Mongabay.co.id

Ikan Tuna, Mahal dan Primadona Ekspor

Tidak semua ikan yang ada di perairan Indonesia bisa dinikmati langsung oleh masyarakat Indonesia. Fakta tersebut dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan dan jauh dari wilayah perairan laut. Ikan yang bernilai tinggi dan menjadi primadona ekspor, pasti akan sangat susah didapatkan oleh warga.

“Kalaupun bisa, ya itu harganya selangit alias mahal. Jadinya, ikan bernilai tinggi banyak dikirim untuk ekspor,” ucap Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati dalam perbincangan dengan Mongabay di akhir Agustus lalu.

Pernyataan Susan tersebut, sekaligus menanggapi keberhasilan Perum Perikanan Indonesia (Perindo) yang sukses meneken kontrak dengan perusahaan Jepang untuk menyuplai ikan bernilai tinggi dan menjadi buruan warga dunia: yaitu tuna. Bagi sebagian warga Indonesia, ikan Tuna adalah hal yang niscaya didapatkan.

Perum Perindo adalah salah satu BUMN yang bergerak dalam sektor perikanan dan kelautan. Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong BUMN itu untuk terus bergerak melayani wilayah antar pulau di seluruh Indonesia.

Tujuannya, agar produksi perikanan yang ada di daerah dan pulau bisa diserap oleh Perindo dan kemudian dipasarkan kepada yang memerlukan. Cara tersebut dinilai Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bisa membantu perekonomian nelayan dan perlahan akan meningkatkan kesejahteraan mereka.

Susan Herawati menanggapi keberhasil itu, sebagai hal yang penuh kontradiksi. Mengingat, sesuai amanah Undang-Undang No.18/2012 tentang Pangan, menjadi wajib hukumnya bagi Negara untuk mengutamakan kebutuhan domestik sebelum diputuskan untuk diekspor ke negara lain. Amanat tersebut, memiliki tujuan mulia, yakni untuk menyejahterakan masyarakat dari pangan dan juga ekonomi.

“Tetapi hari ini kan terbalik, pasar ekspor lebih diutamakan ketimbang memenuhi kebutuhan domestik,” ucap dia, Senin (3/9/2018).

baca : Perlukah Indonesia Jadi Pengekspor Tuna Terbesar Dunia?

 

Nelayan melakukan bongkar muat ikan hasil tangkapan, termasuk ikan tuna di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada akhir November 2015. Foto : Jay Fajar

 

Di sisi lain, Susan menambahkan, di saat Negara lebih mengutamakan pasar ekspor untuk sejumlah komoditas bernilai tinggi, di saat yang sama juga ada perubahan pola konsumsi di masyarakat. Perubahan itu yang tidak disadari oleh kita semua dan itu menjadi pemicu terjadinya keberpihakan kepada ekspor ketimbang pasar dalam negeri.

“Sekarang ini masyarakat kita lebih suka mengonsumsi makanan yang cepat disajikan, seperti mie instan dan sejenisnya. Padahal, ikan-ikan yang segar dan baik juga ada yang sudah dijual di pasar, dan sayangnya itu tidak direspon baik oleh masyarakat. Padahal, uang dari penjualan ikan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi nelayan juga,” tandasnya.

Konsumsi Ikan

Direktur Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim memberikan pendapatnya kepada Mongabay. Menurut dia, rata-rata konsumsi ikan nasional pada 2016 sudah mencapai 43,94 kilogram per kapita per tahun. Angka tersebut diperkirakan meningkat lagi pada 2017 menjadi 46,49 kg per kapita per tahun. Kenaikan itu, menjelaskan ada kesadaran dari masyarakat tentang pentingnya ikan untuk pertumbuhan dan kesehatan.

Halim menjelaskan, berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No.45/2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/2004 tentang Perikanan, dengan jelas disebutkan bahwa Pemerintah mendapatkan mandat untuk menjalankan usaha perikanan berdasarkan sistem bisnis perikanan. Sistem tersebut meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.

Dalam konteks inilah, Halim melanjutkan, pengelolaan pelabuhan perikanan sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan, menjadi sangat strategis.

“Sayangnya, dari 816 unit pelabuhan perikanan yang ada di Indonesia, hanya 483 pelabuhan yang dinyatakan layak operasi. Sementara, sisanya sebanyak 333 pelabuhan dinyatakan tidak layak,” sebutnya.

baca juga : 3.136 Kapal Aktif Siap Manfaatkan Kelebihan Pasokan Ikan Tuna

 

Ikan tuna hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Lampulo, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Fakta tersebut, menurut Halim, menunjukkan bahwa keberadaan pelabuhan perikanan sebagai sentra ekonomi perikanan rakyat belum menjadi prioritas utama pemerintahan, baik dari sisi fasilitas penunjang mau pun tata kelolanya. Untuk itu, harus ada upaya untuk menjadikan pelabuhan sebagai sentra perikanan rakyat.

