Mongabay.co.id

Sastra Kuno Ceritakan Bencana Masa Lampau di Lombok (Bagian 2)

Rumah adat di Lombok, yang bisa tahan gempa beberapa kali. Ternyata, cerita bangunan adat yang tahan bencana juga ada dalam naskah saktra kuno. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

 

“Pitung dina lami nira,

Getuh hiku hangebeki pertiwi,

Hanerus maring batu dendeng kang hanyut,

Wong ngipun kabeh hing paliya,

Saweneh munggah hing ngukir..”

 

Artinya, tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi Terdampar di leneng (lenek). Diseret oleh batu gunung yang hanyut Manusia berlari semua… Sebagian lagi naik ke bukit..”

Begitu syair bait ke-275 dari 1.218 bait dalam Babad Lombok yang menceritakan kejadian gempa di Lombok pada masa lampau.

Babad Lombok merupakan karya sastra kuno yang berkisah tentang asal muasal masyarakat Lombok (Sasak), mulai dari zaman nabi hingga kerajaan.

Baca juga: “Selamat Asuh” Ritual Adat Bayan Ketika Ada Bencana (Bagian 1)

Jamaluddin, sejarawan Lombok dari Universitas Islam Negeri Mataram ini, merenung cukup lama ketika membaca bait ke-275 dari naskah warisan leluhur itu. Sebuah kebetulan dosen yang mengkaji naskah-naskah kuno Lombok ini sedang mempelajari naskah kuno terkait bencana masa lalu.

Jamaluddin kembali membongkar naskah-naskah kuno ketika ada perbincangan para ahli geologi soal letusan Gunung Rinjani. Perbincangan letusan gunung purba– sebelum dikenal bernama Rinjani itu–  muncul ketika dunia mengenang 200 tahun letusan Gunung Tambora pada 2015.

Baca juga: Warisan Leluhur Selamatkan Warga Adat di Lombok Ini dari Gempa

Gunung Tambora meletus 1815, menurut para ahli, memengaruhi cuaca dunia, mengubah peta politik, menyebabkan kelaparan, dan menjadi inspirasi karya sastra dan penemuan baru.

Di tengah gempita pembicaraan Gunung Tambora itu, perhatian tertuju pada Gunung Rinjani. Dengan ketinggian Puncak Rinjani,  saat ini 3.726 MDPL, dan melihat lebar kaldera yang membentuk Danau Segara Anak, para ahli menerka ketinggian Rinjani sebelum meletus dan besar letusan. Mereka perkirakan letusan Gunung Samalas itu terjadi antara tahun 1257 atau 1258. Lebih dahsyat dibandingkan letusan Gunung Tambora.

Nama Samalas,  tercatat dalam bait ke-274 Babad Lombok. Dalam bait ke-274 itu disebutkan ketika itu Gunung Samalas,  runtuh dan Gunung Rinjani,  longsor. Ada dua nama gunung yang disebut dalam naskah itu.

Di dalam bait ke-274 itu digambarkan, banjir batu disertai gemuruh menerjang, banjir lumpur menghanyutkan rumah, dan banyak penduduk mati. Banjir batu disertai gemuruh itu jadi gambaran bunyi letusan dan disertai material bebatuan yang dihamburkan. Sementara banjir lumpur seperti dalam naskah itu, pernah dirasakan masyarakat Lombok Timur pada 1990-an, ketika Gunung Baru Jari, meletus. Selang beberapa hari material letusan dibawa air dan menjerjang beberapa desa di Aikmel.

 

Masyarakat adat Bayan di Lombok, sedang lakukan ritual Selamat Asuh, yang biasa dilakukan usai terjadi bencana besar. Foto: Fatkul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Jamaluddin bilang, Babad Lombok adalah karya sastra yang tak diketahui siapa yang menulis. Banyak yang skeptic,  bahwa apa yang diceritakan dalam Babad Lombok itu, hanya cerita rekaan belaka.

Namun, katanya, pada 2015, ketika banyak ilmuan dari luar negeri menulis tentang letusan Gunung Samalas, barulah mata tertuju pada Babad Lombok.  Bukan suatu kebetulan juka jika tahun letusan yang menurut para ahli itu terjadi antara 1257-1258, bisa dibandingkan dengan kisah dalam Babad Lombok.

