Mongabay.co.id

Popok, Limbah Berbahaya yang Cemari Sungai-sungai di Jawa

Prigi Arisandi memilah sampah popok di pinggiran sungai. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Prigi Arisandi,  berbekal garu, tong sampah, masker dan berpakaian antiradiasi serba butih. Tak lupa kacamata air, sepatu bot dan sarung tangan. Dia bergerak cepat, turun menuju pinggiran Sungai Sempur di Sleman, Yogyakarta. Seketika dia menghitung jumlah popok bayi yang dibuang ke sungai, bercampur sampah plastik, kaleng, dan sisa makanan.

“Di Jogja sama saja, orang buang popok ke sungai. Ada ribuan, kami belum tahu motifnya,” katanya bercerita kepada Mongabay.

Hari itu, Minggu, (19/8/18), mengendarai mobil biru bak terbuka bertuliskan “Brigade Evakuasi Popok,” bersama rekannya Amirudin Muttaqien, menyusuri sungai di Kabupaten Magelang, tiba di Yogyakarta.  Keduanya dari Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton).

Baca juga: Menanti Putusan Gugatan, Masyarakat Jawa Timur Diingatkan Bahaya Sampah Popok

Di Jawa Timur, sungai di 15 kota mereka susuri. Di lima kota di Jawa Tengah dan Jogja, tak luput dari sampah, tak terkecuali popok bayi. “Ini ancaman sungai di Jawa, sampah popok mengandung limbah beracun,” katanya.

Prigi khawatir terhadap sampah popok berawal dari membaca data penelitian AC Nielsen yang menyebutkan penggunaan popok meningkat tiap tahun. Ada enam miliar popok bayi diproduksi tiap tahun di Indonesia. Sebagai kebutuhan rumah tangga, popok nomor dua setelah susu formula. Di Jawa Timur, sehari 16 juta helai popok diproduksi enam pabrik, dan didominasi satu perusahaan yakni Unichram, dari Jepang.

Problemnya, tak dibarengi tanggung jawab produsen terhadap limbah dan pengawasan pemerintah lemah. “Kok enak, perusahaan bikin sebanyak-banyaknya, tak ikut tanggung jawab dengan sampah. Lingkungan jadi korban,” katanya.

Baca juga: Suarakan Bahaya Sampah Popok Sungai Brantas ke Kementerian sampai Istana Presiden

Motif temuan Prigi, orangtua masa kini gunakan popok karena alasan praktis, gampang, murah dan mudah didapat. Bahkan kemasan satuan Rp2.500 bisa didapat di warung.

Masyarakat daerah urban 60% buang sampah popok di sungai agar anak tak “suleten”– kepercayaan lokal, jika popok dibakar, kulit sang anak akan gatal. Motif ini terjadi pula di Blitar, Malang, Kediri, Jombang, Sidoharjo dan Surabaya.

Berdasarkan sumber Badan Pusat Statistik 2013, di sekitar Sungai Brantas ada 750.000 balita, apabila setiap hari memakai empat popok, sehari ada 3 juta. Ada 42% sampah plastik, dan 37% popok. Artinya, berdasarkan data temuan kami, 60% masyarakat sekitar sungai, buang popok di sungai. “Ada 1,5 juta lebih popok dibuang di Sungai Brantas tiap hari,” katanya.

The Guardian mencatat sebanyak tiga miliar dan 20 miliar popok sekali pakai dibuang di Inggris dan Amerika setiap tahun. Adapun Australian Science melaporkan, penduduk Australia menggunakan 5.6 juta popok sekali pakai setiap hari. Sumber sama mengatakan, dua miliar popok sekali pakai dibuang ke tempat pembuangan sampah di Australia setiap tahun.

 

Ribuan popok dan sampah lain dibuang dipinggiran sungai di Sleman, Jogja. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Temuan lain dari Ecoton, kata Prigi, pada 2017,  ikan di sungai 80% betina dan 20% jantan. Bicara ekosistem sehat, seharusnya perbandingan 50:50. “Di bagian hulu Sungai Brantas, kami temukan ikan yang mengalami interseks, atau dalam tubuh terdapat dua kelamin. Ini diduga kuat dampak limbah berbahaya dari popok.”