Dengan demikian, Halim mengatakan, seluruh lapisan masyarakat dari Sabang sampai Merauke bisa menikmati hasil perikanan yang berasal dari perairan Indonesia. Kalaupun ada pasar untuk ekspor, dia meyakini, kebutuhan untuk dalam negeri juga pada akhirnya akan dijadikan target utama lebih dulu. Jika itu terjadi, maka tidak ada lagi warga yang kesulitan mengonsumsi ikan tertentu karena alasan harga yang mahal.

Diketahui, pada 22-23 Agustus lalu, Perum Perindo menandatangani kontrak jual beli ikan tuna dengan volume 600 ton senilai USD3,3 juta. Kerja sama itu dilakukan Perindo dengan perusahaan Jepang, Musashi Industry Co Ltd. Adapun, produk ikan tuna yang diperdagangkan nantinya adalah ikan tuna loin skinless.

Direktur Utama Perum Perindo Risyanto Suanda menjelaskan, untuk memenuhi pasokan tuna untuk dikirim ke perusahaan tersebut, pihaknya akan memanfaatkan sumber daya yang ada di Bacan, Ternate (Maluku Utara), Tahuna (Sulawesi Utara), dan Sorong (Papua Barat). Dia optimis, kebutuhan akan terpenuhi dari daerah yang disebut.

“Kami optimistis mampu memenuhi permintaan dari Musashi Industry maupun perusahaan jepang lainnya,” kata dia dalam keterangan resmi yang dirilis Perindo di laman resmi mereka.

Sebelum mendapat keberhasilan dengan Jepang, di tempat yang sama Perindo juga menyatakan sudah menerima pinangan dari Pemerintah Kota Zanzibar untuk membantu pengembangan usaha perikanan di Tanzaina. Kerja sama yang menjadi ekspansi usaha itu, dilakukan juga untuk pengembangan industri pengolahan ikan, dan pengadaan kapal ikan modern.

“Juga untuk pemasaran produk Perum Perindo di sana. Ini menjadi momentum untuk mewujudkan rencana jangka menengah perusahaan untuk memperluas pasar internasional, antara lain Afrika,” ungkap Risyanto.

baca juga : Ternyata, Industri Pengalengan Ikan Tuna di Indonesia Masih Buruk

 

Penandatanganan kontrak jual beli ikan tuna dengan volume 600 ton senilai USD3,3 juta antara Perindo dengan perusahaan Jepang, Musashi Industry Co Ltd. Foto : Perum Perindo/Mongabay Indonesia

 

Tuna Indonesia

Sebelumnya, Susi Pudjiastuti menjelaskan dalam bisnis perikanan tuna internasional, nama Indonesia saat ini pantas untuk diperhitungkan. Hal itu, merujuk pada data resmi lembaga pangan dunia PBB (FAO) pada 2016 yang menyebut ada 7,7 juta metrik ton tuna dan spesies sejenisnya sudah ditangkap di seluruh dunia. Di saat yang sama, sebanyak 16 persen pasokan produksi tuna adalah berasal dari Indonesia dan didominasi oleh tuna, cakalang, dan tongkol.

Untuk pasokan produksi dunia, Susi menerangkan, rerata pasokan yang disumbangkan mencapai 1,2 juta ton per tahun. Sementara, untuk volume ekspor tuna Indonesia pada 2017 jumlahnya mencapai 198.131 ton dengan nilai USD659,99 juta.

Tak hanya itu, Susi menjelaskan, saat ini Pemerintah Indonesia memiliki komitmen dan konsistensi untuk mendukung konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan tuna melalui Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol. Rencana tersebut telah diluncurkan pada saat Konferensi Bali Tuna ke-1 yang selanjutnya ditetapkan oleh Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.107/2015.

Adapun, Rencana Pengelolaan Tuna Nasional tersebut telah ditetapkan untuk menerapkan aturan dan standar yang diadopsi oleh Organisasi Manajemen Perikanan Daerah (RFMOs), di mana Indonesia sekarang berpartisipasi dalam The Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), The Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), The Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC).

Dalam Kerangka Implementasi Rencana Pengelolaan Perikanan pada Bali Tuna Conference Tahun 2018 ini, Pemerintah telah meluncurkan Framework of Harvest Strategy for tuna in Arcipelagic Water (Wilayah Pengelolaan Perikanan/WPP 713, 714 dan 715).

Rencana pengelolaan tuna nasional dan Framework for Harvest Strategy tersebut bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan perikanan tuna yang lestari untuk kesejahteraan masyarakat perikanan. Selain itu juga mendukung terwujudnya kedaulatan pangan nasional, pasokan protein ikan secara berkelanjutan dan peningkatan pendapatan nelayan serta penyediaan kesempatan kerja di atas kapal perikanan dan unit pengolahan ikan.

“Termasuk industri pendukung lainnya yang merupakan cita-cita nasional pemerintah Indonesia sebagai poros maritim dunia dan laut sebagai masa depan bangsa,” pungkasnya.

 

Exit mobile version