Mongabay.co.id

Nasib Suku Bajo, Pengembara Laut yang Dicap Pelaku Bom Ikan [Bagian 2]

Perkampungan Suku Bajo di Torosiaje, Gorontalo. Suku Bajo memang identik dengan laut. Foto: Christopel Paino/Gorontalo

 

Suku Bajo kerap dicap sebagai perusak ekosistem terumbu karang. Di Gorontalo, pemboman ikan yang sering terjadi diasosiasikan kepada orang-orang Bajo. Bahkan belum lama ini, pada Juni 2018, Direktorat Kepolisian Air (Ditpolair) Polda Gorontalo, menangkap tiga pelaku pengeboman ikan di perairan Kabupaten Pohuwato yang disebut-sebut sebagai orang Bajo.

Polisi juga mengamankan barang bukti berupa 15 botol bom ikan, kabel, satu buah accu dan kotak putih. Bom ikan ini terdiri dari detonator di bagian atas dan ada belerang serta pupuk matahari. Selain itu, ada amonium nitrat dan batu di bagian bawah.

Benarkah Suku Bajo identik dengan pemboman ikan?

Masyarakat Suku Bajo di Gorontalo mayoritas berada di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato. Kampungnya terpisah dari daratan dan dapat ditempuh berperahu sekitar lima menit. Rumah panggung yang berderet, seperti terapung di laut, dihubungkan jembatan kayu.

Karena dianggap sebagai kampung unik dengan kehidupan masyarakat Suku Bajo-nya, pemerintah daerah setempat menetapkan Torosiaje sebagai desa wisata.

Kampung ini sudah ada sejak 1901. Nama Torosiaje berasal dari bahasa Bajo. Toro berarti tanjung dan siaje bermakna persinggahan.

Baca: Nasib Suku Bajo, Pengembara Laut yang Dicap Pelaku Bom Ikan [Bagian 1]

 

Nelayan perempuan Bajo di Torosiaje. Mereka dikenal sebagai pelaut tangguh. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Francois Robert Zakot, antropolog asal Prancis menceritakan awal mula kampung Bajo di Torosiaje. Semua bermula dari pengembara laut yang tinggal di perahu sope, kemudian menjadikan Torosiaje sebagai persinggahan.

Zakot tinggal bersama orang Bajo dan menuliskan pengalamannya selama bertahun itu. Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul “Orang Bajo, Suku Pengembara Laut”.

Namun, pemerintah beranggapan Suku Bajo yang no maden sebagai suku terasing. Julukan pelaut ulung perlahan menghilang, seiring program permukiman di darat kepada orang-orang Bajo.

Di Torosiaje, awal mula suku Bajo tinggal di darat terjadi pada 1982. Pemerintah melalui Departemen Sosial saat itu, membangun permukiman untuk 125 kepala keluarga. Saat itu, 50 kepala keluarga kembali ke laut karena di darat mereka kesulitan air bersih.

Program pembangunan permukiman di darat terus berlangsung. Tahun 1984 dibangun lagi untuk 50 kepala keluarga. Pada 1986 dibangun untuk 75 kepala keluarga. Berikutnya, pada 1995 (50 kk) dan 1997 hingga 1998 dibangun lagi untuk 84 kepala keluarga.

Kini, orang Bajo yang bermukim di darat sudah memiliki administrasi pemerintahan sendiri dengan nama Desa Torosiaje Darat. Sementara mereka yang di laut disebut Desa Torosiaje Laut.

 

Perkampungan Suku Bajo di Torosiaje, Gorontalo. Suku Bajo memang identik dengan laut. Foto: Christopel Paino/Gorontalo

 

Dandhy Dwi Laksono, videografer yang melakukan ekspedisi jurnalisme bertajuk Ekspedisi Indonesia Biru dengan mengelilingi Indonesia tahun 2015, mendatangi perkampung Bajo di Torosiaje.

Menurut dia, orang-orang Bajo yang telah membangun peradaban maritim di Indonesia, sering mendapatkan perlakukan diskriminatif. Dengan mengatasnamakan “hidup yang lebih baik” pemerintah membuat program memukimkan mereka di sejumlah pulau atau daratan. Tak sedikit dengan cara-cara pemaksaan dan intimidasi, seperti pengusiran di pulau-pulau tempat mereka berteduh dari badai jika tak dapat menunjukkan identitas. Atau pulau-pulau di mana nenek moyangnya dulu mencari air atau bertukar ikan dengan ubi pada warga setempat.

