Mongabay.co.id

Satwa-satwa Prasejarah akan Bangkit Lagi, Begini Penjelasan Ilmuwan Rusia

 

Bayangkan!

Singa gua yang telah lama punah mungkin   muncul dari kuburan esnya. Makhluk ini akan berkeliaran di muka Bumi lagi bersama gajah berbulu (mammoth) dan kuda purba di kehidupan nyata. Mustahil? Tidak demikian, menurut para ilmuwan Rusia.

Dalam waktu kurang dari 10 tahun, diharapkan satwa besar menakutkan ini akan dilepaskan dari laboratorium bawah tanah di Rusia. Ini merupakan bagian dari rencana tak biasa untuk mengisi tempat terpencil di Rusia dengan hewan Zaman Es yang dikloning dari DNA yang diawetkan.

Penelitian dan percobaan untuk ‘menciptakan’ singa dan kuda prasejarah yang telah lama punah tersebut dilakukan di Yakutia, Siberia. Hewan ikon lain, yakni mammoth sedang diteliti   untuk dihidupkan kembali. Mammoth berbulu merupakan salah satu spesies awal gajah dan merupakan hewan yang sangat terkenal pada Zaman Es. Mammoth merupakan nenek moyang gajah, ukurannya tidak jauh berbeda dari gajah Afrika yang hidup saat ini.

 

Para ilmuwan akan menggunakan DNA yang ditemukan pada mammoth yang diawetkan dalam es di Siberia. Sumber foto: MICHIL YAKOVLEV/THE SIBERIAN TIMES via The Sun

 

Rusia juga akan  membangun sebuah fasilitas kloning senilai Rp86,7 miliar untuk menghidupkan kembali gajah dan badak berbulu raksasa serta hewan lain yang telah punah puluhan milenium lalu. Sebuah fasilitas yang mirip Jurassic Park itu disebut sebagai “pusat ilmiah paleo-genetik dunia” dan akan dibangun di kota terdingin di dunia, Yakutia, di bagian timur Rusia.

Ilmuwan yang terlibat dalam proyek besar ini mengatakan, pusat kloning dibangun untuk mempelajari hewan-hewan yang telah punah. Usaha ini dimulai dengan mempelajari DNA yang terkandung dalam fosil-fosil temuan mereka di permafrost (tanah beku) Siberia.

 

Mammoth ini telah diawetkan dalam keadaan beku untuk diteliti lebih lanjut. Sumber foto: SEMYON GRIGORYEV-THE SIBERIAN TIMES via The Sun

 

DNA hewan-hewan purba ini terawetkan secara alami dengan baik dalam fosil yang terbungkus tanah beku selama puluhan ribu tahun. Dr. Lena Grigorivena, ilmuwan dalam proyek ini mengatakan, DNA yang mereka miliki adalah sebuah bahan unik yang juga dapat digunakan untuk studi penyakit genetik langka, diagnosis, dan pencegahannya.

Di masa hidupnya, gajah berbulu hidup bersama manusia purba yang memburu mamalia ini untuk digunakan tulang dan taringnya sebagai perkakas, tempat berlindung, dan makanan. Akhirnya, mereka benar-benar punah pada akhir era Pleistocene, sekitar 10 ribu tahun lalu.

 

Mammoth berbulu ini terakhir menginjak Bumi sekitar 14.000 tahun silam. Sumber foto: THE SIBERIAN TIMES via The Sun

 

Para ilmuwan Rusia juga menjalin kerja sama dengan ahli genetika Universitas Harvard, Profesor George Church. Ia pun berencana memasukkan DNA mammoth yang ditemukan tersimpan sempurna 42 ribu tahun lalu ke embrio gajah Asia pada 2020.

“Kami telah menghidupkan kembali lusinan gen dan menguji mereka dalam sel gajah. Saat ini kami fokus pada gen mammoth dan membuat hibrida gajah mammoth untuk disebarkan ke iklim yang sangat liar di Arktik,” kata Church kepada The Sun.

Dengan menggunakan teknik rekayasa genetika yang disebut penyuntingan gen CRISPR-Cas9, tim ilmuwan dapat “memotong dan menempel” untaian DNA ke dalam sel induk gajah dengan presisi yang tidak terlihat sebelumnya hingga membuka jalan bagi embrio mammoth berbulu.

Jika rencanan ini berhasil, akan tercipta hibrida gajah mammoth baru. Setidaknya, proses ini membutuhkan waktu 22 bulan. Nantinya, spesies tersebut akan dilepasliarkan bebas di Siberia’s Pleistocene Park.

Namun apakah langkah menghidupkan kembali hewan punah perlu dilakukan?

 

Gambaran lokasi Pleistocene Park. Sumber: The Sun

 

Menurut sebuah riset yang dipublikasikan di jurnal Nature Ecology & Evolution pada 2017, rencana untuk membawa kembali spesies yang sudah punah dapat mengganggu spesies yang hidup sekarang.

Dalam riset tersebut, jika dana yang tersedia terbatas, maka usaha membawa kembali spesies yang sudah punah memiliki kemungkinan dapat menyebabkan kepunahan pada spesies lain yang ada sekarang.

Sebagai contoh, jika Selandia Baru menghidupkan kembali 11 spesies aslinya, maka pemerintahnya akan mengorbankan usaha perlindungan 33 spesies lain yang masih hidup. Jika, demi 11 spesies itu dihidupkan kembali.

“Akan ada yang menjadi korban,” ujar Joseph Bennett, profesor biologi di Carleton University sekaligus pemimpin riset ini, dilansir Live Science.

“Tanpa adanya peningkatan besar pada anggaran, maka yang terjadi adalah skenario maju satu langkah, mundur dua langkah,” tambahnya. [Berbagai sumber]

 

 

Exit mobile version