Mongabay.co.id

Mengurai Sampah Plastik di Pulau Turis Lembongan

Beberapa tahun lalu, masih mudah menemukan karung atau plastik berisi sampah ditanam dalam pasir pantai di pulau Nusa Lembongan, Bali. Saat bersantai, tiduran di pantai, bisa-bisa ada sampah menyembul. Karung-karung ini lah yang banyak ditemukan atau digali saat event-event bersih pantai di gugusan pulau-pulau kecil Bali ini.

Bayangkan jika perilaku ini berlanjut di pulau wisata dengan lebih dari 200 hotel, dan ribuan penduduk serta turisnya. Bagaimana sampah, terutama plastik dan anorganik lain jika dibiarkan bertumpuk?

Tahun ini mulai ada upaya pengolahan sampah secara serius. Sampah yang dibuang ke tempat pembuangan sementara (TPS) desa, sebagian kecil mulai dipilah dan dipadatkan, sebelum dikapalkan ke Pulau Bali, menuju Surabaya yang jadi pusat pengolahan sampah anorganik.

Gudang sampah Kelompok Wahyu Segara di Desa Lembongan terlihat rimbun dengan sampah. Pepohonan kalah lebat dengan tumpukan sampah terutama plastik di mana-mana. Dari sini bisa dilihat, kecepatan menangani kalah jauh dengan sampahnya itu sendiri.

Gundukan sampah terdiri dari botol plastik, kaleng, ember, besi, dan lainnya. Berserak di sepanjang area yang disewa sebagai lokasi pemilahan sampah ini. Kondisi lebih buruk terlihat di TPS. Sampah hanya ditimbun, beberapa titik terlihat mengepulkan asap karena dibakar. Tidak terlihat upaya penanganan sampah di TPS.

baca : Bali Pulau Surga atau Surga Sampah?

 

Botol plastik terkumpul di pinggir pantai Nusa Lembongan,Bali, agar tak mencemari laut. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Tak sedikit sampah yang berserakan di jalan, terbawa angin. Mencemari tanah dan sekitarnya. Beberapa warga asing terlihat berhenti di pinggir TPS saat melewati area ini dengan motor. Raut muka aneh dan heran terlihat di wajah mereka. Lokasi TPS agak jauh dari pesisir yang dipadati aneka fasilitas wisata, namun dengan makin berkembangnya homestay-homestay dalam pemukiman penduduk, TPS kini tak mungkin disembunyikan.

Putu Asmara Jaya Utama dan timnya mengajukan diri untuk memilah sekitar 300 kg sampah per hari atau sepertiga dari jumlah sampah di Lembongan. Kelompok ini memungut sampah dari rumah-rumah warga, hotel, dan restoran kemudian dibawa ke TPS. Dari sini dipilah mana yang bisa dijual untuk diseberangkan ke Pulau Bali.

Bukan hal gampang dan bisnis sampah yang mahal karena ada biaya ekstra untuk mengangkut menuju perahu, menurunkannya di dermaga, serta biaya menyeberangkannya. Selanjutnya biaya angkut lagi dan transportasi ke Jatim. “Biaya kirim terlalu tinggi, 3x lipat lebih mahal dibanding jadi pengepul di Denpasar. Habis di biaya kirim,” keluh Asmara. Ia dan istrinya belum setahun pindah ke Lembongan. Mereka meninggalkan usaha pengumpulan sampah di Denpasar dan Badung.

baca juga : Gara-gara Sampah, Sebuah Mall di Bali Jadi Ramai. Ada Apa?

 

TPS Nusa Lembongan di Desa Jungut Batu hanya ditimbun dan dibakar, tanpa dikelola lebih lanjut. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Asmara memang generasi pengepul sampah dari sedikit warga kelahiran Bali yang menekuni usaha ini. Bapaknya, alm I Wayan Gina terkenal di Tuban, Badung sebagai saudagar sampah yang bernilai tinggi.

Walau hitungan biaya penyeberangan sangat tinggi, Asmara punya strategi. Ia harus meringkas ribuan botol dan sampah lainnya ini agar saat dikirim tak menghabiskan ruang dan mengirim sebanyak mungkin di satu sampan. Kemudian memastikan dalam satu karung, sampahnya sama tak tercampur dengan jenis plastik lain. Ini akan mengerek harga jual.

Pekerjaan penting pertama adalah kemampuan memilah, artinya bisa mengenali jenis sampah dan membagi ke sub jenis plastiknya. Misal botol plastik (pet), ada yang warna putih, bening, dan agak biru. Jika dikelompokkan dengan saksama, harganya per kilogram bisa Rp5.200 (bening), Rp4.200 (agak biru), dan pet putih hdpe Rp12.000.

Sedangkan jika hanya mencampur semua pet, harganya hanya Rp2.800/kg. Untuk menghemat ruang dalam karung, botol-botol ini dilindas agar penyet. Satu sak karung volume 15 kg bisa menampung 30an kg setelah digepengkan.

