Mongabay.co.id

Sengketa Harga Lahan Bendungan Pamukkulu Berujung di Pengadilan

Suasana desa Kale Ko'mara. Kala bendungan jadi, sebagian desa ini akan tenggelam. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Pada Rabu, 15 November 2017, Syahrul Yasin Limpo,  Gubernur Sulawesi Selatan, menyaksikan penandatanganan kontrak pembangunan Bendungan Pamukkulu di ruang pola Kantor Bupati Takalar. Proyek itu target rampung pada 2022  dengan nilai investasi Rp990 miliar. Ia bakal menghasilkan listrik 2,5 MW, menampung air 82,1 juta meter kubik, dan jadi penyuplai irigasi lahan seluas 6.150 hektar.

Pada pengerjaan tahap awal, hingga Agustus 2018, belum juga mulai. Masalahnya, ada 640 hektar, lahan warga akan ditenggalamkan. Warga menolak, bukan soal kehilangan kampung leluhur mereka, melainkan biaya pengganti lahan dinilai terlalu rendah, kisaran Rp3.000 hingga Rp25.000 per meter.

Bendungan raksasa ini merupakan proyek strategis nasional (PSN) melalui pembiayaan APBN.  Melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (PUPR),  pemerintah mencangankan tiga pembangunan bendungan di Sulawesi Selatan. Yakni, Bendungan Passeloreng di Wajo, bendungan Karalloe di Gowa, dan Bendungan Pamukklu di Takalar.

Untuk Passeloreng dibangun 2015, dengan kapasitas pengairan irigasi seluas 7.000 hektar. Tampungan maksimal mencapai 138 juta meter kubik. Bendungan Karalloe target rampung pada 2019, dengan kapasitas 40,53 juta meter kubik, berkapasitas alir untuk irigasi seluas 7.000 hektar dan pembangkit mikrohidro 4,5 MW. Kelak tiga bendungan ini, termasuk Pamukkulu, akan meningkatkan tampungan air 261,23 juta meter kubik untuk suplai air irigasi.

 

Suasana Desa Kale Ko’mara. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Bendungan Pamukkulu di Desa Kale Ko’mara,  Kecamatan Polongbangkeng Utara, Takalar. Desa ini, berada di kaki Pegunungan Lompobattang, berbatasan dengan Jeneponto dan Gowa. Untuk mencapai desa, dengan kendaraan roda dua sekitar 45 menit dari pusat kabupaten. Jalan aspal.

Bendungan ini, akan menutup badan sungai Desa Kale Ko’mara. Menenggalamkan ratusan hektar lahan dan menghilangkan puluhan rumah. Setidaknya tiga dusun bakal terendam. “Rumah ini kelak akan terendam. Tenggelam,” kata Djamaluddin, warga desa.

Kami berbincang di beranda rumahnya yang panas. Udara musim kemarau membuat angin terasa membakar kulit. Daun-daun di sekitaran halaman rumah nampak menguning. Tanah terlihat memutih. Tepat di belakang rumah Djamaluddin, badan Sungai Kale Ko’mara, nampak jelas. Sangat dekat, hanya sekitar empat meter, dari tiang rumah panggungg berdiri di tebing sungai.

Sungai desa ini nampak kering. Air mengalir pelan, beberapa titik kalau menapak tanpa alas kaki sangat licin, karena batu ditumbuhi lumut. “Kalau musim hujan, air bisa tinggi sekali. Sampai di tebing ini,” kata Muhammad Mansyur, warga yang lain.

Mansyur menunjuk tebing di atas kepala saya. Tinggi dari dasar sungai sekitar tiga meter. Dia lalu mengganti ungkapan banjir, dengan kata meluap. “Air bisa sampai ke seberang sana,” katanya menunjuk sisi lain, yang terhampar sawah warga.

Sungai ini berhulu di Pegunungan Lompobattang, menuju hilir di laut sejauh 60 km di Tope Jawa. Bendungan ini kelak jadi pengendali banjir dan merupakan yang pertama di Takalar.

Bagaimana jika kampung tenggelam? Rumah ini kelak akan hilang? “Iya nda apa-apa. Kan bendungan itu memang untuk hajat orang hidup banyak. Kami akan pindah, cari tempat perkampungan baru,” kata Djamaluddin.

Sebelumnya, beberapa kali terjadi penolakan pembangunan bendungan karena biaya pergantian tanah warga dianggap sangat rendah. Tim penilai independen yang mengukur tanah pada tahap awal menentukan 100 hektar, dengan kisaran terendah Rp3.000. “Itu seperti menghargai tanah dengan sebungkus mie instan,” kata Andi Maksim Akib, kuasa hukum warga.

 

Basecamp PT Nindya Karya, BUMN yang mengerjakan proyek pembangunan bendungan Pamukkulu, di Desa Kale Ko’mara, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Takalar. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Warga menang gugatan

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lipang Takalar dan LBH Makassar, mendampingi warga. Andi Radianto Direktur LBH Lipang, mengatakan, warga segera lakukan gugatan ketidaksetujuan harga tanah. Ada 73 penggugat, yang masuk berkas gugatan. “Sebenarnya ada ratusan orang. Kami berkejaran dengan waktu, pasca penentuan harga, kami membuat gugatan. Itu tepat sehari sebelum masa tenggat,” katanya.

