Mongabay.co.id

Tiga Jenis Burung Hendak Dikeluarkan dari Daftar Satwa Dilindungi, Berikut Penjelasan KLHK

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Peraturan baru ini memuat 921 jenis tumbuhan dan satwa liar yang menggantikan lampiran Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Berdasarkan lampiran tersebut, burung merupakan jenis satwa yang paling banyak di daftar dilindungi. Sebanyak 563 jenis terdata dari total 1.771 jenis burung yang ada di Indonesia. Pada peraturan sebelumnya, hanya 437 jenis yang dilindungi.

Sebanyak 27 jenis dari total 28 jenis burung di Indonesia yang berstatus Kritis (Critically Endangered) berdasarkan Daftar Merah IUCN, juga masuk dalam peraturan ini. Sementara, pada aturan sebelumnya hanya mengakomodir 64% burung berstatus Kritis.

Peraturan tersebut juga mencakup jenis-jenis burung yang saat ini mengalami tren penurunan populasi di alam. Ini terjadi pada semua jenis burung cica-daun (Chloropseidae) dan beberapa jenis burung kacamata (Zosterops flavus dan Heleia wallacei) akibat banyak diperdagangkan. Begitu juga dengan masuknya kakatua putih (Cacatua alba) dan kasturi ternate (Lorius garrulous), jenis yang memiliki populasi kecil tapi terancam punah, dalam daftar dilindungi sebagai kabar baik untuk konservasi burung.

Namun, baru dua bulan Permen LHK No 20 ini berjalan, mendadak hendak direvisi. Tiga jenis burung telah dimasukkan dalam daftar dilindungi; jalak suren (Gracupica jalla), kucica hutan (Kittacincla malabarica) atau dikenal murai batu, dan cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), akan dikeluarkan dari status tersebut.

 

Cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus). Kredit foto: Burung Indonesia/Willy Rombang

 

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno, ditemui Mongabay Indonesia di Bogor, Kamis (13/9/2018) mengatakan, pihaknya masih melakukan penelitian komprehensif terkait status tiga jenis burung yang hangat diperbincangkan ini.

“Saya bersama tim sedang meneliti dan melihat situasi lebih detil. Memperhatikan juga keberadaannya di alam, di penangkaran, dan di pasar burung, seperti apa kondisinya? Banyak data yang harus dikumpulkan. Semua ini sebagai masukan ke Bu Menteri LHK. Revisi Permen menunggu hasil evaluasi ini. Jadi, belum ada revisi. Itu isu. Kami terus mendalami dan berkomunikasi dengan berbagai pihak,” jelasnya.

Lebih lanjut Wiratno mengatakan, pihaknya akan berkomunikas langsung dengan kelompok yang menolak dimasukannya tiga jenis burung tersebut, diantaranya Komunitas Kicau Mania. Komunikasi dengan kelompok pelestari burung dan LSM pemerhati lingkungan juga dilakukan.

 

Modus perdagangan burung dimasukkan dalam tabung pipa sudah dilakukan sejak tahun 2002. Foto: PROFAUNA

 

“Saya rasa, itu langkah ideal yang bisa saya lakukan, ada gambaran awal situasi di penangkaran juga asal usulnya. Karena, penangkapan di alam juga banyak dan kami baru selesai operasi di Jawa Timur. Sesegera mungkin kajian ini selesai, dalam satu atau dua minggu. Semakin banyak masukan, semakin baik untuk keputusan yang diambil Ibu Menteri. Data dan fakta di lapangan sangat penting, tentunya.”

Langkah ke depan, Wiratno mengatakan, pihaknya sedang menyiapkan SK Dirjen KSDAE untuk pembentukan Gugus Tugas Multi Pihak. Gugus tugas ini dibentuk untuk memberikan masukan ke KSDAE terkait konservasi, mulai gajah, harimau, orangutan, burung, dan lainnya.

“Keputusan yang diambil berdasarkan masukan gugus tugas,” katanya.

 

Kakatua putih yang kini jensi dilindungi. Foto: PROFAUNA

 

Sebelumnya, pada 4 September 2018, KLHK menggelar dialog bersama komunitas pencinta dan penangkar burung di Bogor. Para penangkar menyampaikan keberhasilannya melestarikan tiga jenis burung tersebut di luar habitatnya (ex situ). Mereka berharap, KLHK melakukan tinjauan aspek sosial, ekonomi, dan budaya sebagai bahan pertimbangan untuk mengeluarkan tiga jenis burung ini dari daftar satwa dilindungi.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK Indra Exploitasia mengatakan, usulan tersebut dikaji, untuk diakomodir lebih lanjut oleh KLHK dalam bentuk peraturan perundangan.

