Mongabay.co.id

Pertemuan Tahun 1984: Panel yang Menentukan Nasib Badak Sumatera

 

Ketika memasuki Zimmer Hall, Universitas Cincinnati di Amerika Serikat, rasanya tak ada orang yang akan berpikir bakal bertemu badak sumatera. Tapi itulah kenyataannya. Saat masuk, Anda akan berjumpa dengan awetan Ipuh, badak sumatera yang mati tahun 2013. Ditaksir beratnya sekitar 1 ton.

Jika diperhatikan secara saksama, spesimen itu serupa babi berbulu tebal kemerahan. Culanya hampir tak menjulang. Ekspresinya muram, bahkan lebih cocok disebut suram. Dia dipajang di antara mesin penjual minuman dan ruang duduk-duduk mahasiswa.

Saya pribadi merasa beruntung dapat berjumpa Ipuh, -meski sudah dalam bentuk ofsetan. Saya membayangkan jika semasa hidupnya, Ipuh dan badak sumatera lainnya sebagai makhluk lembut yang pernah mengalami hidup bahagia di hutan tropis.

Ipuh sendiri tak terlalu dikenal publik. Tapi sejarah tak bisa ingkar, dia adalah jantan pertama yang menjadi ayah bagi anak-anak badak yang lahir di penangkaran setelah menunggu 112 tahun.

 

Ipuh, badak yang lahir di alam liar Sumatera ini, merupakan jantan pertama yang menjadi ayah bagi anak-anak badak yang lahir di penangkaran. Awetan Ipuh berada di Universitas Cincinnati, Amerika Serikat. Foto: Jeremy Hance/Mongabay

 

Anak jantan pertama Ipuh bernama Andalas, yang lahir pada tahun 2001. Sekarang Andalas hidup di Suaka Rino Sumatera, Way Kambas, Indonesia. Kelahiran Andalas seolah memutus penantian panjang 17 tahun para ahli terhadap keberhasilan program penangkaran badak.

Kilas baliknya dapat ditelusuri dari pertemuan para pemangku kepentingan di Singapura 1984. Pertemuan ini menjadi tonggak sejarah penting, karena menghasilkan keputusan untuk menangkapi badak dari alam liar sebagai bagian program penangkaran.

Hingga sekarang pun keputusan dari pertemuan ini menyisakan sorot kontroversi bagi para pegiat konservasi. Apakah ini merupakan pilihan buruk yang berakhir pada kegagalan total, atau lembar baru peluang bagi penyelamatan spesies badak?

Hingga sekarang pun, badak sumatera resmi menjadi mamalia terestrial darat terlangka yang masih berkeliaran di planet ini. Data resmi menyebut ada 100 satwa yang hidup di alam liar, hitungan tak resmi jumlahnya berbeda jauh, hanya dibawah 30 individu saja. Ini pun sudah memasukkan sembilan badak yang ada di penangkaran.

Dari penangkaran di lokasi (Lampung maupun Sabah) baru sepasang yang mampu berkembang biak, yaitu anak dari pasangan badak betina Ratu -yang lahir di alam liar, dengan badak jantan Andalas, -anak tertua Ipuh dan Emi yang lahir di Cincinnati Zoo, AS.

Sebagai upaya akhir memperbanyak jumlah individu badak sumatera di penangkaran, hingga sekarang pun para ahli konservasi masih tetap mempertimbangkan program penangkapan baru untuk dilaksanakan.

 

 

Pertemuan 1984

Tom Foose (39), Koordinator Konservasi Asosiasi Kebun Binatang dan Akuarium (Association of Zoos and Aquarium, AZA), tiba di Singapura pada Oktober 1984. Dia datang dengan asa memuncak, dia percaya sebuah rencana baru yang berani bakal berhasil menyelamatkan spesies badak sumatera dari kepunahan.

Foose memiliki kontak dengan para pemangku kepentingan di Sabah, sebuah negara bagian Malaysia di Borneo. Dalam ajuan proposal yang dibuat, dia berencana menangkap beberapa badak yang kemudian akan dibagi-bagi ke berbagai penangkaran lokal hingga kebun binatang yang ada di Amerika Serikat.

Sebagai langkah lanjutan, dia perlu meyakinkan ahli-ahli badak dan konservasi dari Asian Rhino Specialist Group of the International Union for Conservation of Nature (IUCN), bahwa apa yang dia lakukan adalah jalan terbaik buat masa depan badak sumatera.

