Mongabay.co.id

Kado Hari Tani 2018: Presiden Tandatangani Perpres Reforma Agraria

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Kabar gembira datang di Hari Tani 2018. Presiden Joko Widodo, menandatangani Peraturan Presiden soal Reforma Agraria. Pengumuman kebijakan yang tertuang dalan Perpres Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria ini diperoleh Senin sore (24/9/18), pada acara Global Land Forum di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat.

”Saat ini masih proses pengundangan di Kementerian Hukum dan HAM,” kata Yanuar Nugroho, Deputi II Kepala Staf Presiden saat dihubungi Mongabay.

Kebijakan ini jadi kado buat warga terutama petani. ”Lahirnya perpres ini bukan perjuangan singkat, bukan setahun, dua tiga atau empat tahun. Bukan juga pengajuan pertama atau kedua kali dimohonkan dari era ke era pemerintahan . Perpres ini kado perjuangan semua orang dan pihak yang terlibat,” katanya.

Meski, belum dapat salinan resmi, Yanuar optimis melalui regulasi ini jadi jawaban dan terobosan percepatan reforma agraria dan perhutanan sosial dari pusat hingga daerah.

Percepatan reforma agraria ini juga turut didukung dengan paket kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial lain, yakni Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan dan Inpres 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Peizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit.

Moeldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) optimis percepatan reforma agraria bisa berjalan. ”Harus optimis (selesai target) di periode pertama. (harapannya komitmen ini) terus lanjut dan berjalan,” katanya.

Dia mengatakan, reforma agraria ini jadi agenda mewujudkan keadilan dalam penyelesaian ketimpangan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan lahan.

Moeldoko berharap, dengan Perpres Reforma Agraria, bisa mewujudkan keadilan dalam penguasaan tanah serta pemanfaatannya. Perpres ini, katanya, akan berfungsi sebagai landasan hukum atas kebijakan pemberian lahan.

Perpres ini, untuk mempercepat pencapaian reforma agraria yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) periode 2015-2019.

Dalam RPJMN, pemerintah menargetkan memberikan sertifikat tanah tujuh juta lembar sertiifkat pada 2018 naik jadi 9 juta lembar sertifikat tahun berikutnya.

“RPJMN menetapkan reforma agraria 9 juta hektar yang kita terjemahkan legalisasi aset 4,5 hektar dan redistribusi lahan 4,5 juta hektar,” katanya di pembukaan GLF.

Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian, dalam acara sama mengatakan, reforma agraria adalah kebijakan pemerataan.

Untuk mencapai hal itu, pilar kebijakan pemerataan terdiri atas tiga, yakni, lahan, kesempatan, dan kualitas sumber daya manusia.

Reforma agraria, katanya, diturunkan jadi tiga aksi. Pertama, menyoal legalisasi lahan, melalui pembagian akses lahan yang adil kepada seluruh masyarakat. Kedua, penetapan prioritas peneriman tanah obyek reforma agraria (tora) berdasarkan kebutuhan lahan. Ketiga, pengembangan usaha pertanian dengan metoda aglomerasi atau kluster.

“(Agar tercapai) semua memerlukan usaha luar biasa. Terkait lahan, payungnya, reforma agraria,” katanya.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, realisasi perhutanan sosial seluas 1.917.890,07 hektar terdiri dari 458.889 keluarga dan 4.786 SK izin atau hak. Rinciannya, 998.944,18 hektar melalui skema hutan desa, hutan kemasyarakatan (466.161,66 hektar), hutan tanaman rakyat (291.304,74 hektar). Lalu, kemitraan kehutanan 136.369,15 hektar dan hutan adat (25.110,34 hektar).

Untuk realisasi reforma agraria, tahun 2017 seluas 5 juta hektar lahan tersertifikasi, tahun ini target 7 juta hektar dan 2019 sampai 9 juta hektar.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengapresiasi penandatanganan Perpres Reforma Agraria setelah berproses lebih tiga tahun.

”Draf terakhir cukup memadai, sesuai tujuan, yang jadi perhatian, bagaimana memastikan perpres ini bisa bekerja dan bisa operasional,” katanya.

Dia berharap, aturan ini jadi panduan dan landasan kelembagaan pelaksana reforma agraria, mekanisme pelaksanaan, penetuan subyek dan obyek agraria serta tanah obyek reforma agraria.

”Ketepatan subyek dan obyek reforma agraria jadi titik krusial dalam pelaksanan.”