“Harapannya, burung selamat di alam dan selamat di penangkaran. Kami juga akan membangun standar penandaan (tagging) dan pengawasan. Semua kegiatan yang telah dilakukan para komunitas akan terlegitimasi,” jelasnya sebagaimana tertera di laman KLHK.

Indra menyampaikan apresiasi kepada komunitas hingga ada keberhasilan peningkatan populasi jenis burung dilindungi. KLHK telah melakukan kajian sosial dan ekonomi, sebagai dasar pengeluaran tiga jenis tersebut dari daftar jenis dilindungi. Terkait perizinan, saat ini telah hadir OSS atau Online Single System.

Indra berpesan, para komunitas dan penangkar memperhatikan kaidah konservasi, selama melakukan penangkaran. “Nanti kami pertimbangkan adanya reward dan punishment. Kami minta komitmen dan konsistensi seluruh komunitas dan masyarakat untuk menjaga burung tetap lestari, sekaligus mendukung pendataan dan inventarisasi,” ujarnya.

 

Perburuan burung di alam terus dilakukan. Foto: PROFAUNA

 

Tolak Revisi

Terkait akan adanya revisi Peraturan Menteri No P.20 tentang Jenis Satwa dan Tumbuhan yang Dilindungi, Burung Indonesia secara tegas menolak rencana tersebut. “Ketiga jenis ini, murai batu, cucak rawa, dan jalak suren, memang patut dilindungi. Ketiganya tengah mengalami penurunan populasi dan jumlahnya terbatas,” jelas Dian Agista, Direktur Eksekutif Burung Indonesia kepada Mongabay Indonesia, Jum’at (14/9/2018).

Agis melanjutkan, jalak suren yang masuk dalam daftar tersebut, sebenarnya khusus untuk melindungi jalak-suren jawa (Gracupica jalla), jalak endemis Pulau Jawa-Bali. Jenis ini telah dipisahkan oleh Badan Konservasi Dunia dari jalak-suren asia (Gracupica contra) yang tersebar luas di Asia daratan.

“Kami sedang mengusung dukungan berbagai pihak agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tetap mempertahankan peraturan ini. Bukan hanya mencegah ketiga jenis burung tersebut punah di alam, tetapi juga bagi jenis satwa dan tumbuhan lainnya. Karena pada dasarnya, peraturan ini tidak spesifik hanya melindungi burung, tetapi juga seluruh jenis satwa dan tumbuhan dilindungi lainnya,” jelasnya.

 

Burung kakatua yang jelas-jelas dilindungi saja terus diburu, bagaimana yang belum? Foto: PROFAUNA

 

Wacana revisi Peraturan Menteri LHK ini juga ditentang organisasi perlindungan hutan dan satwa liar PROFAUNA Indonesia. Afrizal Abdi, juru kampanye PROFAUNA Indonesia menyatakan, bila ketiga jenis burung tersebut dikeluarkan dari daftar dilindungi karena adanya tekanan sekelompok masyarakat yang berada di pusaran bisnis perdagangan burung, adalah sebuah ironi.

“Ini kemunduran sekaligus ancaman bagi dunia konservasi satwa. Nanti, bisa saja mereka menuntut jenis-jenis lain termasuk kakatua dan nuri yang banyak diminati penghobi burung, untuk dibatalkan sekaligus dikeluarkan dari daftar satwa dilindungi,” terangnya, Jum’at (14/9/2018).

Revisi peraturan harus dibuat berdasarkan kajian ilmiah, bukan karena faktor lain. “Kekhawatiran para komunitas juga berlebihan, karena yang dilarang merupakan burung-burung hasil tangkapan dari alam,” ujarnya.

Senada, Karlina Indraswari, Direktur Pendidikan FLIGHT: Protecting Indonesia’s Birds, LSM yang aktif mengadvokasi pentingnya melindungi burung di Indonesia mengatakan, populasi burung yang hendak dikeluarkan itu mulai jarang terlihat di alam liar. “Burung-burung yang beredar di pasar itu juga tidak diketahui tahu asalnya. Apakah dari alam, atau mungkin hasil selundupan. Sudah ada bukti hingga 2017, sekitar 3.240 individu burung diselundupkan dari Malaysia termasuk di dalamnya murai batu,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version