Mongabay.co.id

… dan Satu Demi Satu Badak-Badak itu pun Mati (Bagian 2)

 

Bagian pertama dari tulisan ini dapat dibaca pada tautan ini.

 

Sejarah tak pernah mencatat kapan untuk pertamakalinya manusia berjumpa dengan badak sumatera. Perkiraan terjadi antara 60.000-70.000 tahun silam, saat manusia pertama kalinya melintasi anak benua Asia yang sekarang dikenal sebagai bagian wilayah hutan India timur laut.

Rasanya, kedatangan manusia menjadi awal bencana buat badak sumatera. Imigran itu pastinya para pemburu mahir, ahlinya hidup di alam bebas, dan interaksi pertama dengan badak mungkin berakhir dengan daging badak yang diasap di atas api.

Hal itu bukan hanya sekadar spekulasi. Para Ilmuwan baru-baru ini berhasil menjumpai sisa-sisa tulang perburuan zaman Pleistosen yang ada di gua Niah dan Madia di Borneo. Sebuah studi juga mengungkap populasi badak sumatera berkurang selama era Pleistosen. Peneliti percaya hal itu bukan sekadar karena peristiwa perubahan iklim atau hilangnya habitat, tetapi akibat perburuan yang dilakukan oleh manusia.

Sulit untuk berkata tidak dan membuat pengingkaran, tapi jelas faktor manusia amat berpengaruh. Di akhir era Pleistosen, diperkirakan hanya sekitar 500 – 1.300 individu badak sumatera saja yang tersisa.

Sembilan ribu tahun kemudian, sekelompok kecil manusia melakukan sesuatu yang sangat berbeda dari leluhur mereka. Mereka mencoba menangkapi badak sumatera, -bukan untuk maksud memanggang mereka di atas api atau memotong cula mereka untuk iming-iming mitos obat kuat, tapi untuk membiakkan mereka di penangkaran.

Mereka bertujuan untuk memastikan kelangsungan hidup mamalia purba yang memisahkan diri dari spesies badak lainnya pada sekitar 25 juta tahun yang lalu.

“Badak sumatera itu sudah seperti fosil hidup. Tak banyak berubah sejak era Oligosen,” jelas Ed Maruska, Direktur Kebun Binatang Cincinnati periode 1984-1994.

Hilangnya badak sumatera, -spesies badak berbulu dan paling kecil di dunia ini, tak dapat dibandingkan dengan hilangnya spesies badak lainnya. Ia mewakili genus yang berbeda, berpisah secara evolusi dari semua spesies badak lainnya.

 

Badak sumatera betina ini berada di Suaka Rino Sumatera, Way Kambas, Lampung, Indonesia. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

Setelah Pertemuan 1984

Pada Oktober 1984 para pakar konservasi dan ahli badak sumatera berkumpul untuk membangun perjanjian kerja sama internasional yang amat berani. Mereka menyepakati dan menyandarkan upaya kelestarian badak sumatera lewat program penangkaran raksasa.

Berbagai tim di Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sumatera pun lalu dibentuk. Tugasnya menangkapi badak-badak “yang dikutuk”, sebuah istilah untuk badak-badak yang bakal lenyap sejalan hilangnya habitat mereka akibat ditebangi oleh manusia.

Selanjutnya, badak yang ditangkap akan dipasangkan, lokasinya berada di Indonesia, Malaysia, dua kebun binatang di Inggris dan empat di kebun binatang di AS. Juga disepakati bakal ada bantuan teknis dan pendanaan dari Inggris dan AS.

“Ada banyak optimisme dan harapan bahwa program penangkaran ini akan berhasil,” jelas Tom Foose, arsitek rencana itu dalam sebuah film dokumenter, program tayangan di Animal Planet yang berjudul The Last Rhino (2000).

“Kami [berpengalaman] membiakkan tiga jenis badak lain di penangkaran, tak ada alasan upaya serupa tak mencapai sukses untuk badak sumatera.”