Bahkan 2018, katanya, Ecoton membelah lambung ikan, 80% terdapat fragmen plastik dan fiber plastik, terindikasi kuat dari bahan popok.

Popok terurai jika terkena air dan panas matahari. Ia berbahan 55% plastik, 60% gel penyerap air dan jadi mikroplastik yang mengkontaminsasi air.

Adapun dampak kesehatan warga, pada kualitas air minum, yakni penambahan bahan kimia kaporit lebih banyak untuk menjernihkan air. Dampak kesehatan bisa dirasakan lima hingga 10 tahun ke depan.

Selama ini, kata Prigi, pemerintah gagal kendalikan banjir popok di banyak sungai di Jawa. Ancam ekosistem dan kesehatan karena bahan baku penyusun popok 100% berbahaya dan beracun (B3), super absorben polymer/SAP (polimer penyerap super) menyusun 42% pospak bahan kimia berbentuk serbuk gel penyerap cairan.

Selain menurunkan kelembapan kulit, senyawa B3 jika terurai di alam jadi mikroplastik dan microbeads mencemari ekosistem dan biota perairan.

Penggunaan popok sekali pakai (pospak) seolah tidak tergantikan lagi. Keluarga dengan bayi kurang tiga tahun sangat bergantung pada pospak.

Brigade Evakuasi Popok (BEP) survei kepada 700 orang yang tinggal di wilayah urban atau perumahan dan pinggiran kota (sub urban). Hasilnya, 92,8% di perumahan lebih merasa nyaman dan mudah jika menggunakan pospak.  Namun,  perilaku membuang popok masih kurang memperhatikan aspek keamanan lingkungan karena tanpa membersihkan dulu kotoran yang menempel di pospak sebelum dibuang ada 85%.

Persoalannya, kata Prigi, 70% pengguna pospak tak mengetahui bahaya kesehatan dan dampak lingkungan.

Dampak kesehatan pospak terdeteksi dalam survei  BEP, menemukan empat kasus anak sunat dini karena gangguan pemakaian popok yang lama tak diganti. Ada juga alat kelamin balita ada kotoran menyumbat saluran kencing, hingga ahli kesehatan menyarankan balita di sunat lebih dini.

Hingga kini, katanya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih merumuskan desain dan standar pospak ramah lingkungan.

 

Limbah popok dibuang di bawah jembatan dan terangkut di tumpukan sampah. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Investigasi BEP menemukan, bahan baku popok 99% berbahaya dan beracun yang memiliki dampak serius pada kesehatan dan lingkungan hidup. KLHK memasukkan sampah popok dalam kategori sampah berbahaya dan beracun. Adapun kandungan dan ancaman kesehatan yakni

super absorben polymer (SAP), sodium poliacrylate microplastic, microbeads dapat berdampak pada keracunan, radang dan cidera paru-paru.

Ada pula kandungan selulosa (bubur kayu) tributilin berupa limbah B3, dampaknya mengganggu hormon dan iritasi kulit. Ada styrene dermatitis, yang menyebabkan depresi sistem syaraf pusat.

Selain itu, kadungan B3 lain, karsinogen Xylen dapat menyebabkan iritasi, radang kulit dan gangguan fungsi paru-paru. Ada dioxin, dan mengangu reproduksi, gangguan fungsi hati dan fungsi imun, serta pelapis antikerut pthalate 12, dapat menyebabkan karsinogen, resistensi insulin dan gangguan reproduksi.

Dia menilai, KLHK dan kepala daerah lamban menangani serangan sampah pospak. “Pemerintah bereaksi saat ada kebakaran, tak ada upaya preventif dan edukasi kepada pemakai pospak dan tekanan ke produsen.”

