Mongabay.co.id

Kala Harimau Muncul di Area Tambang Semen Padang

Harimau Sumatera jantan yang diberi nama Bujang Ribut sedang menempati kandang karantina di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD). Sebelumnya harimau ini ditangkap saat menampakkan diri di area pertambangan PT. Semen Padang di Bukit Karang Putih, Batu Padang, Lubuk Kilangan, Padang, Selasa malam (28/8/18), sekira pukul 22.15. Foto: BKSDA Sumbar/ Mongabay Indonesia

 

Harimau muda muncul di pertambangan semen di Padang, Sumatera Barat. Ia tampak biasa dengan manusia. Kala didekati manusia tak takut, tetap tenang bahkan terkesan jinak. Petugas mengevakuasi dengan menembakkan bius. Setelah diperiksa, harimau dalam kondisi sehat dan siap lepas liar. Mengapa perilaku harimau berubah, tak buas dan liar?

 

Satu harimau menampakkan diri di area pertambangan PT Semen Padang di Bukit Karang Putih, Batu Gadang, Lubuk Kilangan, Padang, Sumatera Barat, Selasa malam (28/8/18). Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat pun terpaksa melumpuhkan harimau jantan berusia sekitar dua tahun dengan menembakkan bius setelah upaya pengusiran gagal.

“Awalnya kami mencoba mengusir harimau dengan menyorot lampu mobil, namun harimau berdiri tegak tepat di puncak bukit ini tak menunjukkan reaksi apapun. Kami memutuskan menangkapnya,” kata Zulmi Gusrul, Kepala Satuan Polisi Hutan, BKSDA Sumbar.

Penangkapan ini merupakan puncak konflik setelah sebelumnya harimau remaja seberat 70 kilogram ini dilaporkan memangsa beberapa ternak milik warga di Ngalau Baribuik, Batu Gadang, sekitar satu kilometer dari lokasi penangkapan.

“Sabtu 25 Agustus,  tiga hari sebelum kemunculan harimau di Karang Putih, kami mendapat laporan dari Polsek Lubuk Kilangan bahwa tiga kambing mati diduga dimangsa harimau,” katanya.

Mendapat laporan itu, petugas BKSDA mendatangi lokasi, dan benar ada jejak-jejak harimau serta bagian dinding kandang tampak menganga.

Dari tiga kambing itu, kata Zulmi,  satu ditemukan setengah badan habis dimangsa, dua masih utuh, namun sudah mati. BKSDA pun memasang perangkap berjarak 500 meter dari kandang.

 

Lokasi tempat matinya tiga ekor kambing dalam kandang di kawasan Ngalau Baribuik, Batu Gadang, Lubuk Kilangan, Padang pada Sabtu (25/8), tepatnya tiga hari sebelum kemunculan harimau di kawasan karang putih. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Petugas terus memantau perkembangan, dua hari setelah pemasangan perangkap tak ada tanda-tanda harimau. Barulah hari ketiga,  petugas menerima laporan kemunculan harimau di tambang semen itu.

Saat petugas tiba, harimau sedang berjalan di kawasan tambang tak jauh dari pos satpam. Orang-orang sekitar berlarian. Harimau terus berjalan menuju puncak Bukit Karang Putih, dan berdiri tegak.

Kala coba halau ke hutan dengan lampu mobil, harimau yang belakangan diberi nama Bujang Ribut ini tak bereaksi. Ia tetap tenang padahal jarak antara petugas dengan harimau cukup dekat, sekitar 10-15 meter. Warga juga melihat kejadian ini.

“Saat kami sorot dengan lampu mobil, ia hanya diam sambil melihat kami. Tak lama ia tidur-tiduran di atas batu, kami terus menyorot dengan lampu tapi tetap tidak mau pergi.”

Petugas terus mengamati gerak-geriknya, tak berapa lama harimau bergeser ke jalan kampung mendekati gudang dinamit Semen Padang. Di situlah terjadi kejar-kejaran antara petugas dengan harimau.

Tak memungkinkan mengusir,  akhirnya petugas memutuskan menembak bius. Berjarak sekitar 10 meter, tembakan pertama dari sumpit petugas langsung mengenai samping kaki kanan. Harimau berjalan pelan menuju hutan. Setelah 15 menit barulah ia terlihat lemas hingga pingsan. Petugas dibantu warga langsung mengevakuasi, kaki diikat tali dan kepala ditutup kain.

Harimau dibawa ke Polsek Lubuk Kilangan untuk mendapat penanganan medis. Di kantor polisi harimau disuntik agar siuman, setelah itu baru di dibawa ke BKSDA Sumbar untuk dipindahkan ke Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD), sekitar enam jam dari Kota Padang.