Tapi, kenyataannya jauh lebih rumit.

 

Seekor badak yang ditangkap di Malaysia dikurung dan dimuat ke atas truk untuk diangkut. Dalam beberapa tahun setelah pertemuan tahun 1984, Malaysia memutuskan untuk tidak mengirim badak ke kebun binatang di AS atau Inggris. Foto: Mohammed Khan bin Momin Khan.

 

Pertama, dua kebun binatang yang awalnya menunjukkan minat, yaitu Kebun Binatang Miami dan Kebun Binatang Nasional Washington DC, mundur karena alasan biaya. Di tahun 1985 masalah lain muncul di Sabah. Pemenang pemilu memilih tak berkolaborasi dengan pihak asing.

“Menteri baru Sabah memutuskan, ‘Kami tidak perlu bekerja dengan orang asing, kami bisa selamatkan badak kami sendiri,’” jelas John Payne, yang saat itu bekerja untuk WWF-Malaysia program Sabah. Sekarang dia menjalankan Borneo Rhino Alliance (BORA).

Tuturnya, Departemen Kehutanan Sabah sebenarnya menyukai rencana yang dibuat. Namun saat terungkap rencana Sabah untuk mengirim beberapa pasang badak ke luar negeri, kebijakan ini diprotes oleh beberapa LSM lokal yang lalu menimbulkan kehebohan publik. Walhasil, pemerintah Sabah pun menarik diri dari perjanjian itu (red: sebagai bagian dari negara federal Malaysia, Sabah memiliki beberapa keistimewaan dan wewenang untuk membuat kebijakannya sendiri).

Kedua, Semenanjung Malaysia, yang saat itu sudah memiliki satu badak di Kebun Binatang Malaka. Mereka tidak menunjukkan minat untuk mengirim badaknya ke luar negeri. Saat itu, para ahli memperkirakan semenanjung Malaysia memiliki 50-121 badak, meskipun jumlahnya mungkin lebih sedikit.

“Saya mendukung mengirim badak kami ke luar negeri,” ungkap Mohammed Khan bin Momin Khan, yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Departemen Margasatwa dan Taman Nasional Malaysia. “[Tapi] masyarakat Malaysia dan pejabat di Departemen lain menentang.”

Keengganan para pihak di Sabah dan Semenanjung Malaysia berbagi badak berarti bahwa kebun binatang di Amerika dan Inggris hanya dapat bergantung pada satu populasi badak: Sumatera. John Aspinall, pemilik dua kebun binatang di Inggris, sudah membuat kesepakatan dengan pihak Indonesia. Setelah kehilangan akses ke Malaysia, pihak Sumatran Rhino Trust lembaga yang berbasis di AS, pun turut menandatangani perjanjian serupa.

Tapi siapa yang bakal mendapatkan badak pertama? Ada empat Kebun Binatang di Amerika, Kebun Binatang Cincinnati, Bronx, San Diego dan Los Angeles. Semua berharap akan mendapat badak sumatera.

“Warren Thomas [Direktur Kebun Binatang Los Angeles] telepon saya, dia marah saat mendengar kami dapat kiriman sepasang badak, sedangkan dia tidak,” ujar Maruska.

Badak pertama tiba di AS pada November 1984, ia menuju ke Cincinnati. Dari awalnya berharap mendapatkan 20-25 badak; akhirnya kebun binatang di AS hanya mendapat tujuh individu saja.

 

Grafik yang menggambarkan masa hidup badak sumatera yang berakhir di penangkaran di Malaysia, tempat tinggal terakhir mereka. Dari kelompok ini, satu-satunya badak yang melahirkan di penangkaran adalah Rima, yang sedang hamil ketika ditangkap. Tam dan Iman masih hidup, dan saat ini satu-satunya badak di penangkaran. Gfafik: Willie Shubert/Mongabay

 

Proyek Menangkap Badak

Meski rencana kerja sama internasional itu tampak rapuh, penangkapan badak tetap berlangsung. Khan dan timnya di Semenanjung Malaysia menangkap dua badak pada tahun 1985, dan dua ekor lagi di tahun 1986.

