Berburu dan meramu. Hidup bergantung pada hutan. Begitulah kehidupan Suku Tobelo Dalam. Sebagian peneliti menyebut mereka, sebagai penanda orang Tobelo, yang tinggal dalam hutan Halmahera dengan sebaran paling luas, di Halmahera bagian utara, barat, tengah, bahkan selatan.
Biasa orang menyebut mereka Suku Togutil. Penyebutan Togutil pada semua penghuni hutan Halmahera ini. Siapa dan dari mana asal-usul para penjelajah-penjaga hutan Halmahera ini?
Pada pertengahan Agustus 2018, selama 13 hari, saya mencoba menelusuri jejak kehidupan orang Tobelo. Mereka hidup nomaden di empat daratan Wasile Timur, Halmahera Timur, Maluku Utara. Tepatnya, di Desa Dodaga, Dusun Tukur-tukur, Dusun Titipa, dan Tutuling.
***
Pak Tulu, begitu biasa dia dipanggil. Lelaki usia senja itu berjalan kearah kebun. Dia menggendong parang, ciri khas orang Tobelo di pedalaman Halmahera. Langkahnya menuju pohon sagu yang tak jauh dari bivak tempat dia tinggal, di hutan, dekat Sungai Tutuling, Wasile Timur, Halmahera Timur, Maluku Utara.
Tulu menebas belukar untuk menjangkau sagu. Satu pelepah sagu ukuran dua depa, sudah dipotong dari pohon. Dia mulai mengukir.
“Sadiki lagi so jadi tarupa. Irahai. [Sebentar lagi, sudah jadi sandal. Bagus],” katanya, ditemui pertengahan Agustus lalu.
Proses pembuatan tarupa (sandal) dari pelepah sagu tak begitu lama. Tak sampai setengah jam, sepasang tarupa sudah jadi.
Pak Tulu mulai mencari ranting untuk jadi tali tarupa. Tak lama, sandal tradisional itu sudah dia kenakan.
Tarupa, katanya, sudah dipakai sejak dahulu kala. Seiring waktu, ia mulai ditinggalkan. Hanya sebagian orang masih memakainya.
Pak Tulu adalah salah satu dari beberapa orang Tobelo, yang tetap hidup di hutan. Ada juga Pak Mei dan Pariama. Mereka bertiga tinggal terpisah tak begitu jauh. Dari Pemukiman program pemerintah, kurang lebih empat kilometer sampai ke tempat mereka tinggal di hutan.
Dua bivak berukuran 2×3 meter. Satu bivak beratapkan daun pisang tanpa dinding, beralaskan papan, tempat Tulu tinggal. Satu lagi beratapkan rumbia, tempat anak-anak Tulu beristirahat jika tinggal di hutan beberapa hari. Pak Tulu hidup sendiri setelah isterinya meninggal beberapa tahun lalu. Kini, Tulu ditemani Julio, cucunya yang berhenti SD kelas empat.
Ketika malam dingin, Julio membuat perapian dari ranting kering. Dia meletakkan perapian, di bawah bivak untuk menghangatkan tubuh kakeknya. Paginya, Julio mencari udang dan ikan di sungai.
“Papa pernah turun di kampung. Diajak masuk gereja. Karna orang sering tertawa melihat bapak, jadi, dia (bapak) tidak senang,” kata Ani, ibunya Julio.
Pak Tulu juga tak nyaman hidup di rumah program pemerintah beratapkan seng, membuat dia kepanasan. Jika hujan, dia berisik. Ani bilang, bapak tak suka keributan, bahkan bertengkar dengan orang luar pun tidak.
Tiga hari sekali, Ani sering masuk hutan menjenguk ayahnya dan membuat sagu untuk dijual di kampung di Satuan Pemukiman (SP) 3. Ani membuat sagu dua jenis. Satu benar-benar dari pohon sagu (Metroxylon sagu rottb), Satu lagi sagu dari singkong (Manihot esculenta). Sagu jualan Ani, dibakar dalam bambu ukuran kecil untuk dapat aroma dan rasa khas.
Pak Pariama, lebih banyak diam. Tak ada senyuman, maupun menunjukan wajah marah. Beberapa hari, dia terlihat berburu, membawa parang dan tombak, pulang membawa ikan dan beberapa umbi-umbian. Tak mau berbicara dengan orang luar. Pariama hanya berbicara dengan Tulu dan Mei.
