Mongabay.co.id

Cerita Tragis Para Nelayan Penyelam Kompresor

 

 

Mereka mengantungkan nyawa hanya di ujung selang yang tersampung kompresor–mesin pompa angin. Menyelam malam hari hingga puluhan meter dengan perlengkapan seadanya demi mencari teripang, lobster, dan ikan. Cacat seumur hidup sampai jiwa melayang adalah taruhan bagi penyelam tradisional ini. Korban banyak berjatuhan. Kemiskinan keluarga nelayan pun terus bertambah di desa pesisir Pantai Seriwe, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.

 

 

Hari beranjak senja. Langit merah memantulkan warna di Pantai Seriwe. Sunardi, memeriksa kembali tas yang disiapkan istrinya, Sainah. Bekal makan malam, rokok, sarung, pakaian ganti dipastikan sudah masuk dalam tas. Di tas lain, pria 36 tahun ini memeriksa senter kedap air, kacamata selam, dakor (alat selam yang digigit disambung tabung udara) dipastikan tak tertinggal.

Di pesisir sudah menunggu rekan yang lain. Hari itu, Agustus 2016, mereka akan berlayar ke perairan sekitar Gerupuk, Lombok Tengah. Ketua rombongan sudah menghitung, sesampai di Gerupuk, hari sudah malam. Penyelaman sudah bisa dilakukan.

Dalam rombongan lima orang itu, ada dua penyelam, satu nakhoda, dan dua operator mesin kompresor. Mereka berlayar dengan harapan mendapat banyak tangkapan.

Mesin kompresor, biasa dipakai di bengkel untuk mengisi angin roda mereka hidupkan. Mesin itu terhubung dengan selang sepanjang 60 meter. Di ujung selang, terpasang dakor yang digigit penyelam.

Sunardi turun terlebih dahulu disusul rekannya. Dengan membawa senter dan speargun, Sunardi mencari ikan seberat kira-kira di atas ½ kg per ekor. Perairan Gerupuk juga dikenal banyak lobster. Pada malam hari, ikan lebih jinak. Para penyelam pun memilih malam hari.

 

Walaupun berjalan tidak normal seperti biasanya, Majmu masih bisa melaut. Dia kapok untuk menyelam menggunakan kompresor. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Setelah mendapat cukup tangkapan, Sunardi naik ke permukaan. Mengeluarkan kantong jaring berisi ikan, Sunardi istirahat sejenak menyeruput kopi. Setelah tenaga pulih, dia kembali turun. Dia ingin mencari ikan lebih besar. Harus lebih dalam, selang makin diulur hingga hampir habis. Sunardi mempekirakan kedalaman malam itu kira-kira 30 meter lebih. Ketika naik, Sunardi merasa kaki kiri kesemutan. Baginya gejala biasa.

Dia mulai menyelam ketika duduk di bangku sekolah dasar (SD). Beberapa kali dia merasakan kesemutan ketika menyelam ke Flores, Jawa Barat, perairan sekitar Madura, hingga Kalimantan.

Sunardi memang dikenal salah satu penyelam ulung. Banyak bos mengontraknya. Penghasilan sebagai penyelam tergantung tangkapan. Kalau banyak, semalam dia bisa membawa pulang Rp500.000-Rp1 juta. Sunardi mampu membangun rumah permanen.

Merasa kaki keram, Sunadi minta istirahat. Setelah merasa segar, Sunardi kembali turun. Subuh masih panjang, Sunardi mempekirakan kira-kira masih pukul 2.00 dini hari. Kali ini Sunardi merasa sedikit sesak. Dia memutuskan cepat naik ke permukaan. Dia merasa letih dan langsung berbaring.

Sunardi merasa kaki makin sakit. Kali ini kedua kaki. Sunardi tidur sebentar. Ketika bangun sebelum subuh, dia merasa kesulitan menggerakkan kaki. Sunardi pasrah. Dia berdoa tak terlalu parah.

