Mongabay.co.id

Nasib Suku Bajo, Pengembara Laut yang Dicap Pelaku Bom Ikan [Bagian 1]

 

Suku Bajo kerap dicap sebagai perusak ekosistem terumbu karang. Di Gorontalo, pemboman ikan yang sering terjadi diasosiasikan kepada orang-orang Bajo. Bahkan belum lama ini, pada Juni 2018, Direktorat Kepolisian Air (Ditpolair) Polda Gorontalo, menangkap tiga pelaku pengeboman ikan di perairan Kabupaten Pohuwato yang disebut-sebut sebagai orang Bajo.

Polisi juga mengamankan barang bukti berupa 15 botol bom ikan, kabel, satu buah accu dan kotak putih. Bom ikan ini terdiri dari detonator di bagian atas dan ada belerang serta pupuk matahari. Selain itu, ada amonium nitrat dan batu di bagian bawah.

Benarkah Suku Bajo identik dengan pemboman ikan?

Pagi di Juli 2018. Di perairan Pohuwato, Teluk Tomini, sebuah perahu berterpal oranye bergerak perlahan. Dekat kemudi ada belanga, wajan, teko, piring, sendok, gelas, dan peralatan dapur.

Di haluan perahu, berbagai alat menangkap ikan tersusun rapi. Mulai dari panah, pancing, jaring, dan belasan bambu yang dibelah sebagai perangkap udang.

Perahu ini disebut sope. Sebutan lainnya adalah leppa. Ukurannya sekira lebar dua meter dengan panjang enam meter. Di perahu itu terdapat perlengkapan tidur. Di dalamnya, dua anak sedang bermain. Paling bungsu kadang mengeluarkan suara tangisan. Sang kakak kerap membujuknya berhenti meraung.

Keduanya adalah Rasti Nyong (6 tahun) dan Rafli Nyong (2 tahun). Berada di laut, suara tangisan Rafli terdengar jelas.

Sang ibu, Pina Epus, sibuk memasak. Sementara suaminya, Serding Nyong, menyelam diperairan dangkal menangkap udang. Dia ditemani dua anak lelakinya yang remaja; Ahmad Nyong (20 tahun) dan Darma Nyong (17 tahun). Mereka hanya memakai goggle atau kacamata air.

 

Perkampungan Suku Bajo di Torosiaje, Gorontalo. Suku Bajo memang identik dengan laut. Foto: Christopel Paino/Gorontalo

 

Tidak jauh dari perahu mereka, sebuah sope selalu mengikuti. Kadang dari belakang, samping, bahkan sering berada di depan. Pengemudinya seorang perempuan tua bernama Munu Botutihe, (65 tahun). Ia adalah nenek dari Ahmad, Darma, Rasti, dan Rafli.

Nenek Munu memakai tudung kepala bundar lancip yang terbuat dari anyaman bambu, dan berpakaian daster. Wajahnya dilumuri bedak ramuan alami. Ia berjongkok di haluan perahu sembari memegang dayung dan memperhatikan ke bawah laut.

“Nenek Munu itu ibunya Serding Nyong, suami saya,” kata Pina Epus.

Tanpa saya tanya, tiba-tiba Pina Epus menjelaskan ibu mertuanya.

Munu Botutihe bertugas memperhatikan perairan sekitar. Matanya selalu awas melihat udang-udang yang bersembunyi di balik pasir atau karang. Setelah itu, ia memerintahkan sang anak, Serding Nyong, dan cucu-cucunya yang menyelam untuk memasang perangkap dengan sebilah bambu.

Hasil tangkapan udang, biasanya mereka jual ke panampung ikan di kampung. Lalu para penampung menjual lagi ke Kota Gorontalo, Manado, atau Palu.

Mereka tinggal di perahu untuk mencari ikan berminggu-minggu atau bulan. Jika badai datang, perahu menepi dahulu, bersembuyi di balik pulau. Hari itu, tidak hanya keluarga Serding Nyong yang mencari ikan. Tidak jauh dari mereka, terlihat beberapa perahu dengan model serupa.

Salah satunya dilakukan oleh Jena Tane (80 tahun) bersama istrinya Sanina Gaho (56 tahun). Pasangan suami istri itu mencari ikan dengan cara yang sama. Sang suami, ahli berburu ikan memakai panah.

“Kami mendapat gurita pakai panah ini,” ujar Sanina Gaho memperlihatkan hasil tangkapan gurita suaminya.