Di dalam Babad Lombok disebutkan Gunung Samalas,  meletus sebagai hukuman Tuhan pada masyarakat Lombok karena melupakan leluhur mereka. Awalnya,  masyarakat Lombok menganut Budha, kemudian ketika Majapahit mereka pindah agama. Di dalam bait ke-271 disebutkan, mereka pindah agama ke agama Wratsari. Nama ini tidak dikenal saat ini, menurut Jamaluddin, jika merujuk bait ke-270 tentang kedatangan Majapahit, bisa ditafsirkan agama Wratsari itu adalah Hindu.

Jika merujuk peristiwa ini, dapat disimpulkan, Gunung Samalas itu meletus setelah Hindu masuk ke Lombok atau setelah Majapahit masuk ke Lombok.

“Jadi bisa dikoreksi tahun meletus Gunung Samalas yang menyebutkan meletus tahun 1257 dan ada menyebut 1258,’’ katanya.

Dalam naskah Babad Lombok, kisah tentang bencana gunung meletus, gempa, longsor itu diceritakan pada bait 270-281. Mulai dari penyebab bencana, apa yang terjadi pada masyarakat ketika bencana, dampak bencana, dan pascabencana.

 

Beberapa bangunan retak dan rusak di Kota Mataram, pada 6 Agustus 2018. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Masa itu, belum ada ilmu geologi seperti saat ini, hingga bencana dikaitkan dengan peristiwa spiritual. Bencana dibaca dari kacamata teologis. Manusia telah berbuat kerusakan, dan Tuhan menghukum mereka dengan bencana.

Jamaluddin juga aktif di organisasi keagamaan terbesar di Nusa Tenggara Barat, Nahdlatul Wathan (NW), dan seorang mubaligh juga memiliki keyakinan bahwa peristiwa bencana itu adalah peringatan pada manusia.

Jamaluddin juga percaya dengan penjelasan para ahli geologi terhadap fenomena gempa yang terjadi tiga minggu ini. Sebagai sejarawan Jamaluddin membandingkan penjelasan para ahli geologi dengan kisah yang dituturkan para leluhur secara turun temurun.

Dalam sejarah gempa di Lombok, Jamaluddin masih ingat beberapa kali gempa besar, tetapi biasa hanya sehari. Pata gempa tahun ini berlangsung tiga minggu. Di dalam Babad Lombok sendiri disebutkan, gempa besar yang meluluhlantakkan Lombok pernah terjadi selama tujuh hari. Digambarkan pula bagaimana masyarakat Lombok saat itu terpencar mengungsi di beberapa desa, yang kebetulan beberapa nama desa kuno itu masih sama dengan nama desa saat ini.

 

Warga adat Bayan di Lombok, yang masih mempertahankan adat istiadat. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Kalau merujuk pada kemungkinan tahun terjadi letusan Gunung Samalas, lalu disusul gempa, seperti sebuah siklus 1.000 tahun. “Anak Gunung Baru Jari pernah meletus beberapa kali. Setelah itu terjadi beberapa kali gempa di Lombok. Ini seperti pengulangan. Apa yang terjadi hari ini, apa yang kita rasakan hari ini pernah terjadi dan dirasakan para leluhur kita,’’ katanya.

Jamaluddin bilang apa yang dikisahkan dalam Babad Lombok, jika dikaji dengan ilmu modern sekarang, adalah sebuah “mitigasi bencana.”

Di dalam Babad Lombok,  disebutkan,  bencana-bencana besar yang terjadi di Lombok: gunung meletus, gempa,tanah longsor,banjir bandang. Bencana–bencana yang disebutkan di dalam Babad Lombok ini, setidaknya semua pernah terjadi dalam 20 tahun terakhir di Lombok.

Di sebuah naskah yang disebut “Naskah Pelinduran,” secara spesifik dibahas tentang gempa dan bencana-bencana yang terjadi di Lombok. Naskah-naskah ini, kata Jamaluddin, sayangnya hanya dianggap sebagai dongen belaka oleh masyarakat.

Padahal,  naskah-naskah itu merekam peristiwa yang terjadi di zaman dulu, seperti berita, video, foto, buku, karya tulis lain yang dikisahkan saat ini, ratusan tahun atau ribuan tahun kelak akan jadi sebuah catatan sejarah. Jamaluddin berharap,  generasi mendatang tak menganggap apa yang ditulis hari ini sebagai cerita rekaan semata. (Selesai)

 

Keterangan foto utama:  Rumah adat di Lombok, yang bisa tahan gempa beberapa kali. Ternyata, cerita bangunan adat yang tahan bencana juga ada dalam naskah saktra kuno. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Setalah gempa Lombok, warga panik. Sebagian mencari tempat aman, dengan tinggal di luar bangunan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version