Di Riau, tim yang dipimpin Tony Parkinson, -pakar penangkapan mamalia, mulai menangkap badak pertama mereka pada tahun 1985. Badak jantan itu lalu diberi nama Torgamba, ia akan bertahan hidup selama 26 tahun di penangkaran. Torgamba pergi ke Inggris pada tahun 1986, sebelum pada akhirnya kembali ke Sumatera.

Parkinson dan timnya menangkap lima badak lagi di hutan belantara Sumatera di tahun berikutnya – meskipun ada pula yang mati selama penangkapan.

 

Kandang transport ini disiapkan untuk salah satu badak yang ditangkap di Semenanjung Malaysia. Foto: Mohammed Khan bin Momin Khan

 

Sabah jauh lebih lambat perihal penangkapan badak, sebagian karena persoalan politik. Badak pertama ditangkap pada Maret 1987 – tetapi akibat luka perangkap, ia mati di tempat kejadian.

“Kerjanya amat sembrono, tanpa modal keahlian,” ujar Payne tentang tim penangkap badak di Sabah. “Badaknya mati saat dalam jebakan. Saya kehilangan minat. Tak ada gunanya melanjutkan [program penangkapan].” Payne pun meninggalkan hiruk pikuk urusan badak, hingga dia balik lagi terlibat pada tahun 2007.

Di Sabah, badak kedua ditangkap hampir empat bulan kemudian – yang satu ini untungnya selamat.

Dari 40 tangkapan dari 1984-1995, tiga badak tewas karena cedera perangkap: dua di Sabah dan satu di Sumatera. Namun, badak-badak yang bertahan hidup saat penangkapan tidak berkembang baik di penangkaran. Saat makin banyak badak yang ditangkap, badak yang mati juga bertambah. Pada 1 Januari 1990, delapan dari 26 individu (30 persen) yang ditangkap mati.

 

Grafik ini menggambarkan rentang hidup badak liar yang ditangkap dan dibawa ke sejumlah lokasi penangkaran di Indonesia. Bina adalah satu-satunya yang selamat dari program penangkapai. Dia tinggal di Suaka Badak Sumatera di Way Kambas bersama dengan Rosa, Ratu dan dua anaknya, dan dua badak jantan yang dibesarkan di penangkaran di Kebun Binatang Cincinnati. Grafik: Willie Shubert/Mongabay

 

Badak Tangkapan: Mati dan Mati

Hasil penyelidikan penyebab kematian badak sumatera antara tahun 1984-1995 pun tersibak, diantaranya: stress dalam tekanan, kanker, hingga pakan buruk. Di alam liar usia hidup badak sumatera diperkirakan 35-40 tahun. Sedangkan rata-rata satwa yang ditangkap ke penangkaran mampu bertahan hidup kurang dari sembilan tahun.

Sekarang hanya ada satu badak tersisa dari periode ini, badak betina bernama Bina. Ia sekarang tinggal di Suaka Rino Sumatera (SRS) Way Kambas. Meski sudah 27 tahun sejak ia ditangkap para ahli masih terus berusaha untuk membiakkannya.

Pertanyaannya, mengapa banyak badak yang mati?

Beberapa pakar mencoba mencari tahu. Pertama, banyak badak yang sudah tua saat ditangkap, kedua populasinya tengah menghadapi kemerosotan genetik. Lebih parah lagi, kebun binatang salah memberi makan badak. Kebun binatang yang terbiasa merawat badak hitam dan badak putih asal Afrika, memberi mereka makan jerami. Mereka tak tahu apa pakan badak sumatera.