Prigi dan BEP mengajak masyarakat terlibat mengurangi pemakaian pospak dan menggunakan popok kain lebih aman bagi kesehatan dan lingkungan.

 

Limbah popok

Hampir semua sungai di 15 kabupaten dan kota di Jawa Timur sudah disusur Brigade Evakuasi Popok (BEP). Minggu lalu mereka menyusuri sungai di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Temuannya, hampir semua sungai ada sampah popok, dari ratusan hingga ribuan.

Azis,  Koordinator BEP mengatakan, Pemprov Jateng dan Yogyakarta harus bersihkan sampah popok di sungai. Temuan BEP, di Jateng dan Jogja, jembatan jadi lokasi favorit masyarakat membuang sampah popok. Masyarakat enggan membuang popok di tempat sampah karena bau, ditambahi petugas pengangkut lambat..

Aziz menilai, pemerintah daerah lalai dalam pengendalian pencemaran dan pengelolaan sungai sebagai sumber kehidupan. Temuan pada tujuh jembatan sungai yang jadi sampling BEP menunjukkan, semua jembatan atau saluran air ada sampah popok.

Dia mencontohkan, di Jembatan Besole Klaten, ribuan sampah popok masuk dalam satu kresek dan glangsing. Dalam satu kresek berisi lebih 10 popok dan dalam glangsing bisa lebih 30. Sebagian besar sampah popok kotoran masih menempel.

Di sekitar sungai, katanya, tak ada tanda larangan membuang sampah. Sampah popok banyak hanyut maupun tenggelam di dasar sungai. Untuk dominasi merek Mammypoko dan Sweety.

Di Kali Putih, Kecamatan Salam, Magelang, terdapat tanda larangan membuang sampah ke sungai. Pada musim kering air untuk kebutuhan air bersih. Sampah popok dari orang lewat dan melempar sampah ke sungai.

Jembatan Gawan, Kabupaten Sragen, ditemukan popok sampai ribuan. Ia ada di tiang jembatan maupun di tebing sampai dasar sungai.  Pembuang sampah popok gunakan mobil dan motor menjelang pagi atau subuh dan dini hari. Tanda larangan buang sampah juga tak ada.

Di Yogyakarta, Sungai Pelang Sardonoharjo Ngaglik, Sleman, ribuan sampah popok dalam kresek terbuang di bantaran sungai. Di Selokan Mataram ada bekas-bekas sampah popok diangkat dari badan air ke bantaran sungai, beberapa nampak di dasar sungai, tersangkut di pintu air dan mengambang di badan air.

“Fakta pembuangan sampah popok di sungai ditemukan di semua sungai di Jawa dari Sungai Brantas, Bengawan Solo, Progo, Serayu, Ciliwung dan Citarum, hingga pantas disebut Sungai Jawa darurat sampah popok,” kata Aziz.

Sampah popok, katanya,  ancaman baru bagi ekosistem perairan dan jadi masalah serius di tingkat global. Menurut data Bank Dunia 2017 menyebutkan, sampah popok merupakan penyumbang sampah terbesar kedua di lautan setelah sampah organik 44%, popok 21%, tas kresek 16%, bungkus plastik 5% dan botol minuman kemasan satu persen.

“Indonesia tercatat memiliki sungai yang berkontribusi pencemaran laut dari Brantas, Progo dan Serayu, bahkan Brantas menyumbangkan lebih 28 juta ton per tahun sampah plastik ke lautan,” katanya.

Temuan tim di Jateng dan Yogyakarta, menunjukkan, pemerintah provinsi mengabaikan kewajiban dan tugas mereka dalam pengendalian pencemaran dan menjaga kualitas air.

“Pemprov Jateng dan Yogyakarta harus berkoordinasi dengan kabupaten dan kota yang dilewati sungai-sungai yang jadi sarana pembuangan sampah popok,” ucap Aziz.

Amirudin Muttaqien,  Koordinator Investigasi Sampah Popok Sungai di Jawa, mengatakan, pemprov bertanggung jawab atas warga yang membuang sampah popok ke sungai.