Bagi orang-orang di kampung itu, kondisi Sunardi mereka sebut sebagai penyakit terkena “aiq keram”. Aiq keram adalah kondisi air laut di mana di titik tertentu air terasa sangat dingin. Jika kena dengan air itu, nelayan mengalami keram, ada yang lumpuh, bahkan ada meninggal dunia begitu naik ke permukaan.

Pagi itu, Sunardi langsung dibawa ke rumah sakit di Mataram, kira-kira dua jam perjalanan dari kampung halamannya. Dia masuk tabung hiperbarik. Di dalam ruangan dengan tekanan oksigen tinggi itu memang alat terapi bagi penyelam yang mengalami gejala akibat gelembung gas nitrogen yang masuk ke jaringan darah ketika naik ke permukaan. Dengan terapi ini, bisa mengurangi efek nitrogen.

“Sekali berobat habis Rp500.000,’’ katanya.

 

Seorang nelayan di Gerupuk Lombok Tengah menunjukkan perlengkapan menyelam tradisional. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Terapi oksigen hiperbarik ini membuat Sunardi sedikit lebih segar. Meskipun begitu, kondisi kaki tak kunjung membaik. Makin lama, dia tak lagi bisa mengontrol kakinya. Bahkan sampai menjalar ke pinggang. Otot-otot lemas. Sunardi merasa seperti tak memiliki kaki. Sunardi makin stres ketika tiba-tiba dia melihat celananya penuh kotoran. Sunardi tak bisa lagi mengontrol anusnya. Kencing, buang air besar keluar dengan sendirinya.

“Seandainya nginjak paku juga tidak terasa sakit, kayak tidak punya kaki,’’ katanya seraya memukul-mukul betisnya membuktikan bahwa kaki itu seperti mati. Tak sakit ketika dipukul keras.

Sunardi menghitung delapan kali pergi berobat ke rumah sakit. Hasil nihil. Dia juga mencoba pengobatan tradisional. Sama saja. Yang berubah justru kondisi rumah Sunardi : perabot berharga mulai lelang satu persatu. Bahkan perahu kecil yang biasa dipakai menangkap ikan turut dijual untuk biaya berobat.

 

 

***

Siang itu, Februari 2011, Reji, bersama kedua rekan berangkat melaut. Seperti Sunardi, Reji, salah satu legenda penyelam kompresor. Kelas 1 SD, Reji ikut melaut. Ketika beranjak remaja, dia sudah jadi penyelam kompresor.

Sekitar 30 menit perjalanan dari pantai berpasir putih itu, sampailah Reji ke tempat tujuan. Sebuah titik di dekat deretan gili (pulau) kecil yang masuk di Jerowaru. Sebagai penyelam yang dikenal jagoan, Reji kebagian sebagai penyelam utama. Satu orang rekan jadi operator kompresor. Rekan lain ikut membantu, menyiapkan peralatan penyelaman.

Ketika semua perlengkapan siap, jaring tempat menaruh ikan, tombak kecil, Reji langsung terjun. Dia tidak ingat berapa lama di dasar laut. Kedalaman sekitar 40 meter. Mungkin 25 menit. Setelah dirasa cukup buruan, Beji naik ke permukaan.

Sesampai di atas perahu, menu utama rokok sudah disiapkan. Menyelam tanpa baju pelindung tentu membuat badan dingin, apalagi sampai puluhan menit. Rokok dinyalakan, Reji sangat menikmati isapan rokok itu. Hanya dua isap. Belum sempat mengisap rokok untuk ketiga kali, Reji merasa dunia seperti berputar. Kepala Reji pusing. Dia terjatuh di sampan.

 

Sahnan menyiapkan pancing gurita. Bulan Agustus-September ini musim gurita. Ketika musim gurita berakhir, Sahnan dan putranya menjadi nelayan penyelam dengan kompresor. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Reji langsung dibawa pulang ke rumah. Ketika sampai di pesisir dia masih bisa berjalan pulang ke rumah. Namun terasa sangat sakit di bagian pinggang dan kaki. Sesampai di rumah, dia tidur sebentar. Ketika bangun kaki sudah tidak bisa lagi bergerak.