“Badak sumatera mereka perlakukan seperti jenis badak lain,” jelas Susie Ellis, Direktur International Rhino Foundation.

Penjaga memberi makan badak sumatera seolah-olah mereka adalah badak putih, spesies yang bahkan berbeda dalam genus.

“Badak sumatera di Kebun Binatang San Diego mati…. kena sindrom usus bengkok,” tutur Marsuka. “Hal serupa bakal terjadi, jika kuda kita beri makan gandum.”

Kebun binatang Cincinnati pun menghadapi persoalan serupa. Paul Reinhart, keeper di KB Cincinnati menyebut Mahatu, -badak sumatera mereka pertama yang tiba pada tahun 1989, hanya mampu bertahan selama tiga tahun setelah dia tiba.

“Kami tak tahu menahu tentang badak sumatera, tak ada seorang pun yang punya pengalaman,” tutur Reinhart. “Kami perlakukan ia sama seperti badak india atau badak hitam. Kami beri mereka makan alfalfa (red: sejenis legum) kualitas tinggi.”

Sebagai hewan hutan hujan tropis, badak sumatera bukanlah pemakan rumput (grazer), tetapi daun dan ranting utuh (browser). Mereka cenderung menarik vegetasi ke mulut, mengunyah, dan memakannya. Aktivitas yang biasa disebut browsing.

 

Grafik ini menggambarkan tanggal penangkapan, waktu dan tempat kematian badak sumatera yang ditangkap di Indonesia dan dibawa ke Amerika Serikat sebagai bagian dari upaya penangkaran. Ipuh (jantan) dan Emi (betina) adalah satu-satunya pasangan yang berhasil berkembang biak. Grafik: Willie Shubert/Mongabay.

 

Pada tahun 1991, Ipuh seekor badak jantan tiba di Kebun Binatang Cincinnati. Dia tampak lesu. Pihak kebun binatang lalu mulai menyadarinya ada yang salah. Mereka lalu mengumpulkan dahan dan ranting pohon ficus yang banyak tumbuh di sekitar kebun binatang.

Saat keeper menyemprot ranting-ranting tersebut agar tampak segar, Ipuh merespon. Dia berdiri dan datang menciumi cabang segar itu. “Butuh sekitar satu setengah tahun untuk benar-benar paham perilaku makannya,” aku Reinhart.

Masalah lainnya adalah penyakit. Badak sumatera – kemungkinan sebab faktor genetik, bermasalah dengan penyakit kanker, gangguan penglihatan, penyakit serapan besi (iron storage disease), parasit hingga beberapa kasus infeksi bakteri.

Dalam sebuah makalah 2013, Abdul Hamid Ahmad, John Payne dan Zainal Zahari Zainuddin menyebut beberapa kematian akibat penyakit seharusnya bisa dihindari. “Hal paling mengerikan [di fasilitas Malaysia] adalah sanitasi. Kandang tempat badak sumatera berada, tak memiliki standar protokol kebersihan dan tindakan biosekuriti. Ditambah tak ada pula veteriner yang berpengalaman,” tulis mereka.

Sebagai contoh, tentang fasilitas air yang baru diperbaiki, setelah terjadi kasus kematian dua badak. “Saya pikir banyak badak yang mati karena infeksi bakteri. Seharusnya diobati dengan antibiotik tetapi itu tak pernah dilakukan,” kata Payne.

Ada juga faktor kecelakaan. Seekor badak betina, bernama Melintang tak sengaja tercekik pagar di sebuah Kebun Binatang di Thailand, tak lama setelah ia diberikan pihak Malaysia sebagai hadiah. Badak lainnya, Tanjung, mati tertimpa dahan kayu. Bulud, nama badak lainnya, lari dari kandang dan tak pernah kembali, hanya empat bulan sejak ia ditangkap.