 

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko (ketiga kiri) bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution (ketiga kanan), Ketua National Organizing Committe Global Land Forum 2018 Dewi Kartika (kedua kiri), Director of the International Land Coalition (ILC) Michael Taylor (kiri), Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (kedua kanan) dan Wali Kota Bandung Oded M Danial (kanan) membunyikan angklung bersama saat pembukaan Global Land Forum di gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Senin (24/9). Kegiatan Global Land Forum yang di hadiri 84 perwakilan negara International Land Coalition ini akan membahas persoalan-persoalan agraria baik di tingkat lokal maupun global terutama ketimpangan penguasaan tanah. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

Selama ini, katanya, pelaksanaan reforma agraria dianggap tak memiliki terobosan hukum dan politik, terutama dalam penyelesaian masalah petanahan misal di perkebunan baik swasta maupun negara, tumpang tindih lahan dengan tambang dan lahan grapan atau desa di dalam kawasan hutan.

Perpres ini, katanya, diharapkan mampu menyasar penyelesaian konflik-konflik agraria dan kebuntuan yang ada selama ini. Dia contohkan, redistribusi lahan hak guna usaha terlantar, HGU masa berlaku habis dan bagaimana pelepasan kawasan hutan untuk objek reforma agraria.

Setelah aturan diundangkan Kementerian Hukum dan HAM, dia berharap pemerintah segera rapat koordinasi bersama lintas kementerian, lembaga sebagai penanggung jawab reforma afraria. Juga membuat langkah-langkah sebagai tahapan awal mengoperasionalkan regulasi ini.

“Perpres ini alat untuk bekerja semua kementerian dan lembaga terkait,” katanya.

Kalau sama dengan draf perpres yang pernah dia lihat, ada gugus tugas reforma agraria. Gugus tugas yang memiliki landasan hukum untuk bekerja dari tingkat pusat, provinsi hingga daerah ini penting, katanya, agar dapat bekerja lebih efektif dan serius.

Dalam draf Perpres Reforma Agraria yang diterima Mongabay, memuat prinsip terdiri atas prinsip kebangsaan, keadilan sosial, pengakuan hak masyarakat hukum adat, pemberdayaan masyarakat, pemerintah yang baik dan keberlanjutan ekologis.

Disebutkan juga reforma agraria ini bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam menciptakan keadilan, menangani dan menyelesaikan konflik agrarian, menciptakan sumber-sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat berbasis agrarian. Ia didapat melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi, meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan, serta memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan.

Adapun, ruang lingkup peraturan presiden pun meliputi mulai dari penyelenggaraan, penataan aset, penataan akses, penyelesaian konflik agrarian, kelembagaan reforma agraria, kewajiban dan larangan penerima tora, pengendalian dan pengawasan serta pelaporan dan peran serta masyarakat.

Mengenai kelembagaan, akan dibentuk di tingkat pusat dan daerah. Di pusat, akan ada Tim Reforma Agraria Nasional dengan Ketua Menko Bidang Perekonomian, anggota menteri/lembaga terkait, seperti Setkab, Menteri Dalam Negeri, Menteri ATR/BPN, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Pertanian, BUMN, Menteri Keuangan, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Juga Menteri Kelautan dan Perikanan, Kepala Perencanan Pembangunan Nasional, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, dan Menteri Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan.

Pada tingkat daerah, terdiri dari kelembagaan penyelenggara reforma agraria provinsi dan kabupaten/kota disebut Gugus Tugas Reforma Agraria provinsi maupun kabupaten/kota.

Untuk laporan penyelenggaraan reforma agraria termasuk hasil pengendalian dan pengawasan merupakan informasi publik hingga bisa diakses terbuka oleh masyarakat.

 

Iwan Nurdin dari KPA, menyerahkan lokasi prioritas reforma agraria kepada Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution pada acara GLG di Bandung. Foto: Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

 

Deklarasi Petani

Dalam acara GLF ini, para petani melakukan deklarasi petani Indonesia. Deklarasi itu,  hasil rumusan dari para petani tersebar di 15 provinsi di Indonesia. Para petani berasal dari 51 koalisi masayrakat sipil mendesak pemerintah melaksanakan reforma agraria sejati.

Dalam pelaksanaan reforma agraria, mereka mendesak pemerintah membentuk Badan Otoritas Reforma Agraria (Bora) dipimpin langsung presiden.

Pelibatan gerakan reforma agraria pun akan memastikan lokasi atau obyek dan subyek reforma agraria ini tepat sasaran. Dengan begitu, penyelesaian konflik agraria pun dapat dilaksanakan.

Mereka mendesak, pemerintah menyelesaikan konflik agraria baik di perkebunan swasta maupun perkebunan negara dan segera mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dirampas.

Khusus, sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir kelautan, pembangunan infrastruktur baik desa maupun perkotaan, mereka berharap, pemerintah sungguh-sungguh menghentikan kriminalisasi masyarakat memperjuangkan hak atas tanah.

“Menurut kami, kriminalisasi rakyat adalah cara sistematis agar perampasan tanah rakyat.”

Pemerintah, kata mereka, wajib melindungi proses produksi pertanian, harga hasil pertanian hingga menguntungkan dan mensejahterakan kaum tani.

