Mongabay.co.id

Puluhan Ribu Hektar Gambut dan Hutan Alam Papua Lepas untuk Kebun Sawit

Sawit. Ekspansi sawit terus terjadi, hingga menciptakan beragam masalah dari deforestasi, konflik lahan sampai kebakaran, seperti yang didakwakan kepada PT TFDI di Riau. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah kembali melepas hutan alam dan lahan gambut untuk perkebunan sawit baru di Papua. Hal ini diketahui setelah Badan Kooordinasi Penanaman Modal (BKPM) menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan untuk usaha perkebunan sawit kepada PT. Sawit Makmur Abadi (SMA). Luas mencapai 28.817,42 hektar. Izin ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 2/1/PKH/PMDN/2018, tertanggal 10 April 2018.

Koalisi Organisasi Masyarakat Pro Keadilan, HAM dan Lingkungan di Tanah Papua mengecam pelepasan kawasan hutan ini. “Kami menganalisis keberadaan izin SMA dengan menggunakan PIPPIB (peta indikatif penundaan pemberian izin baru-red) dan RTRW Papua, ditemukan kawasan hutan yang dilepaskan ada hutan bergambut 8.825 hektar dan hutan alam primer 95 hektar,” kata Maurits Rumbekwan, juru bicara koalisi juga Direktur Eksekutif Walhi Papua.

Selain itu, katanya, hutan itu masuk wilayah adat empat kampung di Distrik Napan dan Wapoga, Nabire, Papua.

Sebelumnya,  SMA sudah mendapat izin lokasi melalui SK Bupati Nabire Nomor 89/2014. Perusahaan ini mendapat izin usaha perkebunan melalui SK Gubernur Papua Nomor 07/2015 dengan luas 40.000 hektar.

Koalisi menyatakan, pelepasan kawasan hutan ini menyalahi komitmen Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pemerintah, katanya,  menyampaikan komitmen dan kebijakan tentang moratorium izin baru pada kawasan hutan alam dan gambut.

Pemerintah,  juga menyatakan menunda izin pelepasan kawasan hutan untuk usaha perkebunan sawit. Ia tertuang dalam Inpres Nomor 6/2017.

“Praktiknya, pemerintah masih belum sungguh-sungguh menghormati kebijakan dan ketentuan penundaan izin baru itu. Pemerintah masih terus menerbitkan izin baru pelepasan kawasan hutan untuk ekspansi perusahaan sawit di Tanah Papua,” kata Maurits.

Nabire memiliki gambut seluas 173.400 hektar. Koalisi menyebutkan, ada 8.825 hektar gambut dan 95 hektar hutan alam primer masuk konsesi SMA.

“Ini jadi catatan karena ketika dunia internasional sedang mencoba membangun rendah emisi, di Nabire ada perusahaan dengan konsesi di gambut,” kata Wirya Supriyadi dari Jerat Papua.

Kebijakan dan ketentuan penundaan izin baru sebenarnya sangat penting untuk meningkatkan tata kelola perkebunan berkelanjutan. Selain menjamin kelestarian lingkungan, katanya, hal ini panting untuk keadilan, perlindungan dan penghormatan atas hak-hak masyarakat adat Papua.

Koalisi menyebutkan, pemilik dan pengurus SMA terdiri dari purnawirawan (TNI/Polri). Hasil penelusuran dokumen oleh koalisi, kepengurusan SMA antara lain, Direktur Imam Sudjarwo, Direktur Utama Robert Theodorus Kodong, Komisaris Hendra Prametu dan Komisaris Utama Benny Adrian.

Imam Sudjarwo adalah Komjen Polisi, mantan Kepala Korps Brimob (2009), kini menjabat Ketua PB PBVSI dan Direktur Utama PT Indosiar.

Robert T. Kodong adalah Brigjen Polisi,  pernah menjabat Kepala Pusat Info Pengolahan Data Divisi Telematika Mabes Polri (2010), kini pengurus Wakil Ketua Budang Litbang PBVSI.

Hendra Prametu adalah pengusaha pasir galian dan bahan bangunan, pemilik perusahaan PT. Tara Mulia. Kini juga mengurus PBVS, Wakil Ketua Bidang Dana PBVSI.

Imam Basrowi, pengusaha dan pemilik perusahaan kayu PT. Sariwarna Unggul Mandiri di Nabire, turut jadi pengurus direktur SMA. Imam adalah pengusaha yang membuka hutan di Kampung Sima dan jadi areal perkebunan PT. Nabire Baru maupun PT. Sariwana Adi Perkasa.

“Hampir semua pengurus dalam perusahaan ini purnawirawan.  Kekhawatiran penggunaan tindakan sewenang-wenang,”  kata Deni Yomaki dari Yayasan Lingkungan Hidup Papua.

 

Yupens dan Agustinus, menatap hutan adat Wonilai, Papua, tempat mereka hidup dan bermain sudah berubah jadi perkebunan-sawit. Akahnkah hutan-hutan adat terus tergerus menjadi kebun-kebun sawit para pebisnis? Foto: Christopel Paino/ Mongabay Indonesia

 

Kampung-kampung yang terkena dampak pelepasan ini antara lain Kampung Totoberi, Kampung Kamarisanoi, Kampung Taumi. Ketiganya di Distrik Wapoga, Nabire. Kampung lain adaalah Kampung Napan, Distrik Napan, Nabire.

Dalam siaran pers ini koalisi mengingatkan pemerintah bahwa tanah-tanah di Papua bukanlah lahan kosong.

Masing-masing wilayah, katanya,  punya memiliki pemilik ulayat. Dia sudah diakui pemerintah dalam keputusan Mahkamah Konsitusi No 35/2013, bahkan hutan adat bukan lagi hutan negara.

“Kebun sawit tak cocok dengan kita. Kita tidak punya modal besar jadi petani sawit. Perusahaan-perusahaan ini bukan bagian dari cara kita bekerja. Ini yang menimbulkan stigma orang Papua, malas. Membuat kita miskin padahal punya tanah,” kata Pendeta Magda Kafiar, dari KPKC Sinode GKI.

Magda berpengalaman mendampingi masyarakat adat di lokasi-lokasi perkebunan sawit. Dia bilang, kebun sawit tak memberdayakan orang Papua.

“Walaupun awal dijanjikan dengan plasma, bahwa mereka bisa kaya, duduk tenang di rumah dan rekening masuk uang, sebenarnya itu tak bisa seperti yang mereka bayangkan awal. Kalau mau menjadi petani sawit, mereka harus punya modal besar. Itu yang tidak dipikirkan pemerintah.”

Awalnya, masyarakat adat mendapat kebun plasma, namun akhirnya kebun-kebun itu tak dibisa dikelola. Kebun  plasma lalu diserahkan kepada orang lain. Untuk kembali hidup dari hutan sudah tak bisa karena hutan sudah jadi kebun sawit.

“Ini yang jadi penyebab masyarakat adat di sekitar perkebunan sawit lebih menderita.”

Selama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, ada 12 izin pelepasan untuk perkebunan sawit di Papua dengan ;uasan mencapai 232.751, 62 hektar. Lokasi tersebar di beberapa wilaya seperti Merauke, Mappi, Nabire, Sorong, Sorong Selatan, Teluk Wondama, dan Teluk Bintuni.

 

Tak masuk peta moratorium?

Arnold Manting, Kepala BPKH Wilayah X Jayapura mengklarifikasi atas data-data koalisi. Dia bilang, lokasi yang dilepas untuk SMA tak masuk PIPPIB– revisi 13 tahun 2017. PIPPIB revisi setiap enam bulan sekali.

Sebelumya, luas konsesi SMA 40.000 hektar. Setelah ada PIPPIB revisi 13 tahun 2017, turun jadi 28.817,42 hektar.

“Sesuai data kami, saya pastikan tak ada hutan alam primer dan gambut karena itu mengacu aturan pemerintah. Areal itu di luar hutan primer dan gambut.”

Arnold bilang, tugas BPKH antara lain menelaah status dan fungsi kawasan hutan atas perubahan fungsi maupun perubahan peruntukan, proses pengukuhan kawasan hutan, dan  memberikan data dan informasi tentang kehutanan.

Terkait dengan posisi masyarakat adat, katanya, izin perusahaan sudah sejak lama. ‘”Proses itu sudah 2014. Izin mulai dari bupati.  Dilihat dari SK ini.”

Namun, sebagaimana tercantum dalam SK Nomor 2/1/PKH/PMDN/2018, tertanggal 10 April 2018, dari 28.817,42 hektar pelepasan untuk SMA, terdapat 4.645 hektar ekosistem gambut dengan fungsi lindung, 16.762 hektar fungsi budidaya.

Salah satu poin kewajiban perusahaan adalah mengembangkan hutan bernilai konservasi tinggi pada sebagian areal hutan itu yang berada dalam ekosistem gambut fungsi lindung seluas 4.645 hektar ini.

 

Keterangan foto utama: Hutan negeri ini terus berubah jadi izin-izin kebun sawit. Data Sawit Watch, menyebutkan, sampai 2017, kebun sawit sudha mencapai 22 juta hektar. Apakah, semua hutan mau disulap jadi sawit tanpa memikirkan dampak buruk bagi manusia dan lingkungan? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version