Menentukan nilai ganti rugi layak dan adil, untuk tanah dengan kepentingan publik diatur dalam UU Nomor 2/2012. Untuk menaksir harga tanah, dibentuk tim appraisal sebagai penilai independen. Tim inilah yang bekerja dan menyerahkan hasil ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Pada tahap ini, soalan mulai rumit. Setelah tim bekerja, harga disosialisasikan ke warga. Apakah warga menerima atau menolak. Kalau menolak, upaya mengajukan ke ranah hukum melalui keberatan di pengadilan. Waktu terhitung sejak penentuan selama 14 hari kerja.

Jika melewati itu, keputusan dinyatakan berkekuatan hukum tetap. Setelah itu, tidak ada lagi upaya. Istilah lain, adalah konsinyasi. Pengembang akan menitipkan uang ganti rugi – yang disebut harus berkeadilan di UU–di pengadilan. Inilah yang disebut Edy Kurniawan Wahid, Kepala Pos Bersama LBH Makassar–LBH Takalar, jalan buntu.

“Apa yang terjadi di Takalar, sama dengan pembangunan Bendungan Karalloe di Gowa. Tim penaksir, menetapkan sepihak dan masyarakat tidak tahu,” katanya.

Di Gowa, pendampingan dilakukan saat warga sudah tergusur. “Memang agak susah. Uang ganti rugi bahkan warga belum ambil di pengadilan, karena ketidaksetujuan itu.”

LBH Makassar dalam catatan akhir tahun menyatakan, pembangunan tiga bendungan di Sulawesi Selatan, merebut hak hidup warga. Tanah tempat mereka lahir, membesarkan anak, dan mengubur ari-ari, harus rela ditinggalkan. Tak ada jalan lain, mereka berhadapan dengan ketentuan untuk kepentingan lebih besar dan membantu negara.

 

Batang Sungai Desa Kale Ko’mara nampak debit air yang kurang karena musim kemarau. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Muhammad Haedir, Wakil Direktur LBH Makassar, mengatakan, upaya hukum pembangunan di Takalar, adalah pelajaran dari beberapa pembebasan lahan atas nama kepentingan umum di Sulawesi Selatan.”Karena ini proyek nasional, harus dilaksanakan secepat mungkin. Inilah yang biasa tidak melihat beberapa aspek sosial. Memulai hidup baru di tempat baru bukan lah hal mudah,” katanya.

“Khusus Karalloe dan Pamukkulu, kita masih bicara tentang keadilan dalam pembebasan lahan. Kita belum melihat bagaiamana perubahan lingkungan, hingga hubungan sosial. Apakah warga sudah mendapatkan pengetahuan dan sosialisasi yang bagus?” katanya.

Di Karalloe, Gowa, katanya, institusi negara memaksakan harga tanah diterima warga. Bahkanm ada ancaman dan penganiayaan beberapa warga.

“LBH hanya bisa pengorganisasian dan melayangkan protes. Soalan ganti rugi adil dan layak, kita sudah tak bisa berbuat apa-apa.”

Akhirnya tak ingin kecolongan, LBH Lipang dan LBH Makassar, mendampingi warga Kale Ko’mara sejak awal proses sosialisasi pembangunan. Keputusan upaya hukum atas ketidaksepakatan warga pada harga tanah ditempuh. Sidang pun bergulir, setiap hari selama sepekan. Pada 14 Agustus 2018, majelis hakim Pengadilan Negeri Takalar, mengabulkan gugatan warga.

 

Sungai di Desa Kale Ko’mara tempat warga mencari ikan. Di sungai ini terdapat beberapa jenis ikan, seperti gabus, nila, sampai sidat. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Kuasa hukum warga mendalilkan Bendungan Pamukkulu telah mengabaikan prinsip hak asasi manusia, ekonomi dan budaya (ekosob), sebagaimana diatur UU Nomor 11/2005 tentang ratifikasi konvenan hak ekosob.

“Kami juga mendapatkan jika proses pelaksanaan pengukuran tanah dan penentuan harga tak transparan oleh tim independen,” kata Andi Maksim.

Pengadilan Negeri Takalar, menentukan harga minimal Rp50.000 ditambah harga taksiran awal. Kala harga R3.000 per meter, jadi Rp53.000 per meter.  “Kita akan menunggu, bagaimana kelak. Apakah tergugat akan banding, jika tidak, harga itulah yang menjadi landasan minimal,” kata Andi Radianto, Direktur LBH Lipang.

Bagaimana awal mula tim independen penaksir harga tanah warga? Saya bertemu beberapa warga di Desa Kale Ko’mara. Mereka tak pernah tahu, tim itu. “Selalu ada cerita, kalau mereka datang. Tapi kami tak pernah bertemu dan pengukuran sudah selesai,” kata Djamaluddin.

“Ini kan aneh. Harusnya warga dilibatkan, kita lihat bagaimana kajiannya. Ini kita tidak tahu apa-apa, nanti baru tahu setelah masuk sidang,” katanya.

 

Keterangan foto utama:   Suasana desa Kale Ko’mara. Kala bendungan jadi, sebagian desa ini akan tenggelam. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Rumah Djamaluddin (64 tahun), seorang warga desa Kale Ko’mara yang bakal tenggelam jika bendungan Pamukkulu telah beroperasi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version