Mongabay.co.id

Ribuan Pohon Durian Terancam Proyek Bendungan Bener (Bagian 2)

Teguh, warga Desa Guntur memeluk pohon durian berusia ratusan tahun. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Kasmini, warga Dukuh Krajan, Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, menghitung peluang rezeki dari menjual gadung. Dia tengah menjemur potongan umbi, saat saya temui Rabu, 25 Juli lalu. Dengan pengolahan tepat, umbi gadung bisa jadi makanan ringan dan enak.

“Kalau sudah kering perkg Rp25.000. Ini ada sekitar 10 kg, semua Rp250.000. Lumayannnn,” katanya.

Dia menyebutkan, kata lumayan agak panjang, seperti meyakinkan bahwa uang sebesar itu amatlah berarti.

Baca juga: Warga Wadas Tolak Pengerukan Bukit untuk Proyek Bendungan Bener

Kasmini, satu dari ratusan warga Wadas penolak tanah dikeruk untuk proyek bendungan. Kebanyakan petani seperti Kasmini, sehari-hari panen gadung, kimpul, ketela, kencur, menyadap karet, dan nira. Biasa mereka ke ladang dua kali sehari. Sore memotong bambu atau kayu.

“Kalau ditambang bakal tak punya apa-apa, tak punya penghasilan. Semua ada di sini,” katanya.

Kasmini pandai merinci hasil apa saja dari bukit yang bisa menghidupi keluarganya. Letak bukit hanya beberapa meter di belakang rumah.

Bambu ukuran sedang perbatang Rp7.000, ukuran kecil seperti piranti umbul-umbul pada HUT Kemerdekaan Rp2.500. Bambu juga jadi material dasar pembuatan besek dan perkakas dapur.

Ada lagi kemukus, tanaman rempah ini banyak merambat di pohon-pohon yang mencengkeram tanah perbukitan. Sekilogram kini Rp60.000, vanili basah Rp450.000 perkg. Gula Jawa Rp17.000, dan kelapa per butir Rp1.000. Semua dari tanah Perbukitan Wadas.

Baca juga: Jaga Lahan Tani, Warga Wadas Tolak Penambangan Batu (Bagian 1)

Durian juga hasil utama perkebunan Wadas. Durian Wadas terjual hingga kota-kota sekitar Purworejo seperti Kebumen dan Yogyakarta. Belum ada data pasti berapa pohon durian di desa itu. Seorang perangkat desa ketika ditemui terpisah menyebut ada ribuan.

Kalau panen per lima hari bisa Rp800.000 per orang. Pagi bisa sampai tiga kali mikul. Satu kerangjang bisa 25 durian.

“Pohon durian banyak sekali. Besar-sesar, batang pohon dirangkul tak cukup. Agustus berbunga, Desember nanti panen durian. Sehari ada bisa hasilkan dua colt. Kalau jadi ditambang nanti bagaimana? Maka kalau dipaksa-paksa (menjual tanah) warga marah,” kata Kasmini.

 

Kasmini, warga Wadas menolak tanahnya dikeruk untuk tambang batu pembangunan Bendungan Bener. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Warga terima dan sadar konsekuensi?

Berbeda dengan Desa Guntur, warga banyak menerima lahan tani mereka untuk bendungan. Agus Mulyadi, Kepala Desa Guntur mengatakan, tak ada rumah terkena proyek bendungan. “Hanya ladang,” katanya, di Kantor Kades Guntur, Kamis, 26 Juli.

Dia bilang, ladang itu biasa ditanami pohon tahunan seperti akasia, mahoni, maupun tanaman musiman seperti kencur, empon-empon, tanaman merambat seperti kemukus maupun pisang.

Cukup banyak warga terkena proyek Bendungan Bener. Pemilik lahan terdampak di Guntur, katanya, ada 800-an orang. Kepada mereka sudah sosialisasi dua kali. Sosialisasi bendungan dari BBWS, uji publik analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), termasuk pengecekan nama-nama pemilik lahan. Proses amdal sejak 2014.

“Respon warga di Guntur, alhamdulillah antusias. Mereka menerima dan mendukung pembangunan. Mereka juga punya permintaan, kalau dibangun bisa bermanfaat buat mereka juga.”

“Mereka punya pandangan, lemahku wis tak serahke, ke depan mereka yang kehilangan lahan bisa ikut menikmati hasil.”

Agus bilang, belum ada arahan pengganti kerjaan warga.“Baru mengikuti (perkembangan), belum memberi pengarahan khusus. Sampeyan nanti karena lahan sudah jadi bendungan ayo ke mana. Ini belum.”

Meskipun begitu, katanya, dia sudah sampaikan ke warga kemungkinan harus ubah kerja karena lahan jadi bendungan.

“Sudah kita sosialisasikan, kemungkinan beralih profesi sangat besar. Dengan uang pembebasan, nanti mau ganti usaha atau beli lahan bercocok tanam,” katanya mengulang kalimat yang disampaikan ke warga. “Warga ingin ganti uang dibanding ganti lahan.”

Agus menilai, warga bisa menerima kehadiran bendungan karena selama ini terjalin komunikasi baik antara pemerintah desa dan warga. Jadi, katanya, lebih mudah memberi pemahaman kepada mereka.

“Di sini kita membuat kelompok, paguyuban. Semuanya ada 7 paguyuban. Kalau ada informasi terkait bendungan komunikasinya ke mereka.”

Jalan itu dipilih karena tidak mudah mengumpulkan warga terdampak sebanyak 800-an orang dalam tempat dan waktu yang bersamaan.

“Kita berikan mereka wewenang untuk memilih sendiri masuk ke paguyuban mana. Jadi tidak dibagi perdusun.”

Menurut Agus, salah satu kemudahan menyosialisasikan proyek bendungan karena ada mitos yang dipercaya masyarakat di sana.

“Awal menjabat kepala desa saya tak tahu kalau bakal ada proyek bendungan. Malah ada warga cerita kalau dulu leluhurnya mengatakan suk mben ing rejo-rejoning zaman, kali iki bakal dibendung (kelak di zaman kemakmuran, sungai ini akan dibendung).”

Mereka yang punya tanah dekat Sungai Bogowonto, katanya, dengan cerita semacam itu sudah siap. “Jauh hari sudah tahu. Saya jadi tahu juga dari mereka.”

Kepada warga, katanya, pemerintah desa menyampaikan bendungan adalah program pemerintah pusat yang kebetulan berlokasi di Guntur. Kebetulan pula, katanya, kena lahan warga.

“Mulai dari situ masyarakat jadi kondusif. Kalau ada soal-soal kecil langsung dibicarakan bersama.”

Termasuk makelar tanah yang mulai gentayangan menanyakan tanah dijual di bakal bendungan. Dia kerap mencontohkan kasus pembangunan New Yogyakarta International Airport yang juga mengundang para spekulan.

“Banyak makelar tanah mendekati pemilik tanah. Saya instruksikan sebelum ada kepastian jangan ada transaksi tanah. Kecuali hanya melimpahkan tanah ke ahli waris karena orang tua meninggal. Mereka sepakat.”

 

Salah satu kios durian di Jalan Salaman, Purworejo. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

* * * *

Teguh, warga Kalipancer, Guntur, Bener menawarkan diri mengantar menuju lokasi pembangunan bendungan. Dia bilang sudah beberapa kali mengantar tamu yang ingin melihat lokasi itu. Kali terakhir, dia mengantar rombongan dari pabrik semen.

Saya mengiyakan setelah perjalanan melihat lokasi sebelumnya seorang diri gagal gara-gara jalan setapak bercabang cukup banyak. Selain itu, harus melewat jalan lumayan curam. Saya teringat omongan Agus, Kepala Desa Guntur, saat saya coba mengajak ke lokasi bendungan.

“Lokasi jauh, ekstrem. Di lereng-lereng. Jarak dari sini ke sana sekitar tiga km.”

Akhirnya, saya membuktikan sendiri jalan menuju lokasi bakal bendungan memang ekstrem dan cukup berbahaya bagi yang belum terbiasa dengan jalanan curam. Sebagian jalan masih bisa dilewati dengan sepeda motor dengan ekstra hati-hati., lebih banyak harus jalan kaki.

Kami tiba di batu cukup besar. Memandang ke bawah ada kelokan Sungai Bogowonto. Ada dua buah bukit mengapit sungai itu.

“Jarak dari sini ke lokasi masih 400 meter. Ini tempat terbaik melihat bakal Bendungan Bener,” kata Teguh.

Agus bilang, posisi tapak bendungan di cekungan. Sebelah kanan dan kiri ada bukit dan lembah. Bendungan bakal membendung sungai tepat di bukit yang masuk Desa Guntur. Sebelah barat masuk Dusun Kaliangkup. Sisi Timur, ada Dusun Kaliancer.

“Yang terkena mungkin hanya seperempat dari total wilayah Guntur. Mayoritas di dua dusun itu,” kata Agus.

“Sebelah kanan sungai ada pohon durian besar,” kata Teguh, sambil menandai titik pohon itu. Ukuran besar karena pohon lebih sepelukan orang dewasa. “Usia mungkin sudah ratusan tahun.”

Tak mudah membayangkan pohon durian ratusan tahun itu kemungkinan besar harus ditebang karena proyek bendungan tepat di lahan tempatnya tumbuh.

Teguh bilang, pohon durian di desa itu cukup banyak. Gara-gara bendungan itu sebagian pemilik lahan sudah menebanginya. Tindakan penebangan, katanya, mengantisipasi harga ganti rugi pohon yang rendah. Pemilik lahan memilih menebang pohon besar dan kayu dijual.

Jalan Salaman-Purworejo dikenal sebagai “jalur durian.” Pada musim durian, terutama di sebelah kiri jalan dari arah Salaman menuju Purworejo, siapapun akan mudah menemukan deretan kios penjaja durian. Kawasan itu identik dengan durian, selain kerajinan bambu untuk mebel, dan bibit buah-buahan.

“Buah durian di sini pasti matang karena jatuh dari pohon,” kata Teguh.

Dengan pohon besar-besar itu tak mudah kalau harus mengikat durian dengan tali. Tindakan ini biasa ditempuh pemilik pohon agar durian tak hilang saat matang, terutama dari pohon yang berukuran pendek hasil okulasi. Karena mudah dipetik, banyak sudah mengunduh meski belum masak benar.

Teguh bilang, pemilik pohon akan mendatangi kebun pada pagi dan sore hari untuk mengambil durian masak jatuh.

Di Wadas, cerita sama juga saya dapatkan dari warga. Saat ini, durian mulai berbunga. Pada Desember, puncak musim durian. Kembali pinggir jalan Jalur Salaman-Purworejo bakal dipenuhi penjaja durian. Senyum para pemilik pohon durian di Wadas pun kembali mengembang.

Bagaimana nasib pohon durian dari desa-desa ini kalau ada bendungan? (Bersambung)

 

 

Keterangan foto utama:    Teguh, warga Desa Guntur memeluk pohon durian berusia ratusan tahun. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Agus Mulyadi, Kades Guntur memperlihatkanpeta lokasi Bendungan Bener. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version