“Dalam beberapa kasus seperti di Pulau Bali Kukup (Kalimantan Utara), mereka terpaksa membeli surat jalan dari aparat pemerintah desa agar tidak ditangkap tentara atau polisi di tengah laut,” kata Dandhy.

Padahal menurut Dandhy peradaban darat tak selalu mengajarkan kebaikan. Sejak bermukim, orang-orang Bajo justru mengenal bom ikan. Ikatan pada terumbu karang pun tak kuat lagi karena daratan menyediakan sumber-sumber ekonomi alternatif. Sebelumnya, alat tangkap paling masif adalah pukat atau jaring, selain tombak, panah, maupun jerat.

“Dan mustahil bagi mereka menumpaskan terumbu karang tempatnya menggantungkan hidup setiap hari.”

 

 

 

Jago nyelam

Sebuah film dokumenter berjudul Jago: A Life Underwater, menceritakan kisah lelaki bernama Rohani, usia 80 tahun dari Suku Bajo. Rohani seorang Bajo yang berasal dari Pulau Kabalutan, di Kepulauan Togean. Tempat ia mencari ikan tidak hanya di Togean, namun menyeberang sampai ke Paguyaman dan Torosiaje, Gorontalo.

Rohani dikenal sebagai orang yang hebat menyelam tanpa bantuan alat. Dengan sekali tarikan nafas, ia mampu berlama-lama di bawah laut untuk berburu ikan, seperti orang berjalan. Karena kemampuannya itu, Rohani sering dipanggil “jago”.

Film yang diproduksi 2015 ini sempat memenangkan penghargaan bergengsi. Film besutan James Reed dan James Morgan ini memberikan gambaran yang terjalin antara Suku Bajo dengan habitat laut tempat mereka berburu ikan.

 

Tradisi Pongka, mencari ikan dengan mengajak keluarga yang dilakukan dalam waktu lama, perlahan mulai ditinggalkan oleh Suku Bajo. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Sebuah penelitian juga mengungkapkan, orang Bajo bisa lama menyelam tanpa bantuan alat. Riset yang dilakukan oleh sebuah tim dari Universitas Copenhagen, dipublikasikan di Jurnal Cell, Volume 173, Issue 3, P569-580, E15, April 19, 2018. Artikel tersebut bertajuk Phsysiological and Genetic Adaptations to Diving in Sea Nomads.

Penelitian ini membandingkan ukuran limpa orang Bajo dengan Suku Saluan, salah satu suku di Sulawesi Tengah, yang juga hidup berdekatan dengan orang Bajo. Orang Saluan tidak memiliki tradisi menyelam seperti orang Bajo. Dari hasil perbandingan, ukuran limpa, organ tubuh, orang Bajo 50 persen lebih besar dari orang Saluan.

Ketika menyelam, limpa berfungsi sebagai tangki oksigen. Menurut penelitian itu, kehebatan Suku Bajo menyelam merupakan hasil adaptasi dan seleksi alam ribuan tahun.

Tim peneliti juga membandingkan genom Suku Bajo dengan Suku Han di China, yang sebelumnya sudah banyak diteliti. Hasilnya, Suku Bajo memang memiliki karakteristik berbeda.

 

Penelitian perbandingan ukuran limpa orang Bajo dengan Saluan, salah satu suku di Sulawesi Tengah, telah dilakukan. Hasilnya, ukuran limpa, orang Bajo 50 persen lebih besar. Sumber presentasi: Jurnal Cell, Volume 173, Issue 3, P569-580, E15, April 19, 2018

 

Dengan fakta dan sejarah tersebut, Umar Pasandre, tokoh masyarakat Bajo di Desa Torosiaje Darat, kurang setuju dengan anggapan bahwa orang-orang Bajo adalah para pelaku bom ikan. Meskipun ia sadar, di desanya masih ada yang berbuat.

Torosiaje telah menjadi kampung terbuka, banyak pendatang kawin-mawin dengan orang Bajo, seperti Gorontalo, Bugis, Jawa, Buton, dan sebagainya.

“Memang di sini ada pelaku bom ikan. Budaya instan dari luar telah mempengaruhi orang Bajo. Tapi sebenarnya, bom ikan itu bukan tradisi orang Bajo,” tandas Umar. [Selesai]

 

 

Exit mobile version