UU Pengelolaan Sampah 18 Tahun 2008, katanya,  seharusnya ada sanksi kepada pembuang sampah popok ke sungai.

 

Saat dibuang ke sungai tanpa membersihkan feses terlebih dahulu. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Dia meminta, pemerintah daerah proaktif melakukan upaya-upaya pencegahan sampai penegakan hukum terhadap pembuang sampah.

“BEP mendorong pemerintah Jateng dan Jogja serta Balai Besar Wilayah Sungai Solo , Bondoyudo, Progo dan Serayu serta KLHK untuk kendalikan pembuangan sampah popok ke badan air,” kata Amir.

Dia menyarankan, berbagai pihak bekerjasama dengan produsen oopok untuk menyediakan dropping point popok di tempat pembuangan sampah terpadu atau di jembatan dan saluran air yang sering dibuangi popok. Juga mengedukasi masyarakat seperti ibu rumah tangga bekerjasama dengan bidan, rumah bersalin dan posyandu agar tak membuang sampah popok ke sungai. Dia juga meminta, kurangi pemakaian Popok sekali pakai dan memberikan insentif kepada keluarga yang gunakan popok kain bisa pakai berulang-ulang.

 

Solusi

Untuk mengurangi sampah popok di sungai, salah satu cara dengan tak buang sampah ke sungai. Selain itu, kata Prigi, produsen wajib meredesain, mensosialisasikan, kepada konsumen tentang bahaya limbah popok.

Cara lain mengurangi sampah produk sekali pakai, popok dirancang secara berkelanjutan. Popok ramah lingkungan, katanya, dengan cloth diaper (clodi). Berbeda dengan popok sekali pakai, clodi dapat dipakai berulang kali karena bisa dicuci lalu dikeringkan.

Clodi hampir sama dengan popok kain. Bedanya, clodi dilengkapi lapisan penyerap ompol terbuat dari beragam material dengan kemampuan serap tinggi seperti mikrofiber, bambu, wool, serta kayu hemp.

Lapisan dalam clodi menjaga kulit bayi relatif kering, bagian luar bahan polimer yang tak tembus air hingga popok tak bocor. Dibandingkan popok sekali pakai, kata Prigi, harga clodi memang lebih mahal hingga para orang tua harus lebih dalam merogoh kantong.

“Namun jangka panjang, membeli clodi lebih hemat dibandingkan popok sekali pakai,” kata Prigi.

Jika dihitung, katanya, bayi usia 0-1 bulan memerlukan 10-12 lembar popok per hari. Total popok satu bulan pertama bisa 320-360 lembar. Pada usia 1-5 bulan, bayi perlu 8-10 lembar popok, dengan total per bulan 240-300 lembar. Kebutuhan ini sedikit menurun ketika bayi berusia 5-12 bulan karena hanya delapan lembar popok per hari, atau 240 per bulan.

“Total biaya selama setahun membeli popok Rp30.000 per 22 adalah Rp4,5 juta,” katanya.

Kalau memakai clodi, dengan asumsi ganti popok per empat jam sekali, sehari bayi hanya perlu 8 clodi. Setidaknya perlu mempunyai persediaan clodi untuk dua hari. Dengan clodi Rp70.000, orangtua hanya perlu mengeluarkan Rp1.120.000 untuk pemakaian berulang kali.

“Kita juga mendorong desain popok dan pengelolaan dibakar, walau ini tak juga baik,” katanya.Untuk upaya jangka pendek, katanya, produsen harus membuat semacam standar operasi menjelaskan, kotoran harus dibersihkan dahulu sebelum dibuang ke tempat sampah dan mengimbau tak membuang popok ke sungai. Untuk jangka panjang,  pemerintah perlu membangun TPA dengan teknologi sanitary landfill atau lahan uruk saniter.

 

Keterangan foto utama:      Prigi Arisandi memilah sampah popok di pinggiran sungai. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Prigi Arisandi pernah mendapatkan Goldman Price dari Presiden Obama. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version