“Profil jelas kutu buku. Matanya minus, juga kecanduan minum Coca-Cola. Pokoknya bukan tipe orang lapangan sama sekali,” sebut John Payne tentang Foose. Payne hadir sebagai peserta, dia saat itu bekerja sebagai manajer proyek WWF-Malaysia, sekaligus perwakilan Departemen Kehutanan Sabah.

“Dialah otak dari semuanya. Dia menyadari bahwa badak sumatera sudah pasti akan punah. Alasannya jumlahnya terlalu sedikit di alam dan lambat berkembang biak.”

Di belahan dunia lain, tepatnya di Inggris, jutawan eksentrik John Aspinall, yang menjadi kaya dari usaha judinya dan juga seorang pemilik kebun binatang, memiliki rencana serupa. Dia memiliki rencana untuk menangkarkan badak, baik di Indonesia dan di kebun binatang miliknya di Inggris.

“Beberapa orang kerap disalahpahami dan dikritik karena kepribadiannya, namun pada akhirnya kita akui jiwa kedermawanan mereka. Salah satu sosok cerdas itu John Aspinall, ” jelas Francesco Nardelli, Direktur Eksekutif The Sumatran Rhino Project. Dia bekerja selama 12 tahun dengan Aspinall.

“Pemikirannya mendalam, sampai ke akar-akarnya,” sambungnya.

 

Nico Van Strien, Tom Foose, Mohammed Khan bin Momin Khan dan Ed Maruska, lalu direktur Kebun Binatang Cincinnati, pada acara perayaan Andalas tahun 2001, badak pertama yang lahir hasil program penangkaran. Foto: Terri Roth.

 

Ada juga Nico van Strien, pemuda yang usianya baru 38 tahun, namun telah ditasbihkan sebagai ahlinya badak sumatera. Dia baru saja mempublikasikan disertasi setebal 211 halaman yang mengungkap perilaku badak sumatera dan ekologinya.

Meskipun belum pernah sekalipun melihat badak sumatera di alam liarnya secara langsung, saat itu van Strien digambarkan sebagai satu-satunya akademisi yang paham tentang badak sumatera.

Van Strien pula yang membuat perkiraan jumlah populasi badak sumatera yang tersisa di dunia. Sebagai mamalia besar paling terancam di bumi, badak sumatera diyakini telah punah di timur laut India hingga ke Vietnam. Badak sumatera hanya bertahan di beberapa belahan bagian Sumatera, Kalimantan hingga Semenanjung Malaya. Beberapa individu diperkirakan mungkin masih bertahan di hutan-hutan belantara di sekitar perbatasan Thailand dan Myanmar.

Di tahun 1984, van Strien memperkirakan total populasi badak sumatera antara 481-873 individu (pada tahun 1986, IUCN merilis angka antara 425 dan 800). Namun angka ini bersifat dugaan akademik. Di beberapa lokasi, van Strien mencatat, angka-angka itu disusun berdasarkan “laporan yang masih belum dapat dikonfirmasi” atau “masih dalam penelusuran.”

Kemungkinan terbesar, angka realistisnya mendekati perkiraan terendah van Strien, atau bahkan jauh di bawah itu atau telah lenyap. Contohnya angka badak sumatera di Taman Nasional Kerinci Seblat. Awalnya disebut antara 250 hingga 500, tapi 20 tahun kemudian otoritas berwenang menyebut tak ada lagi badak di wilayah itu.

Orang-orang di atas hadir di Singapura dalam Pertemuan yang bertajuk “Panel Ad Hoc Badak Sumatera”. Mereka saksi dari pertemuan yang mengambil keputusan yang bakal dikenang sebagai kegagalan epik dalam dunia konservasi. Pun perlu jangka waktu puluhan tahun hingga sampai kepada tampilan strategi kedua.

 

 

Badak Sumatera di Sumatran Rhino Sanctuary, Lampung, Indonesia. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

Penangkapan Awal Badak Sumatera antara 1641 hingga 1984

Merujuk pada buku The Rhinoceros in Captivity: A List of 2439 Rhinoceroses Kept from Roman Times to 1994, tertulis badak sumatera pertama yang hidup dalam kandang dapat ditelusuri hingga ke tahun 1641. Badak itu ditangkap di wilayah Kesultanan Aceh. Dua ratus kemudian barulah badak sumatera lainnya dibawa ke penangkaran.