Setelah kelumpuhan total Reji, hidupnya total berubah. Dia tidak bisa lagi bekerja. Menyelam. Uang untuk menyalakan api dapur hanya mengandalkan upah istrinya jadi buruh. Jangankan bekerja, sekadar mengurus diri sendiri saja susah. Karena kelumpuhan itu, Reji tak bisa mengontrol air kencing. Begitu ada rasa ingin kencing, langsung keluar.

Reji merasa mulai berangsur membaik setelah enam tahun. Dia bisa menggerakkan kaki, bisa berjalan tertatih. Kini, dia kembali jadi tulang punggung keluarga. Dia memutuskan tak lagi menyelam.

Sunardi dan Reji, tak sendiri. Desa yang dikenal sebagai salah satu penghasil rumput laut terbaik di Pulau Lombok ini juga sebagai kampung para pria lumpuh karena menyelam.

Dari penuturan warga, beberapa nelayan tewas karena menyelam kompresor ini adalah Jumasih, Amaq Gonda, Sahram, Bandi, Dadi, Munawir, Kero, Burhanudin, Rusman, Seman, dan Mastah.

Kematian tiga orang terakhir ini cukup dramatis. Mereka menyelam di Perairan Sumenep, Madura. Ketika dibawa ke kampung halaman, tiga-tiganya sudah tak bernyawa. Para penyelam meninggal masih berusia muda, antara 25-35 tahun.

Penyelam yang cacat seumur hidup antara lain, Reji alias Amaq Sunti, Reji alias Amaq Zaenal Abidin, Majmu, Halil, Nurman, Saidi, Joni, dan Combo’. Tingkat keparahan mereka juga beragam.

Joni masih bisa berjalan pincang tanpa tongkat. Majmu bisa jalan dan pergi melaut. Sunardi tak bisa sama sekali menggerakkan pinggul ke bawah.

“Saya sudah tidak bisa melaut lagi,’’ kata Sunardi.

 

Seorang nelayan panen rumput laut. Dalam lima tahun terakhir, jumlah petani rumput laut di Desa Seriwe Lombok Timur berkurang. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

 

Keluarga nelayan miskin perlu pendampingan

Suami yang meninggal atau cacat permanen menambah beban keluarga nelayan. Mereka yang awalnya berkecukupan karena pendapatan sebagai penyelam, berubah drastis jadi keluarga miskin baru.

Mereka pakai semua tabungan, bahkan sampai menjual barang berharga, termasuk perahu untuk biaya pengobatan. Sebagian besar korban cacat berobat tak membuahkan hasil maksimal. Kaki mereka tak bisa kembali seperti semula. Mereka tak bisa melaut.

Tanggung jawab mencari nafkah diambil alih istri. Seperti Sunardi, kini yang mencari nafkah menghidupi keluarga dengan dua anak ini adalah Sainah. Sehari-hari dia jadi buruh rumput laut. Bekerja mengikat bibit rumput laut, menjemur, dan membuka ikatan ketika panen. Tidak setiap hari dia mendapatkan pekerjaan itu, karena rumput laut musiman. Jika tak ada pekerjaan, mereka dibantu kerabat.

“Ya sekarang dapat menciro’ saja,’’ kata Sunardi. Menciro’ adalah pemberian cuma-cuma oleh nelayan yang baru pulang melaut biasa kepada orang yang membantu menambatkan perahu.

Penghasilan sebagai buruh panen rumput laut hanya bisa untuk makan.Tak seperti ketika Sunardi masih bisa menyelam, keluarga ini berkecukupan. Bisa membeli barang berharga, dan berencana menyekolahkan tinggi putra dan putri mereka. Kondisi ini juga dialami para perempuan lain kala suami mereka cacat dan meninggal.

Di Seriwe, dan masyarakat pesisir umumnya, ada pembagian pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki urusan di laut, perempuan di darat. Termasuk dalam budidaya rumput laut, urusan yang bersentuhan dengan laut seperti mengangkut bibit ke tengah laut, panen dan membawa ke daratan menjadi jatah laki-laki. Semua pekerjaan di darat urusan perempuan.