Di pagi itu, Sanina Gaho menggoreng pisang dan menyeduh kopi untuk sarapan suaminya. Sebagai pengganjal perut, sebelum kembali berburu ikan.

 

Munu Botutihe, bersama anak dan cucunya, mencari ikan dengan cara pongka, sebuah tradisi di suku Bajo. Mereka tinggal di perahu untuk waktu yang lama. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Pongka, tradisi Bajo menuju punah

Selain keluarga Serding Nyong serta pasangan suami istri Jane Tane dan Sanina Gaho, saya bertemu Sajo Opi (41 tahun), nelayan yang mencari ikan dengan cara sama.

Namun Sajo Opi sendirian. Ia tidak mengajak istri atau anaknya.

“Anak-anak saya sekolah,” katanya.

Sajo Opi berencana mencari ikan dua minggu. Setelah hasil didapat, ia akan menjual ke penampung, sebelum pulang ke rumahnya.

Semua nelayan tersebut berasal dari Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Namun mereka kini pindah ke kampung tetangga, Desa Lemito, sekitar 30 menit dari Torosiaje. Mereka yang mencari ikan tersebut merupakan Suku Bajo. Suku ini terkenal sebagai pengembara lautan yang ulung.

Cara mereka mencari ikan dengan tinggal di atas perahu itu disebut pongka atau ba pongka. Dilakukan dalam jangka waktu lama, dengan mengikutsertakan keluarga seperti istri dan anak.

Sayangnya, tradisi pongka mulai jarang dilakukan. Hanya sebagian kecil Suku Bajo yang melakukannya.

 

Keluarga Serding Nyong, Suku Bajo yang masih melakukan tradisi Pongka, mencari ikan dengan mengajak keluarga yang dilakukan dalam waktu lama. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Ramli Utina, profesor Bidang Ekologi dan Lingkungan dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG), bersama Alwiyah, guru SMA Negeri 2 Luwuk, melakukan penelitian tradisi pongka pada suku Bajo di pesisir Desa Bongganan, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

Dalam laporan yang berjudul Bapongka: Studi Nilai Pendidikan Pelestarian Ekosistem Laut dan Pesisir pada Masyarakat Bajo (2014), dijelaskan bahwa tradisi ba pongka memiliki nilai-nilai pendidikan bagi pelestarian ekosistem dan lingkungan laut dan pesisir.

Dalam ba pongka ada hal-hal yang tidak dapat dilakukan, antara lain: tidak boleh membuang air cucian beras, arang kayu bekas memasak, ampas kopi, air cabe, air jahe, kulit jeruk dan abu dapur. Bagi orang Bajo, hal tersebut diyakini dapat mempengaruhi hasil tangkapan.

“Menurut keyakinan mereka, apabila pantangan tersebut dilanggar akan menyebabkan datangnya angin kencang dan munculnya hantu laut. Tanpa disadari, dengan mentaati aturan atau pantangan dalam ba pongka, kelestarian ekosistem laut dan pesisir akan terjaga,” ungkap Ramli Utina dalam laporannya.

 

Nelayan perempuan Bajo di Torosiaje. Mereka dikenal sebagai pelaut tangguh. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Kegiatan melaut dengan tradisi ba pongka yang mulai jarang dilakukan, menurut Ramli Utina, hal tersebut terjadi karena adanya dorongan untuk mencari pekerjaan selain melaut.

Dorongan ini terpengaruh para pendatang yang umumnya pedagang. Dalam perjalanannya, terjadi perkawinan pendatang dan penduduk Suku Bajo. Masyarakat lokal merasa tertarik untuk mengikuti apa yang dikerjakan pendatang.

Bila ditinjau dari segi keberadaan ba pongka, kehadiran masyarakat pendatang sangat mempengaruhi penerapan tradisi ini. Melaut sudah jarang dilaksanakan oleh generasi sekarang.

“Sesungguhnya dalam ba pongka telah tersirat upaya pelestarian ekosistem laut dan pesisir yang tidak disadari nelayan Suku Bajo. Perlu pemahaman bahwa ba pongka memiliki nilai-nilai pendidikan bagi pelestarian ekosistem laut dan pesisir, yang pada gilirannya akan mempengaruhi hasil tangkapan ikan,” urai Ramli Utina. [Bersambung]

 

 

Exit mobile version