Selama abad ke-19, 37 individu dibawa ke penangkaran, termasuk dua ekor yang dikirim ke sirkus Barnum & Bailey di AS; salah satu badak mati dalam tempo satu tahun, yang satunya lagi hanya bisa bertahan hidup selama lima tahun.

Pada tahun 1889, peristiwa penting terjadi. Badak sumatera yang hidup di Kebun Binatang Calcutta dikabarkan melahirkan anak badak jantan yang dilaporkan hidup hingga usia 14 tahun. Saat itu, Kebun Binatang Calcutta, dikelola ahli biologi Ram Brahma Sanyal. Dia dikenal karena menulis buku panduan tentang cara perawatan dan perkembangbiakan satwa di penangkaran.

Dalam lima puluh tahun berikutnya tak banyak informasi terhimpun. Kemungkinan karena dalam periode itu dunia disibukkan dengan dua kali perang dunia, serta pertambahan badak sumatera tangkapan yang amat kecil (satu badak entah bagaimana dilaporkan ada di Osaka, Jepang).

Upaya selanjutnya untuk menangkap badak sumatera adalah ekspedisi Kebun Binatang Basel Swiss dan Kebun Binatang Kopenhagen Denmark tahun 1959. Menurut buku Rhino Country yang ditulis Hakon Skafte (1964), ekspedisi ini digagas Svend Andersen, yang kemudian menjadi Direktur Kebun Binatang Kopenhagen. Dalam bukunya, Skafte menyebut apa yang paling diinginkan oleh Andersen adalah “spesimen badak berbulu”.

 

Hutan hujan di Riau, di pesisir timur Pulau Sumatera, Indonesia. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Ekspedisi ini lalu mendatangi sebuah kawasan hutan dekat Sungai Siak, Riau. Skafte menggambarkan peristiwa itu sebagai “salah satu safari terbesar, yang amat menarik untuk bisa dibayangkan.” Skafte dan Arne Dyhrberg, -juga dari Kebun Binatang Kopenhagen, bersama orang lokal mengelilingi jalur jelajah badak dengan pagar kayu runcing 10 x 10 meter dan enam pintu perangkap yang otomatis jatuh saat badak masuk.

Tak lama, badak pertama pun tiba bersama tamu tak terduga: seekor harimau sumatera, yang akhirnya lolos dari perangkap tanpa cedera. Tetapi badak tangkapan itu mati, tidak mampu bertahan hidup.

Skafte dalam bukunya menuding pekerja lokal yang meracuni badak itu akibat perselisihan upah kerja. Namun Skafte tak dapat memberikan bukti nyata.

Tim pun akhirnya berhasil menangkap seekor badak betina, yang lalu diberi nama Subur. Mereka mengirimnya ke Kopenhagen. Subur diberi makan jerami, wortel, apel dan kentang (selama berhari-hari dalam perjalanan laut bahkan dia hanya makan nasi). Ajaibnya, meski pola makannya aneh, Subur mampu bertahan hidup 13 tahun di Denmark yang dingin.

Ekspedisi lalu berhasil menangkap tiga betina lagi. Satu mati sebelum bisa diangkut. Dua lainnya mati tahun 1961, satu mati di Basel, satunya lagi mati di Bogor. Ekspedisi pun nyaris berhasil menangkap satu individu jantan, tetapi dia lolos dari jebakan. Akibatnya upaya perkembangbiakan badak di penangkaran pun tampak mustahil.

Jika dihitung, selama lebih dari 300 tahun antara 1641 dan 1984, tercatat 56 badak sumatera yang dibawa ke penangkaran. Dan pada tahun 1980, semuanya mati.

 

Bayi badak sumatera yang lahir di penangkaran di Kebun Binatang Cincinnati. Memindahkan badak ke kebun binatang ini merupakan langkah kontroversial, meski penting untuk keberhasilan program. Foto: Kebun Binatang Cincinnati.

 

Dua Hari di Singapura

“Kami dari IUCN menganggap ini kesempatan penting, dimana nantinya dapat jadi preseden yang dapat digunakan [untuk konservasi] spesies lain di berbagai belahan dunia,” tutur Robert F. Scott, pejabat eksekutif dari IUCN Species Survival Commission, pada pembukaan pertemuan 1984.

