Mongabay.co.id

Pemberian Hak Kelola Hutan Rakyat di Riau Lamban

Warga adat Talang Mamak, makin terhimpit. Sagap, masyarakat Ampang Delapan, sedang duduk di tangga rumahnya. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Surat Keputusan Gubernur Riau soal Kelompok Kerja Perhutanan Sosial sudah ditandatangani Februari lalu. Sayangnya, hingga kini, pemerintah daerah belum ada target apalagi realisasi pemberian hak kelola hutan kepada masyarakat.

Herbet, dari Yayasan Mitra Insani, menyebutkan, dari 1,42 juta hektar peta indikatif perhutanan sosial di Riau baru 6% (84.885) hektar peroleh izin.

Jumlah itu, katanya,  lebih banyak dari data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau, sudah 67.210 hektar dari 39 izin. Rinciannya; 53.120 hektar dari 21 izin untuk hutan desa, 5.898 hektar dari 10 izin hutan kemasyarakatan, 4.192 hektar untuk tujuh hutan tanaman rakyat, ditambah 4.000 hektar untuk satu skema kemitraan.

“Untuk hutan adat belum ada,” kata Setyo Widodo, Kasi Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan DLHK Riau.

Herbet bilang, izin  terbit itu berkat usulan dan kerja keras organisasi non pemerintah alias lembaga pegiat perhutanan sosial langsung ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Yayasan Mitra Insani, giat mendampingi masyarakat dapatkan hak kelola hutan sejak 2008. Mereka membantu masyarakat mendapatkan izin pengelolaan hutan desa 23.962 hektar di beberapa wilayah Riau. Sekarang, mereka menanti izin 45.358 hektar hutan desa dan HKm.  Proses itu, katanya, terhambat kebijakan moratorium gambut dan RTRW Riau.

 

Aturan daerah mempersulit

Herbet berharap, KLHK mengeluarkan aturan khusus mengizinkan perhutanan sosial dalam kawasan gambut. Kalau soal RTRWP Riau, katanya, sebenarnya tak jadi penghambat karena perhutanan sosial bicara tentang UU Kehutanan.

Namun, katanya, RTRW jadi menyulitkan karena pasca pengesahan, usulan perhutanan sosial harus melalui pembahasan anggota DPRD.

“Itu akan makin memperlambat dan cenderung melahirkan kepentingan politik belum lagi kompromi dengan korporasi,” kritik Herbet.

Akhir Agustus lalu, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) merilis  informasi berjudul, Menteri Dalam Negeri dan Pemerintah Riau menghambat perhutanan sosial dan tanah obyek reforma agraria di Riau dengan mengesahkan Perda Nomor 10/2018. Pasal 46 ayat 2 huruf e dalam perda itu, bertentangan dengan PP Nomor 6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan– diubah PP Nomor 3/2008 maupun Permen LHK P.83.

Aturan itu, katanya, tak menyebutkan mekanisme pembahasan perhutanan sosial melalui anggota DPRD. “Kalau itu dilakukan, justru bertentangan dengan tugas dan wewenang DPRD,” kata Okto Yugo, Wakil Koordinator Jikalahari.

Penilaian Jikalahari, ketidakcermatan itu terjadi karena, Direktorat Produk Hukum Daerah Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri menerbitkan nomor registrasi Perda RTRWP Riau, sebelum penyempurnaan dan penyesuaian hasil evaluasi kajian lingkungan hidup strategis, oleh Gubernur dan DPRD Riau.

 

Penanaman sawit baru di jalan menuju Kebatinan Ampang Delapan. Tepatnya, di Durian Cacar. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Setyo Widodo, tak sepakat bila dikatakan Pemerintah Riau lambat mewujudkan perhutanan sosial. Dia membuktikan dengan SK Pokja, pengesahan Perda RTRWP Riau dan Pergub Perhutanan Sosial.

Meski menyadari realisasi perhutanan sosial di Riau baru 6%, Setyo tetap menunggu lokakarya yang akan dilaksanakan KLHK. “Hasil rapat koordinasi kemarin, kita sudah punya angka, target 210.000 hektar untuk izin perhutanan sosial. Kita juga akan menerima semua masukan dan usulan di lokakarya nanti,” katanya lewat sambungan telepon pada Mongabay.

DLHK Riau tetap merujuk mekanisme dalam Perda RTRWP Riau yang melibatkan DPRD membahas usulan perhutanan sosial. Mereka, katanya, sedang membahas teknis.

Rencana program jangka menengah Riau,  tak memuat perhutanan sosial. Dia beralasan, hanya persoalan redaksi dan masuk dalam program pemerintah.

“Intinya pemerintah tak setengah hati,” kata Setyo, menanggapi kritik Yayasan Mitra Insani dan Jaringan Masyarakat Gambut Riau dalam temu media.

Herbet mendorong, Pemerintah Riau segera menindaklanjuti usulan perhutanan sosial yang ada. Dengan begitu, bisa membantu meningkatkan taraf hidup dan ekonomi masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan.

Dia contohkan, keberhasilan dan perubahan masyarakat Kelurahan Sapat, Kecamatan Kuala Indragiri, Indragiri Hilir.

Desember 2017, Menteri LHK, Siti Nurbaya,  menerbitkan izin hutan desa 4.249 hektar. “Ini pertamakali izin hutan desa diberikan dalam kawasan hutan mangrove di Riau.”

Sebelum mengenal hutan desa, masyarakat Sapat adalah petani kelapa dan nelayan. Sumber ekonomi itu menurun seiring harga kelapa murah dan pencurian ikan dengan racun oleh pihak luar.

Mangrove juga terus ditebang liar tanpa terkendali. Mulai 2018,  kondisi berangsur berubah. Masyarakat sukarela bersama-sama menjaga hutan desa telah diberikan izin itu. Mereka patroli, bikin posko dan mewajibkan tanam mangrove kembali bagi yang menebang. Mereka juga membibit mangrove. Dampaknya, tangkapan nelayan mulai meningkat. Sumber ekonomi baru , mulai muncul. Pengelolaan hutan desa juga berkembang ke arah ekowisata.

“Begitulah kami menjaga aset desa. Orang luar tak sembarangan lagi mencuri dan mengambil hasil sembarangan,” kata Mustafa, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Sapat.

 

Keterangan foto utama:   Warga adat Talang Mamak, makin terhimpit. Sagap, masyarakat Ampang Delapan, sedang duduk di tangga rumahnya. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version