Mongabay.co.id

Waduk Jatigede yang Kini Tidak Basah Lagi

 

Terik mentari begitu menyengat di awal September. Keringat bercucuran di tubuh Ade (47) yang susah payah mengumpulkan batu bata. Bahan baku material rumah itu diambilnya dari puing-puing bangunan rumah yang muncul kembali akibat debit air di Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, surut.

Dua tahun lalu, Ade dan ribuan eks warga di 28 desa yang masuk di 4 kecamatan, harus pergi atas nama pembangunan. Ade terpaksa meninggalkan rumah dan sawah garapannya di Desa Cipaku karena masuk zona genangan waduk yang diresmikan pada 2015 lalu. Empat kecamatan ini adalah Jatigede, Jatinunggal, Wado, dan Darmajaya.

Uang santunan Rp29 juta yang ia terima nyatanya tidak cukup untuk membangun tempat tinggalnya yang baru. Bapak tiga anak ini, terpaksa berutang jutaan Rupiah ke saudaranya. ”Jangankan rumah, untuk beli tanah juga tidak cukup,” kata Ade yang hingga saat ini belum tuntas membangun rumahnya. Batu bata ini saya kumpulkan sembari menunggu tawaran pekerjaan,” ujarnya.

Tanpa lahan garapan, Ade tidak tahu haru berbuat apa. “Sekarang, pekerjaan saya hanyalah serabutan dengan hasil tidak menentu. Berbeda sekali ketika masih memiliki sawah meski tidak luas,” tuturnya.

Baca: Kisah Keringnya Wajah Warga Ketika Jatigede Basah

 

Kondisi Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang yang mengalami penurunan debit air akibat kemarau. Foto: Donny Iqbal/Mongabay

 

Kekhawatiran hidup juga menghinggapi Tatang (64). Warga eks Kampung Sadang, Desa Cipaku, Sumedang, ini terpaksa banting setir. Dari semula mengayuh cangkul, kini harus bisa melempar jala untuk mendapatkan penghasilan.

“Seumuran saya ini sulit menyesuaikan keadaan,” keluhnya.

Sebelumnya, dia memiliki sawah seluas 100 tumbak atau 140 meter persegi dengan produksi padi tiap panen sekitar 3-4 kwintal. Dari setiap panen, untung bersihnya sekitar 1,5- 2 juta Rupiah.

 

Tahun 2015 lalu, wilayah ini ditenggelamkan karena berada di wilayah genangan Waduk Jatigede. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mengandalkan pengasilan dari menangkap ikan sangat berat memang. Karena faktor usia, Tatang memilih mencari ikan di pinggiran dekat rumahnya saja, sekitar empat kilometer dari waduk. “Sekarang, saya jarang bawa uang ke rumah, seringnya ikan. Kalau dapat banyak, dijual Rp20 ribu per kilogram. Ya, tidak jelas penghasilannya, kadang ada tambahan dari orang yang butuh bantuan,” jelasnya.

Surutnya air di Waduk Jatigede dalam empat bulan terakhir, dipengaruhi berkurangnya pasokan air dari hulu Sungai Cimanuk di Kabupaten Garut akibat kemarau. Saat musim hujan, debit air yang mengalir ke waduk ini bisa mencapai 400-600 meter kubik per detik.

 

Bangunan ini muncul lagi ke permukaan setelah Waduk Jatigede mengering. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tampak seorang warga tengah mengumpulkan batu bata bekas bangunan rumah yang pada 2015 ditenggelamkan untuk kepentingan Waduk Jatigede, Sumedang. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Upaya pemulihan daerah aliran sungai (DAS) guna antisipasi kekering sudah diwacanakan sebelumnya. Pemerintah pusat mengalokasikan anggaran sekitar Rp 280 miliar tahun 2017 untuk konservasi hulu Sungai Citarum dan Sungai Cimanuk. Tetapi, belum diketahui perkembangan program tersebut.

Waduk Jatigede saat ini merupakan sumber irigasi lahan pertanian di Indramayu, Majalengka, dan Cirebon yang mencapai 90.000 hektar. Indramayu, misalnya, merupakan kabupaten penghasil beras terbesar di Indonesia dengan 1,7 juta ton gabah setahun.

Waduk Jatigede membentang di lahan seluas 4.983 hektar. Waduk terbesar kedua di Indonesia ini, setelah Jatiluhur di Purwakarta, dibangun untuk mampu menampung air sebanyak 980 juta meter kubik.

 

 

Warga yang tergusur rumahnya dari kawasan Waduk Jatigede ada yang beralih profesi sebagai pencari ikan yang awalnya bertani. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mencari ikan merupakan profesi yang bisa dilakukan warga yang tergusur rumahnya dari kawasan Waduk Jatigede. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Khawatir

Terkait pembangunan infrastrukur, saat ini ada sejumlah megaproyek nasional yang gencar dijalankan di Jawa Barat. Ada Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) dan Pelabuhan Patimban di Kabupaten Subang.

Proyek tersebut diyakini bisa menggenjot perkembangan industri nasional, namun di satu sisi dikhawatirkan akan menggusur lahan pertanian. Ketika BIJB beroperasi, akan dikembangkan pula kawasan Aerocity atau kota bandara seluas 3.480 hektar yang mencakup kawasan bisnis, energi, kedirgantaraan sampai pusat logistik yang dibangun bertahap.

“Andaikan pertanian digusur, saya harus garap apa? Saya kerja apa dan pindah kemana? Saya tidak ingin mengalami kejadian sebagaimana masyarakat di kawasan Jatigede,” ujar Amin (48), petani di Jatitujuh, Majalengka.

 

Begini penampakan permukiman warga yang dahulunya ditenggelamkan untuk Waduk Jatigede. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Penurunan debit air di Waduk Jatigede menyebabkan pemukiman warga yang dulunya ditenggelamkan muncul kembali ke permukaan. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Ketua Komisi II DPRD Jabar, Didi Surkandi ditemui di Bandung mengatakan, sewajarnya insfrakstruktur strategis segera dirampungkan. Menurutnya, hal ini penting sebagai langkah mewujudkan kepentingan publik yang lebih besar.

Didi tidak menampik, pembangunan infrastruktur sedikit banyak akan mengganggu lahan pertanian atau alih fungsi lahan. “Efisiensi dan efektivitas pembangunan harus mendorong ke arah lebih baik. Artinya, harus ada keseimbangan. Begitu pula pada sektor pertanian harus menerima keuntungan. Saya kira sosialisasi perlu banyak dilakukan sosialisasi untuk memimalisir masalah (bentrokan) di masyarakat,” tandasnya.

 

Waduk Jatigede membentang di lahan seluas 4.983 hektar dengan kapasitas 980 juta meter kubik. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version