Sejak awal 2018, kelompok ini mendapat bantuan mesin pencacah plastik dari Kementrian Kelautan dan Perikanan lewat BPSPL Denpasar. Jadilah biaya makin bisa ditekan karena dengan dicacah, harga jual bisa lebih tinggi dan ruang makin hemat.

menarik dibaca : Cerita Murkanya Dewa Laut Karena Polusi Plastik

 

Putu Asmara, pendiri Kelompok Lembongan Recycling ini memperlihatkan jenis sampah botol plastik yang harus dipilah spesifik. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Asmara memiliki hitung-hitungan soal taktik menekan biaya penyeberangan ini. Sekali angkut dengan jukung atau sampan, ia menyebut biayanya bisa lebih Rp3 juta dibagi ke biaya sampan dan buruh angkut. “Kalau ombak tinggi, kita tak bisa kirim, lebih repot lagi,” imbuhnya. Sampah plastik juga akan menumpuk lebih tinggi jika ada gangguan penyeberangan. Ini sudah pernah terjadi saat musim ombak tinggi di perairan Bali.

Memilah bukan perkara mudah. Pengetahuan harus diturunkan ke pekerjanya. Selain pet, ada lagi jenis yang banyak dibuang, olahan plastik jadi ember dan alat-alat dapur. “Kesulitan tenaga ahli saya sortir sendiri,” ia menunjuk area sampah terpilah dengan detail. Botol oli pun dipisahkan lagi sesuai warna dan jenisnya.

Total sampah 2 ton per hari yang diambil dari 57 hotel dan puluhan rumah penduduk per akhir Agustus ini. Diangkut menggunakan kendaraan roda tiga 4 kali, 2 pickup, dan jauh lebih banyak saat ada event clean-up di Lembongan. Yang bisa diolah maksimal 300 kg per hari.

Selain mesin pencacah dari BPSPL Denpasar, kelompok ini akan mendapat bantuan mesin kompres sampah dari Friend of Lembongan yang digerakkan pengusaha wisata di Lembongan. “Sampah makin jadi masalah besar, mulai ada kepedulian,” ujar pria 44 tahun asal Desa Kelan, Tuban, Kuta ini.

Asmara memulai usaha pengelolaan sampahnya di Lembongan dengan membantu membuang sampah ke TPS dari mengendarai truk DKP. Dalam satu hari ia mampu memilah 1 pick-up saja saat itu. Di TPS, ia berteman dengan bau, asap, dan jejak gas.

Sampah bernilai tinggi seperti kertas, kardus, dan besi banyak diambil pemulung lain. Yang jadi momok adalah plastik. Ia belum mulai mengolah sampah organik jadi kompos karena masih kewalahan memilah plastik.

baca : Darurat: Penanganan Sampah Plastik di Laut

 

Seorang turis menurunkan anaknya dari gendongan untuk pungut sedotan plastik yang terserak dekat tong sampah di Pulau Nusa Lembongan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sejak Januari 2018 ia menawarkan jasa swakelola dengan mengambil sampah ke hotel dan rumah penduduk. Biayanya Rp70 ribu per bulan untuk rumah, sementara resto dan hotel bervariasi tergantung volume dan akses jalan. “Empat bulan pertama merugi karena tak terlalu banyak hasil pilahan,” urainya.

Kini, setelah bisa memilah lebih banyak, dengan 18 orang pekerja ia bisa mengoperasikan Lembongan Recycling, nama yang diberikan donaturnya pengusaha wisata asing yang membuatkan baju dan lainnya. Selain dukungan kepala desa, ia mengaku lebih banyak didukung warga asing yang tinggal atau memiliki usaha di sini.

Rencana berikutnya adalah membuat gudang untuk menampung hasil pilahan sampah agar tak menyebar. Diperkirakan ada 37 ton sampah anorganik saat ini di area ini yang perlu ditata.

Kepala Desa Lembongan Ketut Gede Arjaya mengatakan sedikitnya kini ada 200 pengusaha pariwisata di Lembongan termasuk di pulau kecil sebelahnya Nusa Ceningan. “Lembongan daerah wisata, harus bersih,” harapnya. Jadi potensi sampah dari aktivitas wisata cukup tinggi. Selain tim Lembongan Recycling juga ada Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) yang mengangkut. Perkiraan sampah yang bisa diangkut baru 50% dari sekitar 4 ton produksi sampah.

Ia mengaku tak mudah menangani sampah di pulau apalagi biaya penyeberangan mahal. Inisiatif masyarakat memilah dan mengubahnya jadi barang ekonomis akan didorong termasuk pendirian bank-bank sampah.

Tentang pengelolaan sampah di TPS yang hanya ditimbun dan dibakar, belum ada pihak yang berinisiatif mengelola dan terbentur pembiayaan. “Pemkab Klungkung pernah ada rencana pengadaan insinerator, tapi terbentur polusi dan perizinan,” pungkas Arjaya.

 

Exit mobile version