 

 

Perilaku tak lazim

Dari evakuasi petugas BKSDA dan tim medis, Bujang Ribut menunjukkan perilaku berbeda dibandingkan harimau umumnya. Biasa harimau buas dan liar, tidak dengan harimau satu ini. Ia tampak biasa melihat manusia, bahkan tak kabur atau menyerang saat didekati. Apalagi di sekitar tempat ia berdiam ada ratusan warga berkerumunan. Harimau terlihat jinak pada manusia.

“Perilaku agak sedikit aneh dan beda. Tidak takut dengan manusia, terkesan jinak,” kata Eka Damayanti, Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sumbar, Rabu (29/6/18).

Untuk mempelajari perilaku ini, mereka akan penelitian selain tetap memantau kondisi kesehatan.

 

Siap lepasliar

Dari hasil pemeriksaan medis Bujang Ribut dalam keadaan sehat dan siap lepas liar. “Hasil general check-up kita keluarkan kesimpulan kondisi harimau sehat dan tak ada kekurangan atau cacat permanen,” kata dokter hewan, Idham Fahmi.

Sebelumnya, sekitar dua minggu lalu, konflik harimau dan manusia juga terjadi di Batu Busuk,  Kelurahan Lambung Bukit, Kecamatan Pauh, Kota Padang. Harimau dilaporkan muncul di tiga kampung dan memakan beberapa ternak. Upaya pengusiran BKSDA sudah dilakukan.

Sunarto, ekolog satwa liar mengatakan, Bujang Ribut sedang memasuki usia remaja dan baru berpisah dari induknya.

“Dilihat dari usia dua tahun, memang usia di mana harimau remaja baru belajar berburu dan lepas dari induk,” katanya.

Harimau jantan muda, katanya, memang keluar dari wilayah teritori induk,  jika tidak sang bapak yang akan mengusir.

Bahkan, katanya, ada anak harimau malah dimakan bapaknya. Jadi sebisa mungkin harimau muda akan mencari wilayah baru.

“Dalam pencarian wilayah baru ini tak mudah, butuh proses, harimau remaja akan ke sana kemari. Dalam kondisi itu ia belum ahli berburu, mungkin dilihat ada beberapa ternak tidak terlindung dengan baik, atau berada di pinggiran hutan.”

Soal pandangan tim evakuasi yang mengatakan harimau tidak takut manusia, kata Sunarto, bukan hal umum terjadi di Sumatera. Bisa jadi, katanya,  ada faktor lain yang mengalihkan fokus harimau.

“Mungkin karena di sekitar itu gangguan manusia cukup tersebar, jadi harimau tak ada pilihan lain. Apalagi harimau masih muda mungkin belum tahu bahaya manusia atau bisa jadi harimau sedang fokus mengincar mangsa jadi seolah tidak menghiraukan manusia sekitar.”

Selain itu, katanya, perlu dipahami juga harimau berada dekat pertambangan semen yang secara priodik ada bunyi meriam. Jadi, mungkin harimau sudah terbiasa dengan bunyi-bunyian dan aktivitas manusia.

Beebah Hariyo T. Wibisono, praktisi konservasi harimau dari Yayasan Sintas Indonesia, juga bilang, banyak faktor harimau tak takut manusia. “Mungkin karena penyakit atau faktor kebiasaan.”

Untuk penyakit, katanya,  tidak berlaku untuk Bujang Ribut karena kondisi sehat. Kemungkinan lain, katanya, harimau sudah sering bertemu manusia hingga bisa teradaptasi.

“Karena berada di pinggir hutan, kemungkinan melihat manusia lebih besar, dibandingkan manusia melihat harimau,” katanya.

 

Bujang Ribut sedang menempati kandang karantina di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD). Foto: BKSDA Sumbar/ Mongabay Indonesia

 

***

Kemunculan harimau Sumatera di kawasan pertambangan Bukit Karang Putih, merupakan kali pertama. Menurut beberapa peneliti, kawasan itu bisa jadi wilayah jelajah harimau karena berdekatan dengan kawasan hutan seperti, Hutan Harau Hilir, Hutan Tarusan, Suaka Margasatwa Bukit Barisan dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

“Konsepnya, semua hutan bisa saja ada harimau karena ia predator utama. Hutan-hutan yang masih terhubung dengan Bukit Barisan itu habitat harimau. Apakah itu Karang Putih maupun Batu Busuk,” kata Wilson Novarino, Dosen Biologi Universitas Andalas, Padang.

Keberadaan harimau, katanya, terbukti dari pemasangan kamera pengintai di beberapa lokasi.