 

Ipuh tinggal di Kebun Binatang Cincinnati selama 22 tahun hingga kematiannya pada 2013. Awetan tubuhnya masih dipajang di Cincinnati. Foto: Kebun Binatang Cincinnati

 

Tragedi Sungai Dusun

Dunia akan mengingat, 18 hari terburuk bagi konservasi badak sumatera terjadi pada Oktober sampai November 2003. Lima badak, -empat betina dan satu jantan, ditemukan tewas di Pusat Badak Sumatera Malaysia di Sungai Dusun.

Setahun sebelumnya, Shah, seekor badak jantan tewas. Pada April, Rima seekor badak betina, ditemukan mati. Selanjutnya tanggal 28 Oktober, Seputin, seekor badak betina, lagi-lagi ditemukan tewas. Sebelas hari kemudian Ara, satu-satunya jantan tersisa, ditemukan mati. Keesokan harinya, Panjang, seekor betina lain mati. Dua betina terakhir, Minah dan Mas Merah, tewas pada minggu berikutnya.

Dengan kematian mereka habislah seluruh populasi badak di Semenanjung Malaysia. “Amat menyakitkan menyaksikan satwa-satwa yang luar biasa ini mati,” ujar Khan.

Apa yang sebenarnya terjadi? Tidak ada yang tahu pasti. Teori pertama menyebut satwa-satwa ini mati karena trypanosomiasis, sejenis parasit yang disebarkan lalat.

“Kami punya banyak bukti yang menunjukkan mereka mati karena trypanosomiasis,” kata Terri Roth, pakar badak dan kepala penelitian Kebun Binatang Cincinnati, dalam makalahnya yang ditulis setahun setelah tragedi terjadi.

Roth dan yang lainnya percaya kerbau ternak, yang sering berkubang dan menyeberang kanal di sebelah pusat penangkaran, adalah sumber penyebar lalat. Lalat menggigit kerbau, dan lalu menyebarkannya ke badak.

Teori lainnya menyebutkan badak-badak itu mati karena infeksi bakteri, seperti E.coli dan pneumonia. Menurut makalah Ahmad, Payne, dan Zainuddin, trypanosomes hanya menginfeksi hewan setelah sistem kekebalan tubuh mereka dilemahkan E. coli dan pneumonia. Diduga itu terjadi akibat manajemen yang buruk di fasilitas tersebut.

Jika tidak, mereka berpendapat, mengapa trypanosomiasis tak membunuh hewan-hewan ini 18 tahun sebelumnya?

“Kesimpulan bahwa tripanosoma adalah penyebab kematian di Sungai Dusun kami anggap tak beralasan. Itu hanya untuk menghindarkan fakta bahwa yang bersalah terhindar dari tanggung jawab pengelolaan kebersihan fasilitas yang buruk,” sebut mereka.

Secara resmi, penyebab kematian terjadi akibat trypanosomiasis.

“Saya mengunjungi Pusat Konservasi Badak Sumatera Sungai Dusun beberapa kali,” kata Roth. “Secara umum fasilitasnya bagus, badak tampak sehat, dirawat baik, kondisi tubuhnya juga baik.” Dia menambahkan bahwa para staf telah berupaya mengawinkan jantan dan betina, tetapi tanpa kelahiran yang sukses karena masalah kesuburan badak.

“Saya percaya Sungai Dusun menerima banyak kritik yang tidak patut karena akhir yang tragis,” tambah Roth. “Tentu, itu akhir tidak sempurna.” Setelah kehilangan semua badak, Sungai Dusun berubah menjadi pusat penangkaran tapir asia. Pada 2010, tujuh tapir mati karena E. coli dan pneumonia.

Apa pun, penyebab tragedi Sungai Dusun, ada satu pelajaran penting: menempatkan terlalu banyak hewan yang terancam punah di satu daerah amat berisiko.

“Itu sebabnya kami khawatir jika sesuatu seperti itu terjadi pula di Suaka Rino Sumatera Way Kambas, karena badak hidup amat berdekatan. Satu kena penyakit, yang lain bisa ketularan,” katanya.