“Pak Pariama baru habis pasang jerat itu,” Kata Fraim, pemuda Tobelo asal Meti, Halmahera Utara, yang menikah dengan orang Tobelo O’Hongana Manyawa, yang saat itu menemani saya ke hutan.
Pak Mei berbadan lebih kekar. Ketika dikunjungi, pun tak banyak bicara. Dia lebih banyak senyum dan berisyarat. Jika bercerita dan setuju, Mei menggerakkan kening ke atas. Begitu saja. Maria, isteri Pak Mei, lebih banyak berkisah. Mereka menikah tahun 90-an, sudah ada rumah program pemerintah bagi mereka, namun, lebih memilih hidup di hutan. Anak-anak mereka tinggal di pemukiman itu.
“Suami saya tak senang tinggal di pemukiman, karena tidak suka keributan,” kata Maria. Orang Tobelo di sana hidup berdampingan dengan anjing.
Anjing adalah sahabat dekat yang menjaga mereka. Anjing selalu memberi isyarat jika ada bahaya binatang buas di hutan, bahkan menjaga mereka ketika tidur. Anjing Pak Mei pernah diracuni orang kampung, di pemukiman program pemerintah. Jadi, Maria dan Pak Mei memilih berjauhan dengan orang kampung saat itu.
Di program pemukiman di Tutuling, ada Ibu Magdalena Dedenge. Magdalena adalah nama babtis ketika memeluk Kristen.
Sebelumnya, Magdalena bernama Tegel. Sebelum memeluk agama dari luar, orang-orang Tobelo ini diberi nama atas peristiwa yang terjadi, atau sesuai kondisi mereka.
Magdalena, satu-satunya perempuan yang masih melantunkan salumbe, syair-syair berisi nasehat-nasehat dan peristiwa kehidupan juga cinta.
Sayangnya, anak-anak muda sudah tak lagi mempelajari salumbe yang sering dimainkan dngan tifa pelahan sesuai ritme. Dulu, kala acara pernikahan, salumbe selalu dimainkan Magdalena.
“Sekarang sudah jarang. Saya sudah tua,” katanya, kini tinggal di program pemukiman. Dia lebih banyak diurus anak-anaknya di usia tua.
Data Desa Tutuling Jaya 2017 tercatat ada 1.478 jiwa terdiri dari 772 laki-laki dan 707 perempuan dengan 445 keluarga. Mirisnya, dalam data itu, tidak tercatat Suku Tobelo. Bahkan sebutan Togutil, sekalipun.
Sketsa kehidupan orang Tobelo di Tutuling, tidak jauh berbeda dengan orang Tobelo di program pemukiman yang lain, di Dusun Tukur-Tukur dan Titipa. Daerah mereka tinggal, jauh dari pusat perekonomian dan sawah transmigrasi atau Satuan Pemukiman (SP) di sana. Sekira dua sampai tiga kilometer dari SP 6, untuk sampai ke pemukiman orang Tobelo di Tutuling.
Ke Dusun Tukur-tukur juga demikian, perjalanan dua sampai tiga kilometer dari SP 4, dengan akses jalan belum teraspal. Lebih jauh jika ke Dusun Titipa dari SP 3, menggunakan kendaraan roda-dua dengan jarak lebih 15 kilometer.
Tak tampak rumah adat khas Suku Tobelo di program pemukiman yang mereka tinggali. Rerata, rumah semi modern berukuran empat sampai enak meter, berdinding kayu dan beratapkan seng. Tahun ini, tiga wilayah yakni Tutuling, Tukur-tukur, dan Titipa dapat bantuan renovasi rumah.
Menurut warga, bantuan ini dari Dinas Sosial. Bantuan berupa bahan bangunan seperti seng, bata, dan pasir saja. Mereka membangun sendiri.
Di Dusun Titipa, ada 46 keluarga terdiri 132 orang. Tahun ini, delapan rumah dapat bantuan renovasi.
Yekon Penes, Kepala Dusun Titipa, mengatakan, sebenarnya bantuan renovasi rumah, untuk 22 rumah, namun syarat harus memiliki kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.
“Bantuan tak menentu, ada satu keluarga dapat 100 bata, ada hanya 80 bata, begitu juga seng. Hanya diberikan bahan, masyarakat mencari cara membangun rumah,” katanya.
Meskipun begitu, dalam momen politik, orang O’Hongana Manyawa yang belum punya KTP dan keartu keluarga diajak memilih. Mereka masuk daftar pemilihan.