 

 

Harus jelas

Moeldoko mengatakan, konflik agraria masih terjadi dan pemerintah berkomitmen menyelesaikannya. Sejak 2017, katanya, KSP membentuk tim percepatan agraria, untuk menampung permasalahan agraria dan mencari strategi terbaik.

Dengan GLF ini, katanya, bisa jadi forum global dalam momentum penyusunan stategi dan penyelesaian masalah agraria dalam khasanah akademik.

Pertemuan GLF tiga tahunan ini, memang diharapkan jadi terobosan penyelesaian masalah agraria di dunia. Indonesia terpilih karena ada komitmen dari Presiden Joko Widodo menjalankan reforma agraria. Harapannya, dapat mewujudkan ketimpangan penguasaan, pengunaan dan pemanfaatan lahan, serta meminimalkan konflik di masyarakat.

Pada pembukaan GLF ini, KPA menyerahkan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) kepada pemerintah melalui Darmin Nasution.

Dalam peta LPRA ini telah memetakan 444 lokasi baik non hutan dan hutan dengan luasan 654.392 hektar, mencakup 444.888 keluarga.

Pemetaan ini sudah berkonsolidasi melalui proses dari bawah sesuai subyek dan obyek berdasarkan nama dan alamat. Dari 444 lokasi itu, baru satu terealisasi, di Desa Mangkit, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara.

Sofyan Djalil mengatakan, akan verifikasi data ini. ”Kita (cek) pendekatan by name by address dengan pendekatan jelas,” katanya. Dia bilang, peta lokasi itu perlu verifikasi dari pejabat daerah.

Selain sertifikasi, katanya, komponen dalam reforma agraria adalah redistribusi HGU dan eks HGU terlantar untuk diambil negara dan bagikan kepada masyarakat.

Pelaksanaan ini, katanya, ada tantangan tersendiri. Dalam penetapan tanah terlantar, Warga  seringkali berhadapan dengan hukum.

Dewi bilang, reforma agraria mampu memperbaiki ketimpangan agraria yang tajam. KPA menganalisa, di Indonesia ada 56% petani gurem dengan laha kurang 0,25 hektar, sisanya tak berlahan atau buruh tani.

”Ini yang seharusnya jadi prioritas reforma agraria dalam agenda Jokowi.”

Menurut Darmin, ketimpangan kepemilikan lahan mempu membuka ketimpangan ekonomi dan memicu konflik sosial. Dengan reforma agraria ini, dia percaya mampu memberikan solusi mengatasi kesenjangan ekonomi.

Memang, katanya, dalam pelaksanaantak lepas dari tantangan. Dia harapkan, perlu penguatan komitmen pemerintah daerah begitu juga masyarakat sipil agar reforma agraria bisa berjalan.

Rukka Simbolingi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengakui, ada komitmen politik dalam pengakuan hutan adat, namun seringkali tersandera kebijakan hingga tak bisa langsung berjalan.

Masalah tumpang tindih lahan, katanya, masih menyandera pengakuan wilayah adat. ”Misal, dalam kebijakan clean and clear, ini jadi jebakan, karena tak mungkin dalam kawasan hutan, masyarakat akan [dijadikan] clean and clear,” katanya, seraya bilang perlu ada terobosan.

Meskipun begitu, Rukka mengapresiasi kinerja pemerintah dari realisasi 1,9 juta akses lahan bagi warga, dengan 25.110,34 hektar pengakuan hutan adat. ”Meski kecil, saya yakin ini akan terus bertambah.”

Mike Taylor, Direktur Internasional Land Coalition mengingatkan, dalam pelaksanaan ambisi target agenda reforma agraria pemerintah pasti menghadapi tantangan. ”Ini perjalanan panjang,” katanya.

Kesulitan mewujudkan reforma agraria, katanya, tak hanya dialami Indonesia, juga terjadi di Colombia, Filipina, Venezuela dan negara lain.

Mengurus reforma agraria ini, katanya, mencakup banyak hal, dari penyelesaian konflik, memberikan keadilan lahan, sampai kesejahteraan hidup warga.

GLF VI di Gedung Merdeka, Bandung yang berlangsung 24-27 September 2018 ini merupakan forum pertemuan internasional membahas persoalan-persoalan agraria tingkat lokal maupun global terutama menyoal ketimpangan penguasaan tanah.

Forum ini dihadiri sekitar 1.000 peserta dari 84 negara. Mereka datang dengan pandangan sama, yakni menanti pelaksanaan reforma agraria sebagai harapan bersama.

 

Keterangan foto utama:     Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Aksi warga/petani Kendeng didominasi perempuan di depan Istana Negara, Jakarta. Mereka menuntut kejelasan sikap pemerintah atas tambang-tambang di Pegunungan Kendeng, seperti PT Semen Indonesia, yang mengancam sumber air warga. Foto: Andreas Iswinarto

 

 

Exit mobile version