Upaya konservasi di Malaysia pun mendapat tamparan keras.

“Tom [Foose] menyangka ada sabotase, dana bantuan [dari AS] pun ditarik,” kata Khan. “Kami bersusah payah untuk cari uang, sampai akhirnya 2010-2011 badak sumatera di alam liar di Malaysia dianggap sudah punah.”

 

Semua kecuali satu badak betina dikawinkan dengan jantan di Sungai Dusun, catatan Terri Roth yang mengunjungi fasilitas tersebut dan mengatakan bila badak-badak dirawat dengan baik. Foto: Terri Roth

 

Kemana Arah dari Semua Perubahan?

Di tahun 1995, situasi program penangkaran badak amat terlihat kelam. Dari empat puluh yang telah ditangkap – 12 dari semenanjung Malaysia, sepuluh dari Sabah, dan 18 dari Sumatera. Hampir separuhnya atau 19 ekor mati! Ini terjadi sebelum bencana di Sungai Dusun.

Memperburuk kegagalan ini, sebelas tahun setelah pertemuan 1984, tak ada bayi badak yang dilahirkan. Pada tahun 1993 lembaga Sumatran Rhino Trust pun bubar. Semuanya tampak bakal berakhir dengan pilu dan memalukan. Tak ada pula bayi badak yang dilahirkan.

 

Puntung, saat diperiksa dokter hewan Zainal Zainuddin tidak lama setelah dia ditangkap pada tahun 2011, dia dieutanasia pada 2017. Menderita kanker, puntung diperkirakan berusia sekitar 25 tahun ketika mati. Foto: BORA

 

“Bagaimana bakal bisa berjalan baik, jika sejak awal program ini hanya menangkapi badak yang sudah tua, dan tidak lagi layak reproduksi,” ungkapnya.

Banyak betina yang tertangkap memiliki masalah reproduksi, khususnya tumor rahim. Kemungkinan muncul karena betina tidak berhubungan seksual dengan badak jantan. Menurut Payne, di alam liarnya, badak sangat sulit menemukan pasangannya.

“Orang-orang sering beranggapan badak tahu di mana satu sama lain berada. Itu asumsi salah, mereka menjalani hidup mereka sendiri-sendiri, tanpa pernah bertemu dan berkembang biak.”

 

Sebuah jembatan dan peti digunakan untuk memindahkan badak sumatera yang ditangkap selama program penangkaran pada 1984. Foto: Francesco Nardelli

 

Seiring waktu, tumor semacam itu membuat betina benar-benar tidak subur. Sementara jantan sudah semakin menua, dengan jumlah sperma yang rendah.

“Program pemuliaan tidak akan berjalan sukses jika Anda tidak memiliki hewan yang dapat kawin dan berbiak,” sebut Ellis. Saat SRS Way Kambas dimulai tahun 1996, tak ada satupun badak yang lahir di penangkaran hingga tahun 2005. Hingga akhirnya Ratu, seekor badak betina yang ditangkap dari alam liar ditangkap.

Hal lain adalah ketimpangan jumlah betina dan jantan di fasilitas penangkaran.

Di penangkaran di Semenanjung Malaysia, ada sebelas individu dewasa, hanya ada dua yang jantan. Di Sabah kebalikannya, ada enam tetapi hanya dua betina – belum termasuk dua jantan yang tewas dalam perangkap.

Badak yang ditangkap di Sumatera adalah satu-satunya yang paling proporsional: tujuh jantan dan sepuluh betina (tidak termasuk satu yang terbunuh dalam perangkap).

 

Melintang ditangkap pada 1985 di Semenanjung Malaysia. Dia dikirim ke Thailand sebagai hadiah untuk sang raja. Dia mati kurang dari satu setengah tahun setelah ditangkap karena tercekik di kandang berpagar di Kebun Binatang Dusit. Foto: Mohammed Khan bin Momin Khan.

