Mongabay.co.id

Meracik “Teh Mujarab” di Koridor Konservasi Lintas Negara

Tarian asli suku Iban yang diajarkan secara turun temurun oleh leluhurnya. Foto: Yani Saloh/Mongabay Indonesia.

 

Sepasang penari berlenggak-lenggok mengikuti irama gendang. Keduanya berjalan perlahan menyusuri ruai (ruang musyawarah adat) rumah panjang dengan pakaian adat Iban. Di belakang penari, ada rombongan pengunjung dari Indonesia. Tetamu yang khusus bertandang ke Menyang Taih, Batang Ai, Lubok Antu, Sarawak, Malaysia Timur. Begitulah cara Suku Iban menyambut secara adat.

“Ayo semua warga keluar. Kita makan bersama,” pekik Manggat anak Meringai, tuai (kepala) rumah panjang kepada seluruh warganya yang berjumlah 30 jiwa. Satu per satu mereka keluar bilik menuju ruai, melebur dengan para tamu.

Kendati demikian, Manggat urung menarik piring. Sorot matanya bergerak liar ke seluruh penjuru rumah panjang. Dia mengamati satu per satu warganya. Khawatir, ada yang belum datang. Setelah memastikan seluruhnya hadir, ia bergabung.

Keakraban terlihat di wajah Manggat saat para tamu memperkenalkan diri. Tidak terlihat jurang pemisah warga yang dibatasi tembok geografis Indonesia-Malaysia.

Usai santap malam, Manggat menyempatkan diri berbincang dengan para jurnalis dua negara. “Penanaman gaharu di kawasan tandus adalah program yang sangat baik. Seluruh penghuni rumah panjang mendukung aktivitas ini,” katanya menggunakan Bahasa Iban.

Baca: Foto: Merasakan Geliat Iban di Rumah Panjang Sungai Utik

 

Serpihan pohon gaharu, tanaman yang memiliki berbagai manfaat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dalam pandangan Manggat, program ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. “Kami percaya. Apalagi Dr. Lim telah mengantar benih gaharu dan kita menanam bersama,” katanya.

Lim adalah pengusaha teh gaharu di Malaysia. Bahkan, Jabatan Hutan Sarawak ini telah menginisiasi penanaman 5 ribu bibit gaharu di Menyang Taih sejak 2015. Penanaman tersebut dilanjutkan pada 2016 atas inisiasi WWF-Malaysia melalui Program International Climate Initiative. Jika ditotal, sudah 16 ribu bibit ditanam di atas tanah seluas 43 ribu hektar, milik penghuni rumah panjang ini.

Manggat menjelaskan, posisi rumah panjang berada di kawasan konservasi. “Saya perkirakan warga akan memanen daun ini di akhir 2018. Khususnya, untuk 5 ribu bibit yang ditanam terdahulu,” katanya.

Ayah enam anak ini menegaskan akan senantiasa di Menyang Taih dan tidak akan pindah. Mempertahankan tanah ini dari aktivitas pembalakan. Dia menjelaskan, kawasan konservasi seluas 14 ribu hektar ini membentang dari Ulu Menyang hingga ke Sumpa. “Kami menyokong sepenuhnya usaha ini dengan bekerja sama Jabatan Hutan. Kami akan menangkap pembalak haram, sekiranya dibiarkan, satwa liar seperti orangutan tentu akan hilang,” jelasnya.

Tanamam utama penghuni Rumah Manggat adalah padi ladang, selain lada dan karet. Jumlah penduduk rumah panjang ini jika seluruhnya berkumpul mencapai 150 jiwa.

Baca juga: Hutan Adat itu Supermarketnya Orang Iban Sungai Utik

 

Pohon gaharu tidak hanya kayunya yang dapat dimanfaatkan tetapi juga daunnya untuk dijadikan teh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Teh gaharu solusi ekonomi warga

Gagasan penanaman gaharu dimulai saat Pehin Seri Haji Abdul Taib Mahmud, Ketua Menteri Sarawak 1981-2014, mengunjungi Ulu Sungai Menyang pada Oktober 2013.

Pehin Seri Haji Abdul Taib Mahmud yang kini menjadi Yang Dipertuan Sarawak mengamanatkan kawasan tesebut dijadikan area konservasi. Setiap aktivitas ekonomi di kawasan ini harus berlandaskan konservasi. Gagasan penanaman gaharu, jenis Aqularia microcarpa, muncul dari Jabatan Hutan Sarawak sejak 2017.

Project Manager International Climate Initiative Sarawak Programme WWF-Malaysia Cynthia Chin mengatakan, pihaknya coba mengembangkan teh gaharu untuk menggerakkan ekonomi warga Menyang Taih.