Dari minuta rapat, tampak jelas para peserta meyakini keputusan yang diambil untuk badak sumatera bisa memberi dampak bagi spesies lain. Jika kebun binatang dan konservasionis dapat berhasil dalam penangkaran spesies badak sumatera, maka mereka pun dapat melakukannya untuk spesies terancam punah lainnya.

Bagi pengelola kebun binatang pernyataan itu bernilai penting. Institusi itu bakal bertransformasi besar, dari sekadar fasilitas yang sering dituding hanya sebagai tempat hiburan, menjadi lembaga yang dapat memberikan kontribusi serius bagi konservasi.

Namun tidak semua orang mendukung upaya program penangkaran badak sumatera.

“[Sebenarnya] banyak yang menentang penangkaran, namun suara dari kelompok kecil itu yang akhirnya diikuti,” jelas Mohammed Khan bin Momin Khan. Dia adalah ketua Asian Rhino Specialist Group sekaligus Direktur Departemen Hidupan Liar Malaysia. Dia turut menghadiri pertemuan tersebut.

Lima bulan sebelum pertemuan ini, Khan mendapat pengalaman menarik. Seekor betina badak sumatera setengah buta berkeliaran di perkebunan sawit di Semenanjung Malaysia. Dia ditangkap para pekerja, diikat dan dikelilingi ratusan warga setempat. Khan menyebut, dia sampai harus berkejaran dengan waktu menuju ke lokasi, berlomba dengan para “pedagang hewan” yang waktu itu juga sudah dalam perjalanan.

“Saya sempat tak percaya, itu benar-benar badak sumatera,” tutur Khan kepada media saat itu. “Saya khawatir binatang itu mati ketakutan, atau dicincang sebelum kami tiba.”

Hebatnya, Khan sampai di sana lebih dulu, dan Jeram, -badak betina itu kemudian diberi nama, pun selamat. Di tengah malam buta, Khan dan timnya cepat-cepat mengevakuasi Jeram ke Kebun Binatang Malaka.

Mungkin, kritikus yang paling vokal di pertemuan yang menentang penangkaran adalah Rudolf Schenkel, ahli badak dari Kebun Binatang Basel. Menurut risalah rapat, Schenkel gigih berdebat melawan penangkaran. Dia menyebut satwa dalam penangkaran bakal kehilangan ‘makna hidup’ dan ‘martabat’ karena hilang kontak dengan ekosistem di mana ia berevolusi.

“Dia pejuang anti penangkaran. Super keukeuh,” sebut Payne.

 

Badak sumatera yang berada di Sumatran Rhino Sanctuary, Lampung, Indonesia, terlihat bermain di kubangan lumpur. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Ada juga perdebatan, apakah penangkaran harus dibatasi buat Malaysia dan Indonesia, dua negara yang masih memiliki badak sumatera yang tinggal di alam liar. Juga muncul perdebatan apakah kebun binatang AS dan Inggris juga punya hak partisipasi dalam program ini. Menjaga spesies ini tetap ada tentu saja menjadi kunci argumen, yang disisipi pula dengan kebanggaan nasional.

Alasan penting untuk mengirimkan badak ke kebun binatang di Amerika atau Eropa, -meminjam istilah Foose, adalah karena mereka punya pengalaman merawat spesies badak lain, memiliki keahlian dalam manajemen penangkaran, serta telah mumpuni dengan penelitian canggih seperti “inseminasi buatan, transfer embrio, dan kriopreservasi.”

Kebun binatang yang tertarik dalam program ini, didalamnya termasuk yang dianggap yang terbaik di dunia, seperti San Diego Zoo, Cincinnati Zoo hingga Kebun Binatang Bronx. Membawa badak sumatera ke AS pun bakal menguntungkan, karena turut memberikan “pengakuan dan dukungan yang lebih luas untuk spesies ini,” kata Foose.

 

Grafik ini menunjukkan lokasi badak liar ditangkap, di cincin bagian dalam bagan. Lingkar luar menunjukkan lokasi badak dalam program saat ini atau pada saat kematian mereka. Bagan: Willie Shubert/Mongabay.

 

Berdasaran risalah rapat, pada satu momen Warren D. Thomas, Direktur Kebun Binatang Los Angeles menguraikan alasan dan kenyataan mengapa kepentingan kebun binatang perlu dipertimbangkan.

Ia mengungkap besarnya dana untuk program penangkaran, ini bisa didukung oleh pihak pengelola kebun binatang. Tentu saja pihak kebun binatang berharap investasi mereka kembali, termasuk opsi memiliki badak sumatera yang bakal dipelihara di tempat mereka.

Kebun-kebun binatang memang banyak terlibat, tak hanya turut berkontribusi membayar untuk operasi penangkapan dan transportasinya, tetapi juga untuk mensponsori berbagai upaya konservasi yang di masa depan bakal meningkat.

Sebagian dari mereka telah mencapai kesepakatan. Seperti antara pihak AZA dan pihak pemerintah Sabah, serta Kebun Binatang Howletts dengan pihak Indonesia. Didalamnya mencakup kerja sama bantuan teknis dan keuangan.

“Tak banyak debat yang terjadi,” jelas Nardelli dari Sumatran Rhino Project. “Perwakilan pemerintah Indonesia dan Sabah sudah sepakat buat melanjutkan proyek penangkaran.”

Selama pertemuan, Aspinall mengangkat cerita tentang spesies kouprey (sejenis sapi hutan endemik Asia Tenggara, Bos sauveli). Dia bilang sudah banyak konferensi dibuat dengan topik tentang sapi hutan itu, tapi aksinya nol.

“Sekarang kouprey tersisa tinggal 10-20, cuma mukjizat yang bisa menyelamatkan [agar ia tak punah],” sebutnya.

Dia bicara di waktu yang tepat. Kouprey terakhir terlihat terjadi tahun 1983, setahun sebelum pertemuan badak. Sekarang spesies ini diindikasikan telah punah. Selama pertemuan, para peserta tampak menyimak inti pernyataan Aspinall. Bisa saja mereka tak setuju, tapi tidak bisa apa-apa kalau mereka tak punya tindakan apapun.

“Sebenarnya, ini sebuah argumen diskusi yang amat bagus,” kata Payne.

 

Jeram, yang diikat pada pohon kelapa sawit, adalah badak sumatera pertama yang dibawa ke penangkaran sejak awal 1960-an. Dia ditemukan di sebuah perkebunan kelapa sawit di Semenanjung Malaysia pada 1984, dan hampir diserahkan kepada pemburu, beruntung ia berhasil diselamatkan. Foto: Mohammed Khan bin Momin Khan.

 

Pada akhirnya persetujuan diperoleh, semua pihak baik dalam maupun luar negeri sepakat melakukan penangkaran badak sumatera. Alasannya spesies ini telah dinyatakan “tidak punya harapan untuk bertahan hidup di alam liar”, khususnya karena hutan tempat tinggal mereka banyak yang telah dialokasikan sebagai lokasi penebangan kayu.

Pilihan pertemuan dua hari ini akan berdampak besar pada kesuksesan program jangka panjang.

Pertemuan ini bersepakat untuk tidak mencampurkan tiga subspesies badak sumatera yang diketahui, hingga para ahli taksonomi menemukan perbedaan yang ada di antara mereka. Keputusan ini juga berdampak panjang, hingga saat ini pun subspesies badak sumatera tak pernah bercampur. Meski sekarang para ilmuwan menyebut hal itu harus dilakukan jika memungkinkan.

Pertemuan juga setuju membentuk organisasi baru untuk mengawasi upaya dan koordinasi antara berbagai negara dan lembaga. Hasilnya terbentuklah lembaga bernama Sumatran Rhino Trust, -lembaga yang pada akhirnya tutup tahun 1993.

Pertemuan bersejarah dua hari itu akhirnya keluar dengan konsensus. Semua hal pun sudah diputuskan.

 

Setelah penangkapannya di Semenanjung Malaysia, Jeram hidup 18 tahun di penangkaran di Malacca Zoo. Jeram mati karena usia tua. Foto: Mohammed Khan bin Momin Khan.

 

***

Bersamaan dengan pertemuan di Singapura itu, di sisi lain pihak Malaysia sudah memiliki seekor badak di penangkaran, pertama yang tertangkap dalam seperempat abad di semenanjung. Para konservasionis setempat pun amat yakin bisa menangkap lebih banyak badak dan membiakkan mereka.

Tetapi siapa yang bakal mengira semuanya ternyata jauh lebih rumit dari yang diduga. Hanya dalam 10 tahun, setelah hasil kesepakatan pertemuan di Singapura semua berakhir dengan tragis.

 

[Diadaptasi dan diterjemahkan dalam bahasa populer oleh Ridzki R Sigit. Sumber tulisan asli di Mongabay.com dapat dijumpai pada tautan ini]

 

 

Exit mobile version