Hampir semua masuk program pemukiman, di Tutuling, Dodaga, Tukur-tukur, dan Titipa, sudah berbaur dengan suku luar, bahkan Suku Sanger yang menikah dengan orang Tobelo.
Lambat laun, pola hidup sebagian Komunitas O’Hongana Manyawa, mulai beralih, dulu berburu meramu, kini mencari hasil hutan seperti damar, dijual Rp7000 perkilogram. Sebagian dipengaruhi orang desa untuk mencari kayu kelas satu, bahkan menjual burung.
“Dulu, warga di sini jual kakatua dan nuri. Ada jual Rp1.000 sampai Rp3000. Sekarang, sudah tidak lagi, karena dilarang,” kata Yekon.
Sumber pangan Orang Tobelo
Penuturan warga Tutuling, Dodaga, Tukur-tukur, dan Titipa, dulu, sumber pangan mereka disebut Dusun Raja atau Raki Ma’amoko dalam sebutan lokal Suku Tobelo, berada di tengah-tengah daerah transmigrasi terbagi jadi enam satuan pemukiman (SP). Sumber pangan orang Tobelo berada antara SP3 dan SP4.
Dimono (sebutan untuk tetua adat) Madiki Higinik, bilang, di Kali Meja itu ada dua Raki Ma’amoko, yakni sagu dan langsat “Di situ sumber sagu dan langsat. Semua bisa panen bersama,” kata Madiki.
Raki Ma’amoko adalah kebun besar dengan banyak sumber makanan warga O’Hongana Manyawa. Madiki bilang, sejak transmigrasi masuk, Dusun Raja berisi langsat tergusur untuk SP4.
Menurut Kasiang, Tetua Suku Tobelo di Dusun Tukur-tukur mengatakan, lokasi transmigran dulu hutan lebat. Dusun Raja langsat dan sagu adalah kebun makanan yang harus dirawat bersama-sama untuk jaminan hidup sampai anak-cucu.
Semua orang, katanya, bisa datang memanen langsat dan sagu. Mereka bergotong-royong menjaga kebersihan Dusun Raja itu.
“Orang dari Maba, Buli, bisa datang di Dusun Raja ambil sagu dan langsat.”
Dia bilang, pemilik Dusun Raja langsat adalah kakek almarhum Lopa-lopa. Saat penggusuran untuk membangun SP4, perusahaan yang mengerjakan proyek tak berkoordinasi dengan pemilik dusun.
Saat ini, di Kali Meja, hanya ada tiga keluarga marga Bidos. Mereka masih memanfaatkan sagu untuk sumber pangan sehari-hari.
Menurut cerita rakyat, dulu orang-orang Tobelo bergotong-royong membuat kebun komunal di Kali Meja. Ada yang berlayar dari Halmahera Utara di Teluk Kao, untuk membantu menanam sagu dan langsat.
“Jadi, kalau orang Tobelo dari Teluk Kao dan orang Dodaga ingin ambil sagu di sini, boleh. Orangtua mereka dulu membantu buat kebun ini,” kata Ikbal, pemuda di rumah panggung, Kali Meja.
Asal mula Dodaga
Arti nama “Dodaga” adalah “tongkat.” Tongkat bisa jadi lambang dari suatu keputusan bersama. Dalam hal ini, Dodaga dulu tempat persinggahan atau beristirahat bagi kelompok-kelompok yang menyebar dan melakukan perjalanan di hutan. Ia juga tempat berkumpul untuk bermusyawarah. Tempat ini, akan sepi kembali ketika musyawarah selesai.
Sebelumnya, masyarakat Dodaga, lebih banyak tinggal di sepanjang bantaran Kali Meja, sampai menembus kedalaman hutan. Perlahan, pemerintah mengajak mereka meninggalkan tempat lama dan membangun pemukiman baru. Sekitar enam kali pemerintah berupaya memindahkan orang Dodaga, agar bermukim.
Hingga 1967, beberapa keluarga kembali menempati pinggiran sungai karena ketergantungan hidup pada sungai. Tahun itu pernah banjir besar dan mereka pindah tempat lagi.
Pada 1997, pindak ke tempat diberi nama Nguhu Muku. Tak lama Nguhu Muku, berganti jadi Dodaga.