“Ini salah satu inisiatif ekonomi hijau yang dibangun bersama pemerintah dan masyarakat lokal. Setiap kilogram daun segar gaharu, dihargai RM6. Satu hektar berisi 800 pohon, dan setiap hektar dengan pohon usia 2 hingga 3 tahun, diperkirakan mampu menghasilkan 250-300 kilogram daun segar. Artinya, dalam satu hektar, bisa diperoleh sekitar RM1.500-1.800,” katanya di Rumah Panjang Manggat, Rabu (22/8/2018).

 

LAnskap Menyang Taih secara geografis dikelilingi Danau Batang Ai. Foto: Andi Fachrizal/Mongabay Indonesia

 

Menurut Cynthia, program di koridor perbatasan Malaysia-Indonesia ini terlaksana atas dukungan Inisiatif Iklim Internasional (IKI), Kementerian Lingkungan Hidup, Konservasi Alam, Bangunan dan Keamanan Nuklir Jerman.

Dari 22 juta luas kawasan Heart of Borneo (HoB), dua juta hektar membentang dari tengah Sarawak (Malaysia) hingga Kalimantan Barat (Indonesia). Program ini dijalankan dari 2016 hingga 2019. Di Sarawak, lokasi program tersebar dari Divisi Song hingga Kapit dan Baleh.

Pada 2017, program ekonomi hijau dimulai dengan menyasar tiga komponen utama. Ada valuasi modal alam di kawasan program, dampak sosial di Song-Katibas, serta membangun perkebunan teh gaharu sebagai penghidupan alternatif masyarakat dan pelestarian habitat orangutan di Ulu Menyang.

“Kami berharap, program ini menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, serta lingkungan bagi manusia dan alam. Sebagai bagian dari rencana kerja, sambungnya, ada kunjungan lintas batas Kalimantan Barat dan Sarawak yang diikuti perwakilan pemerintah dan tim program,” jelasnya.

 

Sepasang penari sedang membuka jalan bagi tamu yang berkunjung ke rumah panjang Manggat, Menyang Taih, Sarawak, Malaysia Timur. Foto: Andi Fachrizal/Mongabay Indonesia

 

Ajang pembelajaran

Penanaman gaharu di Menyang Taih menjadi titik perhatian Pemerintah Kapuas Hulu, bersama warganya, sebanyak sembilan orang, untuk melihat langsung inisiatif tersebut. “Belajar ke negeri tetangga ini butuh biaya besar. Tapi, saya kira sudah setera dengan apa yang kami lihat dan rasakan,” kata Baharudin, Camat Hulu Gurung.

Dia berharap masyarakatnya dapat menyerap pengetahuan baru dalam mengelola sumber daya alam berkelanjutan. Juga, mengaplikasikannya di kampung halaman masing-masing.

 

Tuai Rumah Manggat. Foto: Andi Fachrizal/Mongabay Indonesia

 

Kepala Desa Kelakar Sahrani bahkan berjanji akan menerapkan inisiatif ini di desanya. Dia mengatakan, di desanya sudah ada proses internal control system (ICS) karet, yang sejak 2018 sosisalisasi dan identifikasi produk telah dilaksanakan.

“Cara kerja di ICS berbeda, ada standar yang mesti dipatuhi demi kualitas bahan olah karet bersih yang diproduksi. Dari sisi higienitas hingga penjualan, diperhatikan,” jelasnya.

Informasi lain disampaikan Hasanuddin Lasah, Kepala Desa Miau Merah. Menurutnya, potensi sawit di desanya cukup besar. Para petani swadaya mengelola lahan seluas 12 ribu hektar. “WWF mendampingi Desa Miau Merah untuk meningkatkan produksi berbasis ICS, menguatkan kapasitas kelompok, mendapatkan sertifikasi ISPO dan RSPO, serta memiliki jaringan pasar,” jelasnya.

 

Tarian asli suku Iban yang diajarkan secara turun temurun oleh leluhurnya di Sungai Utik, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Yani Saloh/Mongabay Indonesia.

 

Tim Teknis Kawasan Strategis Kabupaten Agropolitan Kapuas Hulu, Budi Prasetyo, menilai banyak persamaan antara masyarakat Iban di Menyang Taih dengan Iban di utara Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

“Wilayah Badau dan Batang Ai begitu dekat, hanya tiga jam perjalanan. Banyak hubungan keluarga keduanya, dalam acara pesta atau gawai, kadang saling mengundang. Jadi, sudah seharusnya kita maju bersama,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version