Herawati, alumnus Australian National University, awal tahun lalu riset tentang blue economy di Seriwe. Dia membenarkan pembagian kerja keluarga nelayan, laki-laki berurusan dengan laut, dan perempuan di daratan. Para nelayan yang lumpuh sebenarnya masih bisa bekerja mengikat bibit rumput laut, atau membuka kembali ikatan ketika panen. Namun, bagi nelayan di Seriwe, pekerjaan itu hanya untuk perempuan.

Sementara dalam program-program pemerintah, nelayan itu masih identik dengan laki-laki. Ketika ada bantuan ke keluarga nelayan, keluarga nelayan perempuan sebagai kepala keluarga nyaris tak tersentuh bantuan. Begitu juga keluarga nelayan dengan suami cacat, tak tersentuh bantuan karena dianggap tak akan bisa bermanfaat.

“Termasuk ketika meminjam uang, perempuan janda itu sulit diberikan pinjaman. Orang tidak percaya jika mereka akan sanggup mengembalikan,’’ katanya.

 

Desa Seriwe sebenarnya dikenal sebagai salah satu sentra rumput laut di Pulau Lombok. Untuk proses di daratan, didominasi oleh perempuan. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Program blue economy yang digaungkan pemerintah pun, kata Hera, yang juga melakukan riset serupa di Nusa Penida Bali ini, sangat sedikit menyasar keluarga nelayan, dimana perempuan sebagai kepala keluarga. Bantuan modal, alat tangkap, perahu, dan bantuan lain tak bisa perempuan akses. Di Pesisir Ekas, Kecamatan Jerowaru, salah satu sentra rumput laut di Lombok Timur juga alami kondisi serupa.

Di tempat itu, banyak terlihat bantuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, tetapi lagi-lagi bantuan tak merata.

Seharusnya, kata Hera, melalui program blue economy itu pemerintah memerhatikan khusus keluarga nelayan yang mengalami kecelakaan. “Harus ada pendampingan khusus bagi mereka, mengingat siklus hidup mereka berubah.”

Sebelumnya, suami tulang punggung keluarga, istri mengurus domestik, kini berubah total. Selain para istri tetap mengurus domestik, beban mereka bertambah. Mengurus suami sakit dan mencari nafkah.

Selain program harus menyasar para perempuan ini, katanya, juga harus diarahkan untuk pemulihan para nelayan cacat. Mereka harus disiapkan pekerjaan baru.

“Ini yang membuat nelayan yang sebelumnya miskin, makin miskin.”

Kalau mengoptimalkan rumput laut, kata Hera, sebenarnya bisa jadi tumpuan ekonomi nelayan di Seriwe. Berada di peraian teluk, Seriwe dikenal salah satu sentra andalan rumput laut di Pulau Lombok.

Bagi nelayan miskin yang tak memiliki perahu dan alat tangkap, bisa membudidayakan rumput laut. Risiko kecelakaan di tengah laut kecil, dan hasil rumput laut sudah pasti.

Sayangnya, alih-alih jadi lebih berkembang, selama lima tahun terakhir jumlah petani rumput laut di Seriwe, berkurang.

Penyebabnya, penyakit rumput laut yang tak bisa diatasi mengakibatkan banyak petani merugi. Mereka kehabisan modal kembali ke tengah laut mencari ikan, termasuk mengandalkan menyelam dengan kompresor.

“Ketika ada penyakit, tak ada solusi jitu yang ditawarkan. Ini yang mengakibatkan banyak petani rumput laut gulung tikar,’’ kata Hera.

Kala tak ada perhatian kepada mereka, dia khawatir, rumput laut makin ditinggalkan. Pengangguran makin banyak, karena keterdesakan keadaan, bakal makin banyak melaut dengan tak aman seperti pakai kompresor.

 

Sunardi berjalan dibantu tongkat. Kakinya lumpuh akibat penyelaman yang tidak aman menggunakan kompresor. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version