubara di Batang, Jawa Tengah serta Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat.
Pihak PLTU Celukan Bawang melalui pengacara saat sengketa di PTUN Denpasar, Hotman Paris Hutapea, menanggapi semua tudingan itu. Menurut Hotman pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang terkait batubara. Karena itu PLTU berbahan batubara dianggap tak menyalahi aturan.
“Batubara adalah primadona pembangkit tenaga listrik. Tanpa batubara, Indonesia tidak bisa hidup. Tanpa batubara anak lo nggak bisa sekolah. Siapa bilang batubara menimbulkan masalah?” katanya.
baca : Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini