Mongabay.co.id

“Selamat Asuh” Ritual Adat Bayan Ketika Ada Bencana (Bagian 1)

Para perempuan adat Bayan memasuki kompleks perkampungan adat, di belakang mereka tampak tenda pengungsian korban gempa. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat Adat Bayan, di Kabupaten Lombok Utara punya pandangan atas gempa yang mengguncang Lombok sejak 29 Juli 2018. Di hari kedua gempa, hingga akhir pekan Agustus, mereka menggelar ritual pembersihan “Selamat Asuh.”

 

Sejumlah pria dewasa bertelanjang dada, mengenakan kain terlilit di pinggang hingga ke betis. Parang terselip pada ikatan sarung. Mereka berjalan beriringan, tanpa alas kaki, memasuki kompleks rumah tradisional Sasak di Karang Bajo, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.

Di belakang mereka, tampak para perempuan dewasa, mengenakan kemben–kain melilit badan dari atas dada sampai atas mata kaki– membawa nampan di atas kepala mereka. Nampan terbuat dari anyaman bambu berisi padi dan beberapa hasil kebun.

Pria dewasa lain memikul padi belum ditumbuk, diikatkan pada sebilah tongkat bambu. Padi utuh dengan batang itu terikat pada kedua ujung tongkat, bagian depan dan belakang. Pria lain membawa kelapa terikat pada bilah bambu yang sama. Ada juga pria dan perempuan menggendong kambing. Beberapa anak-anak laki-laki mengenakan sarung dan sapu’ (ikat kepala khas Lombok) mengikuti dari belakang.

Sebagian besar tanpa alas kaki. Bagi yang beralas kaki, mereka letakkan sandal dengan rapi sebelum masuk ke kompleks itu. Ada batu pembatas dan pagar anyaman bambu mengelilingi kompleks. Kompleks itu tempat tinggal para tetua adat, disebut kampu.

Di setiap permukiman adat, ada beberapa rumah yang memiliki pagar keliling, membatasi dengan rumah-rumah adat di dalam kompleks itu. Itu merupakan tempat berlangsungnya berbagai ritual di masyarakat adat Bayan.

Pada beberapa kali ritual maulid adat, misal, saya pernah masuk ke kompleks ini. Dengan mengikuti aturan, mengenakan sarung panjang dililit, sapu’, dan tak boleh memakai celana.

 

Para lelaki yang bertugas untuk penyembelihan, menyembelih kerbau dalam ritual Selamat Asuh Mesigit pada Jumat (24/8/18). Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

***

Pagi itu, Jumat (24/8/18) mereka melakukan ritual Selamat Asuh. Di sekitar kampung rumah adat itu berdiri tenda-tenda pengungsian. Tak ada suara tetabuhan gamelan. Tak ada suara kebisingan orang diskusi di berugak (gazebo), tak ada keributan anak-anak bermain seperti pada setiap ritual lain yang selalu ramai. Suasana sangat sunyi. Seorang tokoh adat yang saya kenal pun mengingatkan agar tak masuk ke kompleks, apalagi mengambil gambar.

Pukul 10.00 waktu setempat, para pria dewasa yang membawa parang keluar dari kompleks. Di kening mereka terlihat tanda sembeq (ramuan sirih dan bahan lain yang ditempelkan di kening), tanda sudah bertemu dan menghaturkan doa pada para tetua. Di satu pojok di perkampungan itu,  mereka menyembelih kerbau.

Setelah penyembelihan, potongan daging dibawa sedikit demi sedikit ke kompleks. Dari luar saya lihat, di salah satu berugak, para pria memotong kembali daging-daging itu. Aktivitas itu berlangsung sampai siang.

Hari itu, pekan terakhir masyarakat adat Bayan menggelar ritual Selamat Asuh. Ritual ini merupakan selamatan khusus ketika ada kerusakan besar. Musibah gempa yang meluluhlantakkan seluruh desa di Lombok Utara, dan semua kabupaten di Pulau Lombok, dinilai kerusakan besar. Gempa maupun bencana lain yang berdampak besar harus “dibersihkan” melalui ruwatan itu.

“Tergantung besarnya dampak,” kata Rianom, tokoh adat di Karang Bajo.

Pada Jumat itu merupakan ritual ketiga yang digelar masyarakat adat Bayan. Sudah tiga kali Jumat ritual berlangsung di perkampungan  tradisonal itu. Ritual setiap Jumat. Pada Jumat pertama,  masyarakat adat Bayan menggelar “Selamat Asuh Gubug.” Gubug berarti kampung,  bisa bermakna kampung secara harfiah, bisa juga lebih luas bumi.

Ritual kedua pada Jumat berikutnya,  masyarakat adat Bayan menggelar “Selamat Asuh Gunung.” Jumat terakhir itu,  digelar “Selamat Asuh Mesigit.” Mesigit artinya mesjid.

Secara kebetulan pada “Selamat Asuh Mesigit” itu, bertepatan dengan “Lebaran Pendek” atau hari Raya Idul Adha bagi masyarakat adat Bayan, dan masyarakat Wetu Telu umumnya. Perhitungan mereka berbeda dengan perhitungan pemerintah.

Perayaan Lebaran Pendek (Idul Adha) dan Lebaran Tinggi (Idul Fitri), digelar masyarakat adat tiga hari setelah Lebaran ketetapan pemerintah. “Begitu gempa 29 Juli, malam hari itu langsung besoknya digelar ritual,’’ kata Rianom.

Bagi masyarakat adat Bayan, gempa dan bencana lain bukan semata peristiwa alam. Gempa merupakan peristiwa spiritual. Gempa merupakan peringatan dari Tuhan kepada manusia dan kepada seluruh makhluk.

Gempa kali ini, berlangsung cukup panjang, mereka tafsirkan sebagai petunjuk dari Yang Maha Kuasa, betapa sangat besar pelanggaran manusia terhadap alam.

Gempa pertama pada 29 Juli 2018,  berdampak pada desa-desa di Kaki Rinjani, di Lombok Timur, mengena ke Kecamatan Sambalia dan Sembalun. Desa-desa di dua kecamatan ini ada di Kaki Rinjani.

Begitu juga desa-desa di Bayan, Lombok Utara, pada gempa pertama 29 Juli 2018, terdampak adalah desa-desa di Kaki Rinjani. Belum hilang ingatan gempa pertama itu, kembali gempa lebih besar mengguncang 5 Agustus 2018. Dampaknya,  lebih luas, desa-desa di Kaki Rinjani seperti Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah juga terdampak. Desa-desa yang berbatasan dengan Kaki Rinjani di Kecamatan Montong Gading dan Kecamatan Sikur Kabupaten Lombok Timur,  juga terdampak.

 

Mesjid Kuno Bayan. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Begitu juga desa-desa lain.  Ratusan jiwa meninggal, ribuan terluka, dan ratusan ribu orang tinggal di pengungsian. Gempa besar berikutnya pada 9 Agustus. Kembali gempa memporak-porandakan Lombok pada 19 Agustus. Gempa sangat panjang.  Di tengah upaya pemerintah penanggulangan bencana, masyarakat adat Bayan pun melakukan hal sama, melalui jalan spiritual.

“Setiap peristiwa kecil pun tetap masyarakat adat menggela ruwatan, missal, ada korban meninggal di gunung (Rinjani), ada kecelakaan. Wajib ada,’’ katanya.

“Selamat Asuh” atau disebut juga “Mengasuh” yang digelar masyarakat adat Bayan ini bukan sekadar perkara hasil rapat (gundem) para tetua adat. Sejak gempa pertama, sudah ada bisikan dari “roh” bahwa mereka harus menggelar ruwatan dan melakukan perintah “roh” itu.

Roh itu masuk ke tubuh warga adat. Tidak satu orang, tetapi beberapa. Permintaan dan perintah itu sama ke setiap orang yang kerasukan, akhirnya diputuskan “Selamat Asuh.”

Salah satu perintah “ekstrem” adalah membongkar beberapa bangunan di kompleks mesjid kuno. Mesjid Kuno Bayan yang ditetapkan pemerintah sebagai cagar budaya itu salah satu situs budaya, sekaligus wisata budaya. Setiap ada ritual adat, selalu ramai wisatawan, bahkan hingga mancanegara. Paling ramai ketika momen maulid adat.

Mesjid Kuno Bayan juga sudah sering masuk TV nasional, TV lokal, bahkan TV internasional. Sudah tak terhitung berapa artis datang, sudah banyak acara TV mengambil latar Mesjid Kuno Bayan. Akhirnya,  kehadiran dan publikasi itu membuat Mesjid Kuno Bayan jadi ikon budaya sekaligus ikon pariwisata.

Pemerintah kemudian melengkapi dengan berbagai fasilitas. Ruang loket tiket sekaligus tempat menjaga, kamar mandi, tempat parkir, tembok keliling. Semua dibangun permanen melalui anggaran pemerintah daerah. Kontras dengan bangunan Mesjid Kuno Bayan dan makam di sampingnya yang masih mempertahankan bahan tradisional.

“Wangsit yang diterima, seluruh hal baru di kompleks Mesjid Kuno Bayan harus dibersihkan. Harus dibongkar,’’ kata Rianom.

Para tetua adat kemudian menyampaikan hasil wangsit itu. Tak perlu waktu lama, masyarakat di Kecamatan Bayan yang jadi bagian dari masyarakat adat Bayan, tersebar di beberapa desa datang ke kompleks Mesjid Kuno Bayan. Tembok dirobohkan, bangunan loket rata dengan tanah, tandon air disingkirkan, bahkan berugak yang dibangun pemerintah berbahan kayu pun dibongkar.

Setelah pembongkaran, rupanya masih ada wangsit baru diterima. Kompleks Mesjid Kuno Bayan belum bersih sepenuhnya. Kotoran manusia, di septic tank harus dibersihkan.

Keesokan hari, masyarakat ramai-ramai membongkar septic tank. Bata dibongkar, dan isi dikuras. Tak ada jejak kotoran. “Sampai benar-benar bersih,’’ kata Kariadi, tokoh masyarakat adat Bayan.

Kariadi bilang, bencana alam yang selama ini kerap melanda Lombok, dan gempa baru-baru ini, tak lain sebagai peringatan.  “Manusia terlalu serakah akan materi. Banyak tempat suci yang kemudian dengan bebas untuk kepentingan pariwisata.”

Kehadiran wisatawan, satu sisi mendatangkan uang, sisi lain membawa kerusakan tempat suci itu.

Gunung Rinjani adalah salah satu tempat suci. Sampai saat ini, para tetua adat baik dari masyarakat beragama Islam dan Hindu masih sering menggelar ritual di Rinjani. Sisi lain, Rinjani adalah sumber penghasilan negara. Dalam setahun, miliaran rupiah terkumpul, dan masuk ke kas negara melalui Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR). Ribuan orang mendapat uang dari jasa pendakian, jasa penginapan, jasa guide, porter, dan bisnis turunan lain.

Kariadi bilang, mereka lupa Gunung Rinjani bukan sekadar gundukan tanah semata. Rinjani adalah tempat suci yang harus dijaga.

“Sekarang Rinjani sudah dikotori,’’ katanya.

Pemerintah,  hanya peduli citra pariwisata, tanpa peduli pada kelestarian Rinjani. “Abai jika Rinjani adalah tempat suci.”  Rinjani memiliki dimensi spiritual bagi masyarakat Lombok, bukan sekadar mesin pencetak uang.

“Sangat politis pembangunan selama ini, semua demi citra pariwisata,’’ kata Rianom, sehari-hari PNS di Bayan.

Sampai saat ini, bongkahan sisa bongkaran “bangunan baru” di kompleks Mesjid Kuno Bayan masih bertumpuk.

 

Bangunan baru di dalam kompleks Mesjid Kuno Bayan dibongkar. Hasil wangsit para tetua, seluruh unsur baru di dalam kompleks itu harus disingkirkan sebagai upaya tolak bala bencana gempa. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Bukan tolak pariwisata

Rianom dan Kariadi bilang, masyarakat adat Bayan tak menolak pariwisata tetapi harus mengikuti rambu-rambu.

Untuk memasuki Kompleks Mesjid Kuno Bayan maupun kampung, katanya, harus dalam keadaan suci. Karena itulah warga yang akan masuk harus wudhu terlebih dahulu, bagi perempuan haid tidak boleh masuk.

Begitu juga pendakian Rinjani, ada ritual harus diikuti. Namun, katanya, semua itu kini sudah tidak ada. Semua orang bebas masuk, wisatawan sesuka hati masuk tanpa mengindahkan aturan, masyarakat juga abai dengan aturan itu karena gemerincing uang dari hasil pariwisata.

“Kami tidak anti pariwisata, tapi tidak boleh berlebihan,’’ kata Rianom.

Bayu Windia, Ketua Majelis Adat Sasak (MAS)–paguyuban masyarakat Suku Sasak–, satu sisi setuju dengan Rianom dan Kariadi soal evaluasi ulang pariwisata. Namun, dia tidak setuju jika pariwisata harus tiada. Bagi MAS, harus ada pemilahan mana tempat yang sangat ketat, dan mana tempat boleh  bagi pariwisata.

Dia contohkan, di Bayan, harus ada pemetaan mana daerah ketat pembangunan pariwisata dan tidak. Sebenarnya, bagi wisatawan ada kepuasan tersendiri jika mengunjungi tempat-tempat bersejarah dengan kondisi apa adanya. “Artinya bukan bangunan baru. Kompleks Mesjid Kuno Bayan harus dipertahankan seperti asli, tanpa ada tambahan.”

“Kita tidak bisa nafikan, banyak warga yang menggantungkan hidup dari sektor pariwisata,’’ katanya.

Bayu menyebut, di Senggigi sebagai ikon pariwisata Lombok, bersingungan dengan Pondok Pesantren Batulayar dan Gunungsari. Tak jauh dari sana ada juga komunitas masyarakat adat. MAS sendiri juga memiliki banyak binaan di kawasan itu.

Untuk kawasan seperti ini, katanya, harus ada pengecualian. Ibarat kawasan hutan, Senggigi dan Gili merupakan kawasan produksi, sementara Mesjid Kuno Bayan dan tempat suci lain dibarat kawasan konservasi.

“Harus ada jalan keluar terbaik untuk kemaslahatan bersama sekaligus tetap mejaga tradisi,’’ katanya.

MAS termasuk salah satu organisasi yang getol menyuarakan “pemurnian” tradisi Sasak. Sasak adalah nama suku yang mendiami Pulau Lombok. MAS melihat banyak tradisi-tradisi Sasak yang sudah jauh dari ajaran leluhur.

Di bidang kesenian, banyak alat kesenian baru yang mengawinkan alat kesenian tradisonal, tetapi hasilnya merusak. Banyak atraksi budaya justru jauh menyimpang dari ajaran leluhur. Tidak sedikit perubahan itu terjadi atas desakan pariwisata.

“Apa yang terjadi di Paer Daya (wilayah utara) hari ini pernah terjadi 10-20 tahun lalu di Paer Lauq (wilayah selatan). Di bagian selatan Lombok dulu masih terjaga warisan leluhur, termasuk Mesjid Kuno dan tradisi-tradisi leluhur. Begitu masuk pariwisata dan modernisasi, semua berubah.”

“Apa yang terjadi dengan suadara kita di Bayan hari ini, terjadi 20 tahun silam di selatan,’’ kata Bayu.

Dia bilang, Bayan harus memperkokoh benteng tradisi tetapi satu sisi bisa adaptif dengan perubahan. (Bersambung)

 

Keterangan foto utama:    Para perempuan adat Bayan memasuki kompleks perkampungan adat, di belakang mereka tampak tenda pengungsian korban gempa. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version