Mongabay.co.id

‘Lampu Hijau’ Proyek Listrik Terbarukan di Tengah Tekanan pada Rupiah

Bayi kembar orangutan tapanuli dengan induknya ini terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: YEL-SOCP/Andayani Ginting

 

Opini di   Mongabay, sebelum ini dari Hamid Ar Rum Harahap, menekankan soal proyek pembangkit listrik Batang Toru, tak saja mengancam keberlangsungan habitat orangutan Tapanuli, juga berdampak sosial dan ekonomi kepada masyarakat di hilir bendungan.  William Laurence, Professor dari James Cook University Australia, pun menulis opini di   Mongabay, betapa malapetaka bakal mengena orangutan Tapanuli, satu spesies kera terlangka di dunia, kala proyek PLTA berjalan. Perusahaan menanggapi dengan opini ini.

 

Kelanjutan pembangunan proyek  kelistrikan berbasis energi terbarukan menunjukkan Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla punya keseriusan mendorong pencapaian strategis bidang infrastruktur  yang ramah lingkungan guna mewujudkan kemandirian nasional.

Pada Rabu (6/9/18), pemerintah melakukan sejumlah kebijakan,  salah satu menunda proyek kelistrikan 15.200 mega watt (MW) guna mengurangi impor yang berdampak pada nilai tukar rupiah. Meskipun begitu, penundaan ini tak berlaku pada seluruh pembangunan pembangkit listrik. Proyek kelistrikan berbasis energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA) tetap mendapatkan ‘lampu hijau’ melanjutkan pembangunan.

Baca juga: Para Ilmuan Dunia Kirim Surat ke Jokowi Khawatir Pembangunan PLTA Batang Toru

PLTA, salah satu bagian integral merupakan prioritas memenuhi peningkatan konsumsi listrik nasional. Indonesia,  memiliki beberapa PLTA. Salah satu PLTA terbesar berkapasitas 1.008 MW di Asia Tenggara berada di  Cirata, Jawa Barat, dibangun tahun 1984-1988 berkapasitas 1.008 MW.

PLTA terbaru yang tengah dibangun dan masuk program strategis nasional adalah PLTA Batangtoru berkapasitas 510 MW di Desa Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. PLTA yang dibangun PT North Sumatra Hydro Energi (NSHE) target beroperasi 2022.

Baca juga: Marak Kontroversi Pendirian PLTA di Habitat Orangutan Tapanuli

Keberadaan PLTA ini, bagian penting dari pembangunan infrastruktur dan ekonomi di Sumatera Utara.  PLTA ini jadi pembangkit listrik ramah lingkungan yang siapkan menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. Dunia tak bisa terus bersandar pada energi fosil karena memicu banyak kerusakan dan menghasilkan emisi gas karbon tinggi.

Namun demikian, pro dan kontra sebuah proyek selalu ada, termasuk kekhawatiran keberadaan PLTA merusak hutan. Faktanya,  PLTA Batang Toru sudah memenuhi perizinan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), analisis risiko lingkungan, aspek sosial dan lingkungan hidup, dan perizinan terkait lingkungan dan pembangunan. PLTA ini justru menempatkan hutan sebagai bagian penting demi menjamin ketersediaan air sebagai bahan baku utama penggerak turbin.

 

Area persawahan yang ada di pinggir aliran Sungai Batangtoru. Kala PLTA terbangun, berpotensi mengancam pasokan air lahan pertanian warga ini. Dok: Hamid Ar Rum Harahap

 

Pertanyaannya, seberapa besar dampak positif pembangunan PLTA ini bagi masyarakat sekitar dan Sumatera? Kamar Dagang dan Industri Aceh berkali-kali menegaskan, dunia usaha di Sumatera sangat membutuhkan pasokan listrik agar bisa menggairahkan sektor riil. Gairah industri akan memicu investasi yang bakal mendorong ekonomi daerah, tak hanya Sumatera Utara dan Aceh, tetapi bagi Pulau Sumatera.

Baca juga Orangutan Tapanuli, Spesies Baru yang Hidup di Ekosistem Batang Toru

Semester I 2018, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, sebaran investasi langsung asing (FDI) di Aceh dan Sumatera Utara,  sangat rendah. FDI dominan di Jawa Barat (US$3,28 miliar) dengan 3.650 proyek, Jakarta (US$2,49 miliar) 4.199 proyek, dan Banten (US$1,64 miliar) 15.18 proyek. Sedangkan Sumatera Utara hanya US$512 juta, turun dari semester I 2017 sebesar US$592,6 juta. FDI di Aceh bahkan di berada di peringkat buncit hanya US$49,3 juta.

Kendati Aceh dan Sumatera Utara,  masuk lima besar provinsi dengan tingkat elektrifikasi tertinggi (96,26% dan 95,81%) mengacu data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, faktanya krisis listrik masih jadi keluhan pengusaha dan masyarakat. Padahal, investasi tak bisa dipisahkan dengan‎ ketersediaan energi.

Dalam cakupan ekonomi, kehadiran PLTA Batangtoru akan memberi manfaat lebih, meningkatkan investasi, dan menciptakan banyak lapangan kerja. Pada tahap konstruksi bendungan (DAM), misal, kebutuhan tenaga kerja bisa mencapai 1.000 orang.

 

Aliran air yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik Sumatera Utara dan Aceh ini, berasal dari hutan lindung dan Ekosistem Batang Toru. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

PLTA ini pun akan berkontribusi 15% dari beban puncak Sumatera Utara dan jadi pengganti sumber listrik yang berasal dari diesel dan gas.

Secara sosial ekonomi, kepedulian terhadap masyarakat sekitar juga menjadi prioritas bagi operator PLTA. Kepedulian itu dibuktikan dengan bina lingkungan, tak hanya ekosistem flora dan fauna, juga masyarakat hulu dan hilir Sungai Batang Toru.

Di Sipirok (hulu), bina lingkungan dilakukan dengan memfasilitasi pematenan hak produk unggulan tani Kopi Arabika Sipirok, kopi khas dari tanah Tapanuli Selatan. Adapun di hilir (Batang Toru), dengan membina warga membudidayakan ikan jurung dan melestarikan biodiversitas sungai. Jurung adalah ikan endemik di Sungai Batang Toru yang dianggap primadona. Zaman dahulu, ikan ini untuk acara-acara adat dan hanya disajikan dan boleh dinikmati untuk raja-raja  Batak.

Di luar bina masyarakat, satu hal yang perlu digarisbawahi bila PLTA ini beroperasi, efek positifnya ialah bisa mengurangi emisi karbon hingga 1,6 Megaton CO2 per tahun dari diesel. Pemerintah juga bisa berhemat US$350-400 juta per tahun melalui pengurangan pemakaian bahan bakar fosil. Jika dihitung dengan asumsi kurs Rp14.655 per dolar AS, pemerintah bisa berhemat Rp5,86 triliun per tahun.

Dalam konteks global, PLTA ini juga mengakomodasi agenda internasional yang tertuang dalam kriteria sustainable development goals (SDGs) PBB. Ini sesuai komitmen pemerintah yang terus mendorong pembangunan pembangkit listrik ramah lingkungan berbasis energi terbarukan dan mendorong ekonomi daerah.

Penulis: Agus Djoko Ismanto, adalah Senior Advisor Environment PT North Sumatra Hydro Energi (NSHE). Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Keterangan foto utama:   Inilah bayi kembar orangutan Tapanuli dengan induknya yang terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: SOCP

Ekosistem Batang Toru. Sumber peta; Batangtoru.org

 

Exit mobile version