Mongabay.co.id

Masyarakat Pendatang Cenderung Tidak Kenal Legenda Harimau Sumatera?

 

Berbeda dengan masyarakat lokal atau asli, para pendatang seperti transmigran yang telah menetap puluhan tahun di sekitar habitat harimau sumatera cenderung tidak kenal legenda satwa dilindungi tersebut. Mengapa?

“Kami tidak tahu legenda harimau sumatera. Hampir setiap warga di desa ini yang sebagian besar transmigran tidak paham legenda tersebut. Kami hanya mengerti jika harimau tidak diganggu, dia tidak akan mengusik manusia,” kata Suyono, Kepala Desa Perumpung Jaya, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, baru-baru ini.

Pengakuan yang sama dikatakan Sumadi (66), mantan Kepala Desa Madju Ria, Banyuasin, Sumatera Selatan. “Selama 32 tahun menetap, saya tidak pernah mendengar legenda harimau sumatera,” jelasnya.

Perumpung Jaya dan Madju Ria merupakan desa yang berbatasan dengan Sembilang, kawasan konservasi yang masuk Taman Nasional Berbak Sembilang, yang berada di Kabupaten Banyuasin dan Musi Banyuasin. Sebagian besar warganya pernah melihat atau menemukan jejak harimau sumatera, meskipun banyak yang tidak berani menyatakan.

Tetapi, jika terjadi konflik hingga merenggut nyawa manusia, baru sebagian warga mengaku pernah melihat. Terbaru, awal 2017, lima pencari daun nipah di Sembilang diserang harimau. Seorang tewas. Lokasi kejadian di perbatasan Perumpung Jaya dengan Sembilang.

 

Seorang warga memperlihatkan foto harimau sumatera yang terpantau di Nagan Raya, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Para pelajar sekolah dasar atau generasi ketiga transmigran, di Perumpung Jaya, sebagian besar juga tidak paham legenda harimau sumatera. “Tidak tahu. Pasti seram ceritanya,” kata seorang pelajar.

Ketidaktahuan legenda harimau sumatera di kalangan pendatang sekitar habitat harimau, mendapat tanggapan sejumlah pihak.“Hal tersebut dikarenakan pemerintah atau kementerian pelaksana program transmigran tidak memberikan penjelasan budaya lokal terkait ekologi. Termasuk, kearifan harimau sumatera,” kata Conie Sema, seniman dan pegiat Teater Potlot, Sabtu (22/9/2018).

Asep Adhikerana, senior konservasi biologi dari ZSL Indonesia, menilai hal ini dikarenakan para transmigran yang umumnya dari Jawa, tidak lagi mengenal legenda harimau. “Saat ikut transmigran, jangankan diberi pemahaman ekologi, soal lahan yang disediakan saja mereka tidak tahu. Ketika datang, ternyata gambut. Akibatnya, sebagian mereka balik lagi, yang bertahan adalah yang tidak punya biaya pulang atau ikut kerja perusahaan, atau kelompok pencari kayu,” lanjut Asep.

Padahal legenda atau cerita hubungan manusia dengan harimau sumatera, selain mengandung pesan moral, ada informasi bagaimana sikap manusia terhindar konflik. “Misalnya, jangan bicara tidak baik, jangan berbuat maksiat, dan jangan sombong. Sebaiknya, membawa obor atau menggunakan topeng wajah di belakang kepala jika masuk hutan, atau berkebun yang berhubungan dengan habitat harimau sumatera,” jelasnya.

 

Generasi ketiga di Desa Perumpung Jaya, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, tidak mengenal legenda harimau sumatera. Foto: Nopri Ismi

 

Persoalan budaya

Dr. Tarech Rasyid, akademisi dari UIN Raden Fatah dan Universitas IBA Palembang, menilai ada beberapa kondisi yang menyebabkanya hal tersebut terjadi. Pertama, perbedaan kultural antara pendatang dan penduduk asli. Para pendatang, seperti dari Jawa dibesarkan pada alam atau daerah yang hutannya bukan menjadi habitat satwa dilindungi seperti harimau dan gajah.

Selain itu, tidak ada legenda harimau pada generasi kekinian pada masyarakat Jawa. Ini berbeda dengan penduduk asli Sumatera yang masih kental dengan tradisi terkait hutan. “Ada tradisi ketika seseorang masuk hutan, harus membaca doa minta izin dengan puyang atau harimau sebagai penguasa rimba,” kata Tarech.

“Seharusnya, para pendatang belajar kearifan lokal masyarakat setempat sehingga mereka tidak mengalami konflik. Pemerintah selayaknya membangun pemahaman ini,” katanya.

Kedua, lembaga pendidikan sebagai agen kebudayaan sudah terasing dengan buku-buku yang menceritakan legenda harimau sumatera. Pada sisi lain, anak-anak atau pelajar lebih memahami dongeng satwa tertentu dari luar melalui berbagai media massa. Tak heran, banyak anak Indonesia begitu menyukai boneka panda. “Secara tidak sadar, dengan sikap tersebut lembaga pendidikan kita turut membuka pintu berlangsungnya invasi kultural,” katanya.

Ketiga, alienasi kultural. “Bisa jadi para pendatang atau transmigran adalah representasi manusia Indonesia yang mengalami keterasingan budaya,” kata Tarech.

Kenapa mengalami hal ini? “Tentu saja disebabkan ideologi kapitalistik yang mengeksplorasi sumber daya alam, khususnya hutan, demi target ekonomi. Tidak peduli kerusakan itu menyebabkan habisnya kekayaan flora dan fauna, termasuk pengetahuan lokal dan nilai-nilai budaya lain,” ujarnya.

Jadi, guna menjaga keberadaan harimau sumatera yang kian terancam, pemerintah maupun pihak-pihak yang peduli harus mendorong pemahaman budaya lokal terhadap para pendatang. “Bukan hanya terhadap transmigran, juga para pelaku usaha besar yang juga pendatang. Budaya lokal jelas menampakkan kearifan lingkungan, termasuk menjaga satwa dilindungi seperti harimau, gajah, badak, atau beruang,” jelas Tarech.

 

 

Exit mobile version