 

Ketimpangan diantara jenis kelamin ini diperburuk oleh keengganan untuk berbagi badak atau menggabungkan antar subspesies. Seandainya saja Sabah dan Semenanjung Malaysia dulu bersedia mencampur dua subspesies mereka yang berbeda, ceritanya mungkin berbeda, karena Sabah punya banyak jantan, dan Semenanjung lebih banyak betinanya.

Logikanya pun tampak aneh. Saat banyak pihak menawarkan bantuan, di tahun 1985 pemerintah Malaysia menolak mengirimkan badaknya ke Inggris atau AS, alih-alih malah mengirim satu individu betina sebagai hadiah kepada Raja Thailand. Setahun berselang, ia mati terjepit pagar Kebun Binatang Dusit.

Hal itu membuat peluang mengawinkan badak semakin sulit.

“Kami tak punya banyak pilihan. Jumlah badaknya sedikit, jika terdapat 25 individu misalnya, peluang suksesnya pasti lebih besar,” jelas Ed Marsuka, Direktur Kebun Binatang Cincinnati. Meski demikian, institusi ini menjadi yang pertama sukses melahirkan badak sumatera dalam penangkaran.

 

Erong, anak badak yang ditangkap di Sumatera dan diberi susu full cream oleh seorang ranger. Dia mati tak lama setelah itu. Foto: Mohammed Khan bin Momin Khan

 

Konyolnya pakan yang salah juga membuat satwa ini tak bertahan lama. Erong, seekor jantan muda, jadi sebuah contoh ekstrim.

“Ia diberi susu full cream oleh seorang ranger. Erong amat muda dan tak bisa mencerna susu. Saya percaya itu sebab kematiannya, ia mati di depan kami,” ungkap Khan mengenang peristiwa pilu tahun 1984 itu.

Hal itu tak mengejutkan, karena begitu sedikit yang diketahui tentang spesies ini. Situasinya diperparah oleh apa yang disebut Payne sebagai “ego” antar lembaga, termasuk keengganan berbagi informasi di antara mereka.

Di tengah-tengah bayangan kegagalan total upaya penangkaran, puncaknya adalah saat Alan Rabinowitz, seorang pelestari lingkungan yang amat dihormati, menulis paper “Helping a Species Go Extinct: the Sumatran Rhino in Borneo” pada tahun 1995. Dia, mengkritik pedas pendekatan penangkapan untuk tujuan penangkaran badak.

“Di Sabah, langkah paling mudah adalah tangkapi dulu badaknya, agar penebangan hutan bisa berjalan tanpa banyak kontroversi.”

 

Jembatan darurat ini digunakan untuk menangkap badak di daerah terpencil. Perlindungan habitat seharusnya dilakukan untuk penyelamatan badak sumatera. Foto: Francesco Nardelli

 

Rabinowitz membantah gagasan bahwa badak perlu sesegera mungkin ditangkap karena alasan keterancaman habitatnya. Sebaliknya dia bilang harusnya upaya pelestarian adalah melindungi habitat badak dari perburuan dan perusakan hutan.

“Kerja-kerja konservasi in-situ jadi terlihat kurang serius. Ini mendorong kebenaran ramalan yang menyebut populasi badak liar peluangnya rendah untuk bertahan hidup di alam liar.” Dia menggarisbawahi bahwa sebenarnya kita tidak pernah tahu secara tepat berapa banyak jumlah badak tersisa di alam liar.

Pada tahun 1995 itu pula, badak terakhir untuk program penangkaran ditangkap di Sabah. Namanya adalah Malbumi. Dia mati dalam waktu kurang dari 18 bulan. Sebabnya? Tidak pasti.

 

[Diadaptasi dan diterjemahkan dalam bahasa populer oleh Ridzki R Sigit. Sumber tulisan asli di Mongabay.com dapat dijumpai pada tautan ini].

 

 

Exit mobile version