Dari Pemerintah Desa Dodaga menyebutkan, sebelum 1959 Desa Dodaga sangat luas, berupa hutan dan pegunungan di sebelah barat laut, bagian selatan Desa Subaim dan timur Desa Buli, serta sebelah utara Desa Foli.
Dodaga jadi desa defenitif pada 1947 dipimpin Kapita Lores Bira. Ketika masuk program transmigrasi, Desa Dodaga mekar jadi tiga SP yakni SP3, SP4, dan SP5. Pada 1984, pemerintah mendatangkan satu kelompok jadi SP6.
Pada 1989, SP jadi desa difinitif, SP3 jadi Desa Dakaino. SP4 Desa Akedaga, SP5 jadi Desa Toboino dan SP6 berubah jadi Desa Tutuling Jaya. Desa-desa ini sekarang jadi satu kecamatan Wasile.
Setelah Desa Dodaga, terbentuk, ada dua dusun lagi, yakni Rai Tukur-tukur dan Titipa (dulu Totodoku).
Terbentuknya Dodaga, Rai Tukur-tukur ini berawal dari program Departemen Sosial. Anehnya, program ini diberi nama Tuna Budaya, dimana warga Dodaga hanya jadi obyek semata.
Catatan Inkuiri Nasional Komnas HAM 2016, menyebutkan, mereka dianggap tak berbudaya, hingga perlu dibudayakan. “Diajarkan cara hidup yang katanya modern atau kehidupan “layak”. Atau juga, penyebutan tuna budaya ini seakan menganggap mereka cacat budaya,” bunyi catatan itu.
Sebelum masuk program pemindahan O’Hongana Manyawa dari hutan, Depsos mengambil salah satu komunitas dituakan biasa disebut Dimono jadi pengarah kepada yang lain.
Pada 1978, warga Togutil Dodaga dikeluarkan dari hutan, tetapi hanya tujuh keluarga ke pemukiman buatan Depsos. Di sana terbangun 52 rumah, dapat bantuan makanan, seperti kacang hijau, beras, gula, dan mie instan.
Orang Dodaga, baru keluar dari dalam hutan tak biasa tinggal di rumah bikinan pemerintah. Mereka merasa nyaman tinggal di hutan dari daun woka tanpa dinding.
Madiki, tetua kampung mengisahkan; awalnya Depsos bawa dia jadi pembina bagi O’Hongana Manyawa Dodaga lain. Madiki lalu dibawa ke Ambon (dulu ibukota provinsi), untuk dibina.
Madiki jadi orang penting karena dituakan oleh warga dan fasih berbahasa Tobelo hingga bisa berkomunikasi dengan banyak orang dari luar mereka. Dia dipersiapkan jadi pengarah agar O’Hongana Manyawa keluar dari hutan.
Madiki jadi pembina mulai 1978. Dia digaji dan mendapatkan bantuan satu karung beras, lima kg gula, satu dus mie instan, serta empat bungkus kopi waktu itu. Bahkan, gelar sebagai kepala suku disandang Madiki, yang diberikan petugas lapang pelaksana program Depsos.
“Waktu itu, saya masuk hutan berbulan-bulan cari mereka (O’Hingana Manyawa), saya kasih keluar dorang (mereka) itu juga ada tantangan besar karna kalo dorang waktu di hutan tu torang tidak bisa masuk sembarangan,” katanya.
Berbekal turunan dari O’Hongana Manyawa, dan menyebut nama-nama para tetua, Madiki didengar.
Kala itu, komunitas yang dimukimkan kena musibah muntaber. Karena penyakit diderita warga yang keluar hutan dan tinggal di rumah bikinan Depsos ini, menimbulkan kecurigaan warga Dodaga. Mereka merasa terancam, hingga 1979-1980 banyak kembali ke hutan melanjutkan cara hidup seperti sebelumnya.
Rumah Depsos yang kosong langsung dihuni warga lain pendatang dari Kao dan Tobelo. Program pemukiman ini ternyata tak bisa membuat orang Togutil, atau O’Hongana Manyawa hidup dalam cara-cara baru atau ‘modern’ itu. Hal-hal berbau ‘modern’ malah membuat mereka sulit beraktivitas dengan bebas.
Keterangan foto utama: Pak Tulu, sedang membuat tarupa, sandal dari batang sagu. Pak Tulu, satu dari beberapa orang yang masih bertahan tinggal di dalam hutan Halmahera, alias tak mau tinggal di rumah pemukiman buatan pemerintah. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia