Mongabay.co.id

Masyarakat Pesisir Semakin Tersisih karena Tata Ruang Laut Nasional?

Penyusunan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Peisisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) di semua provinsi, dinilai masih belum terbuka dan hanya melibatkan segelintir masyarakat pesisir yang menjadi stakeholder utama. Fakta itu diperkuat, dengan tidak adanya tahapan konsultasi mulai dari desa/kelurahan yang di dalamnya ada pulau-pulau kecil, kecamatan, hingga di kabupaten/kota.

Penilaian tersebut diungkapkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) berkaitan dengan penyusunan Perda RZWP3K yang menjadi landasan untuk pengaturan tata ruang laut nasional. Temuan itu, bertentangan dengan semangat Pemerintah yang tengah melaksanakan agenda poros maritim di berbagai bidang.

“Termasuk, percepatan pembangunan infrastruktur, penambahan daerah konservasi, penyusunan dan pemberlakuan zonasi laut, hingga revisi maupun keluarnya Undang-Undang,” ungkap Ketua Harian DPP KNTI Marthin Hadiwinata di Jakarta, pekan lalu.

Menurut dia, dengan adanya temuan di atas, menunjukkan bahwa proses konsultasi publik hanya dilakukan di daerah tertentu saja. Bahkan, dari hasil temuan di lapangan, ditemukan juga fakta bahwa konsultasi ada yang hanya dilakukan di ibukota provinsi saja dan sama sekali tidak melibatkan masyarakat yang ada di wilayah pesisir dan pulau kecil.

baca : Negara Tidak Hadir di Tengah Masyarakat Pesisir?

 

Salah satu perairan di Sulawesi Selatan. LBH Makassar menilai bahwa Perda Zonasi ini seharusnya tidak sekedar untuk kepastian hukum namun lebih penting memberi jaminan perlindungan kepada nelayan tradisional yang ada di pesisir Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Tidak cukup disitu, Marthin mengatakan, dari hasil temuan di lapangan, ada juga Perda RZWP3K yang sudah disahkan, ternyata tumpang tindih dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang sebelumnya sudah ada di provinsi tersebut. Kemudian, kondisi itu diperparah tidak adanya penyelesaian konflik dan mekanismenya seperti apa yang melibatkan pihak-pihak terkait.

“Tata Ruang Laut Indonesia itu jadinya apakah melindungi atau menggusur ruang hidup nelayan?” tanyanya.

Untuk mencegah dan atau mengatasi temuan di atas, Marthin mengungkapkan, Pemerintah Kabupaten/Kota yang wilayah pesisirnya masuk dalam Rancangan Perda RZWP3K, bisa memberikan rekomendasi penyusunan Perda atas pengaturan wilayahnya yang berpotensi terjadi tarik menarik kepentingan.

“Itu karena memang ada konflik sektoral dalam pengelolaan pertanahan di pesisir dan pulau kecil antar kementerian dan lembaga pemerintah,” ucapnya.

Diketahui, pembahasan Perda RZWP3 di 33 Provinsi, hingga saat ini baru 8 provinsi yang sudah mengesahkan menjadi perda. Sedangkan, 9 rancangan perda masih dalam perbaikan dokumen final, kemudian 6 raperda dalam evaluasi di Kementerian Dalam Negeri, 3 raperda dalam pembahasan di DPRD Provinsi, dan 8 raperda dalam penyusunan dokumen antara dokumen awal dan peta tematik.

Saat permasalahan kebijakan RZWP3K belum teratasi, Marthin mengatakan, Pemerintah terus mendorong pengelolaan wilayah perikanan tangkap dengan membentuk hak pemanfaatan wilayah perikanan atau territorial use rights of fishing (TURF). Akan tetapi, hak yang menjadi model pengaturan wilayah perikanan tangkap itu, diketahui tidak memiliki kejelasan dan sekaligus mekanisme pengaturan.

baca juga : Janji Pemerintah untuk Masyarakat Pesisir Diragukan?

 

Ini adalah kawasan pesisir Pandan.Rencana Zonasi Wilayah Perairan dan Pulau-Pulau Kecil Sumatera Utara, jangan sampai merusak ruang kelola nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Riset Partisipatif

Untuk mengungkap fakta lebih jauh, KNTI melaksanakan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode riset aksi partisipatif. Menurut Ketua Departemen Riset dan Advokasi KNTI Henrikus Pratama, riset itu melibatkan partisipasi secara langsung dari komunitas/masyarakat nelayan dan mencari penjelasan rinci tentang kondisi mereka. Setelah itu, baru kemudian ditentukan pilihan seperti apa untuk mengontrol kebijakan tata ruang laut.

Adapun, tujuan dari penelitian tersebut, menurut Henrikus, adalah untuk membangun kesadaran kritis dari komunitas nelayan melalui diskusi dan berbagi pandangan terhadap fenomena tata ruang laut. Penelitian yang dilakukan sejak November 2017 itu, menyasar target lokasi penelitian lapangan di 5 provinsi, yaitu Jawa Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur.

“Disadari bahwa konsep pengaturan pemanfaatan laut melalui tata ruang laut tidak terlepas dari model ekonomi biru atau blue economy yang didorong oleh Bank Dunia. Ekonomi biru diklaim sebagai cara pandang ekonomi yang bertujuan memanfaatkan sebesar-besarnya sumber daya laut secara efisien untuk pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

baca : Peran Masyarakat Adat di Wilayah Pesisir Sangat Penting, Seperti Apa?

 

Suasana di salah satu pesisir di Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku. Foto : Ditjenpdt Kemendesa/Antara

 

Akan tetapi, Henrikus berpendapat, penerapan model ekonomi biru sebagai model pertumbuhan ekonomi kelautan dan pesisir, tak ubahnya sebagai bentuk liberalisasi ekonomi di sektor maritim. Padahal, dengan cara demikian, keberadaan nelayan akan terancam setiap saat dan itu bertentangan dengan prinsip pembangunan poros maritim yang didengungkan Pemerintah.

Adapun, komponen ekonomi biru sendiri, terdiri dari berbagai lintas pemanfaatan laut seperti perikanan, pariwisata, dan perhubungan laut. Selain itu, ekonomi biru juga mendorong kegiatan ekstraktif lain seperti energi laut, budidaya perairan, pertambangan bawah laut, dan bioteknologi kelautan termasuk eksplorasi produk pengobatan alami.

Saat ekonomi biru sedang digaungkan untuk diterapkan, Henrikus menyebutkan, Pemerintah juga membuka pintu selebar-lebarnya bagi sektor swasta dalam pemanfaatan laut. Namun, dia melihat, kesempatan itu hanya akan menjadi proses peminggiran masyarakat nelayan yang di saat bersamaan ikut berkompetisi dalam pemanfaatan laut.

“Tak hanya itu, klaim ekonomi biru bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, justru akan didorong untuk memudahkan komodifikasi terhadap sumber daya laut. Itu adalah konsep ekonomi yang didorong oleh Bank Dunia dan kemudian diadopsi oleh banyak negara, termasuk Indonesia,” tuturnya.

Menyadari kondisi itu, KNTI terus bergerak melalui kampanye membongkar konsep ekonomi biru yang dilakukan dalam Gerak Lawan. Kampanye itu akan dilakukan dalam pertemuan tahunan Bank Dunia di Bali pada 10-12 Oktober mendatang. Bank Dunia berperan besar, karena lembaga tersebut selama ini mendorong negara-negara untuk melakukan privatisasi sumber daya kelautan.

baca juga : Komitmen Pembangunan Pesisir dan Pulau Kecil Diragukan, Kenapa Bisa Terjadi?

 

Masyarakat adat pesisir perlu mendapatkan perhatian serius dari perlindungan hak kelola sampai pengembangan ekonomi. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Kampanye Bali

Sementara, di saat yang sama, Pemerintah Indonesia juga terus melakukan kampanye konferensi laut kita atau Our Ocean Conference (OOC) 2018 yang juga akan digelar di Bali pada 29-30 Oktober mendatang. Kampanye yang dilakukan itu, menurut Ketua Departemen Pendidikan dan Jaringan KNTI Nurhidayah, seperti ironi karena dilakukan di tengah situasi penataan ruang laut yang minim partisipasi dan kebijakan kelautan Indonesia yang tidak menentu.

Di sisi lain, Nurhidayah menambahkan, walaupun dari temuan sementara diketahui kalau penyebab partisipasi yang rendah dari penataan ruang laut itu karena minim anggaran, tetapi Pemerintah Indonesia justru mengumumkan komitmen pelaksanaan proyek berkaitan dengan ekonomi biru dan berbagai infrastruktur kelautan.

“Tak cukup itu, Pemerintah Indonesia juga mengumumkan komitmen untuk mengembangkan 200 desa nelayan dan 416 pelabuhan perikanan di tengah proses partisipasi publik yang rendah dalam pembangunan infrastruktur kelautan. Semua bentuk kerjasama dan komitmen tersebut dilakukan tanpa melibatkan elemen masyarakat sipil,” tegas dia.

baca : Kepala Daerah Baru, Masyarakat Pesisir Harus Sejahtera

Secara umum, Nurhidayah mengatakan, sektor maritim dan perikanan di Indonesia banyak digerakkan oleh aktivitas perikanan skala kecil. Dalam hal ini, aktivitas perikanan skala kecil dilakukan langsung oleh nelayan tradisional, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dimana secara umum 80-90 persen termasuk kategori perikanan nelayan skala-kecil.

Untuk perikanan skala kecil yang ada di Indonesia, menurut Nurhidayah itu diperkirakan meliputi 8 juta pekerja yang tersebar dalam kegiatan pra produksi, saat produksi, pasca produksi dalam pengolahan serta pemasaran. Mereka menjadi pemasok utama pangan protein perikanan hinga mencapai 70 persen dari total produksi perikanan nasional.

“Termasuk sebagai pemasok bahan baku untuk kebutuhan industri dalam negeri. Dari hasil produksi yang ada, beberapa di antaranya diekspor ke negara tujuan seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Hong Kong, Tiongkok dan negara-negara tetangga lainnya,” sebutnya.

Berbagai latar belakang di atas, menurut Nurhidayah, seharusnya bisa menjadi gambaran kritis dan masukan untuk agenda Bank Dunia dan OOC 2018. Kedua agenda tersebut seharusnya mempertimbangkan perikanan sekala kecil sebagai subsektor penting kelautan nasional dan global. Salah satu pendekatan penting, adalah dalam hak asasi manusia dengan bingkai keadilan sosial dan keadilan gender.

Nurhidayah menyebutkan penelitian terhadap tata ruang laut ini dilakukan bersama dengan organisasi penelitian Trans-national Institute (TNI) dan rencananya hasil final akan diluncurkan bersamaan dengan respon terhadap OOC 2018 nanti. Dengan itu, diharapkan Pemerintah bisa merespon masukan-masukan yang muncul untuk menjadi perbaikan proses perumusan.

“Dan substansi perlindungan nelayan atas hak tenurial sebagai akses dan kontrolnya terhadap sumber daya perikanan dan laut juga bisa diakui,” pungkasnya.

 

Exit mobile version