“Ketika kita memasang camera trap di Universitas Andalas yang berdekatan dengan hutan, masih dijumpai harimau. Begitupun ketika masyarakat berjalan dekat dengan ladang padi di Kelurahan Indarung, berdekatan dengan Bukit Barisan dan Taratak, Pesisir Selatan juga masih dijumpa harimau,” katanya.

Soal kemungkinan apa aktivitas tambang mengganggu habitat harimau, kata Wilson, harus mengecek dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, (UKL-UPL) tambang. Sejauah mana, katanya,  dokumen ini menemukan tanda-tanda keberadaan harimau.

Ketika di dokumen ada memuat tanda-tanda keberadaan harimau berarti tambang harus melakukan upaya pengelolaan atau upaya antisipasi.

Kajian satwa merupakan hal harus jadi pertimbangan sebelum perusahaan membuka penambangan baru.

Dia bilang, perlu ada kerja sama berbagai pihak guna penanganan konflik harimau dan manusia.

“Masyarakat harus diajak berperan pemantauan. Ketika melaporkan kepada pihak yang punya kewenangan, mereka juga punya sistem untuk mendeteksi.”

Beebah mengatakan, perlu ada kajian tata ruang dan potensi pembinaan konektivitas antar letak-letak hutan di Sumatera Barat.

“Mesti kajian bentang alam menyeluruh, karena secara alamiah, hutan itu sendiri perlu sebagai habitat berkembang biak satwa,” katanya.

 

Bujang Ribut sedang menempati kandang karantina di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD). Ia dievakuasi dari kawasan tambang PT Semen Padang. Foto: BKSDA Sumbar/ Mongabay Indonesia

 

Upaya pencegahan konflik

Meningkatnya konflik harimau dan manusia di Sumatera Barat belakangan ini membuat brbagai pihak harus bersiap.

Beebah bilang, konflik akan selalu terjadi. Saat populasi sehat, katanya, makin banyak harimau. Begitupun kalau sedikit karena tekanan manusia harimau akan keluar karena mangsa jarang.

Harimau, katanya, mencari mangsa selain di hutan, juga bisa ke mana-mana seperti di ladang-ladang.

Konflik sendiri, katanya, tak selalu harimau menerkam manusia, terlihat makan ternak meski belum mengganggu manusia juga ada potensi konflik.

Satwa ini, katanya, perlu ruang jelajah luas antara 20-30 kilometer.  Kalau kawasan hutan terlalu kecil, kemungkinan harimau akan keluar karena kekurangan tempat.

Menurut Sunarto, ada dua faktor membuat harimau keluar dari hutan, yakni pull (tarikan dari luar) dan push (dari dalam).

Tarikan dari luar, katanya, seperti ada ternak tak cukup terlindung, misal, dibiarkan bebas atau di tempat mudah terjangkau.

Sedang tarikan dari dalam, katanya, seperti ada harimau lain yang menguasai wilayah tertentu sebagai teritorinya. “Sebisa mungkin harimau akan mencari wilayah aman dari harimau lain, kalau tidak ia pasti akan diserang, Keterbatasan satwa mangsa karena perburuan juga menambah tekanan bagi harimau keluar mencari sasaran lain.”

Untuk pencegahan jangka pendek, kata Sunarto, masyarakat harus tetap waspada, tak ke hutan sendirian, dan jangan terlalu sering menggarap lahan dengan kontur terlalu rendah. Juga terus berkoordinasi dengan BKSDA soal cara mengantisipasi kemungkinan ada harimau-harimau lain.

Begitupun dalam beternak, katanya, agar tak memancing kedatangan harimau dengan lagi lepas bebas seperti kerbau dan sapi.

“Harus tetap diawasi. Ternak dalam kandang, buatlah kandang lebih bagus dan kuat hingga tak mudah dijebol satwa pemangsa. Sekitar kandang dibersihkan jadi lebih terang.”

 

Keterangan foto utama:   Harimau Sumatera jantan yang diberi nama Bujang Ribut sedang menempati kandang karantina di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD). Sebelumnya harimau ini ditangkap saat menampakkan diri di area pertambangan PT. Semen Padang di Bukit Karang Putih, Batu Gadang, Lubuk Kilangan, Padang, Selasa malam (28/8/18), sekira pukul 22.15. Foto: BKSDA Sumbar/ Mongabay Indonesia

 

Harimau Sumatera jantan yang diberi nama Bujang Ribut dalam kandang sementara sebelum diantar ke Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD). Sebelumnya harimau ini ditangkap saat menampakkan diri di area pertambangan PT. Semen Padang di kawasan Bukit Karang Putih, Batu Gadang, Lubuk Kilangan, Padang, Selasa malam (28/8/18), sekira pukul 22.15 . Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version