Mongabay.co.id

Hutan Harapan Masih Hadapi Beragam Ancaman

Ekowisata di Hutan Harapan. Menuju Puncak Manik di Hutan Harapan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Ketukan dini hari membangunkan saya. Rumah kayu berderit seiring langkah kaki terburu ke kamar mandi. Deru mesin mobil mulai terdengar di luar. Jejak kaki terseret menyapu rumput basah. Saya dan rombongan akan mengelilingi ekowisata di Hutan Harapan.

Kami akan  berburu pagi di Puncak Manik. Puncak manik, nama sebuah lokasi pemantauan yang berbentuk tree platform dalam Hutan Harapan. Perlu satu jam berkendara dari Base Camp dengan kendaraan 4WD (Four- Wheel Drive) untuk sampai di tepi hutan menuju tree platform Puncak Manik.

Berkali-kali mobil yang kami kendarai oleng ke kanan dan kiri, memasuki beberapa lubang bungkahan tanah berwarna merah bata. Udara pagi berbaur dengan debu, terkadang mengaburkan pandangan kendaraan yang kami tumpangi. Tak ada suara, semua penumpang larut dalam pikiran masing-masing. Kami melewati beberapa pohon besar di sepanjang jalan.

“Kita sudah sampai,” kata Roni, sopir yang mengantar kami.

Setiba kami di Puncak Manik, ada tiga personil tim pemandu ekowisata Hutan Harapan sudah mengulur beberapa puntal tali. Samsul, pemanjat utama sekaligus yang akan membantu kami sesampai di pohon. Pohon merpayang berdiameter sekitar satu meter dengan ketinggian 30 meter. Pohon ini yang akan kami panjat.

Kloter pertama tiga pemanjat sudah tiba di atas. Saya masih ragu untuk naik. Darah berdesir, apalagi ketika surat pernyataan harus diisi dan ditandatangani. Surat itu pernyataan bersedia bertanggung jawab atas keselamatan diri sendiri.

“Berapa kapasitas maksimal pengaman?” tanya saya pada Musadat, ketua rombong tim pemandu yang bertugas membantu proses pemanjatan.

“Ini standar kesemalatan Jerman punya. Satu tali bisa menahan kapasitas maksimal 200 kilogram, artinya dua tali ini masimal beban 400 kilogram,” katanya sembari menuangkan kopi.

Saya sedikit tenang setelah mendengarkan penjelasan Musadat. Kami semua berburu keindahan melihat matahari terbit di atas platform yang dibangun mendekati puncak pohon. Platform, terbuat dari baja beralas beberapa bilah kayu digunakan pemanjat beristirahat dan menikmati sensasi melukis hutan harapan dengan mata telanjang dari ketinggian.

Platform hanya dibatasi boleh berisi maksimal lima pemanjat. Satu per satu pemanjat turun. Saya pemanjat kelima. Kaki sedikit gemetar, semua tali dan sabuk harnes terpasang rapi. Saya mendekati pohon yang menjulang tegak lurus. Saya elus batangnya seolah memohon izin.

Di pertengahan sebelum tiba platform, saya sempat terhenti. “ Ini sudah ketinggian 12 meter.”

“Ayo, tinggal lima anak tangga lagi,” seru Irma dari atas platform menyemangati.

Saya langsung mempercepat langkah, tak peduli lagi rasa takut tujuannya hanya tiba di platform.

Kabut berjalan hilir mudik di antara sela-sela pohon yang tertutup rapat. Pemandangan ini adalah hadiah dari melawan rasa takut.

Samsul memperbaiki tali pengaman setiba sampai di platform. “Hati-hati jangan ke tepi!”

Sinar mentari malu-malu tampak di ufuk timur. Jejeran pohon dan sahut-menyahut siamang menambah syahdu alam ciptaan Tuhan ini.

Hutan Harapan adalah kawasan restorasi ekosistem di hutan produksi. PT Restorasi Ekosistem (Reki), memiliki izin usaha pemanfaatan total 98.555 hektar di Jambi dan Sumatera Selatan.

SK Menhut No. 293/Menhut-II/2007: 28 Agustus 2007 dengan masa izin 100 tahun, seluas 52.170 hektar di Sumatera Selatan, dan SK Menhut No. 327/Menhut-II/2010 dengan izin 60 tahun seluas 46.385 hektar di Jambi.

Sepuluh tahun sudah sejak izin pertama pengelolaan kawasan keluar. Pengalaman belajar mengurus hutan dengan berbagai tekanan, membuat Hutan Harapan nelangsa dari tahun ke tahun.

 

Jernang yang dipanen masyarakat adat batin sembilan dari kawasan Hutan Harapan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Konflik lahan dan perambahan

Adam Aziz, Head of Stakeholder Partenership Division mengatakan, perambahan dan konflik sosial jadi pekerjaan rumah harus dibenahi hingga kini.

Batas konsesi yang memiliki banyak pintu masuk juga jadi rawan perambahan. Tahun 2009, saat peralihan, sudah 13.988 hektar areal perambahan. Data terakhir 2016, sudah sampai 22.866 hektar.

”Untuk deforetasi, data kita dari tahun ke tahun fluktuatif dari 2010 hingga 2017. Tertinggi 2013, mencapai 3.555 hektar. Hingga Juni 2018 kami mencatat 200,32 hektar berdasarkan hasil ground check. Seluas 132,6 hektar belum ditanami dan 7,72 sudah sawit. Kalau deforestasi di zona lindung 11,3 hektar,” katanya.

Berbagai upaya menyelamatkan Hutan Harapan, mulai pencegahan, diplomasi, litigasi dan non litigasi.

Adam Aziz mengatakan, persoalan permabahan terjadi di Hutan Harapan, bukanlah berbicara petani yang tak memiliki lahan.”Ini bicara pemodal yang mengatasnamakan petani miskin, ada daftar pejabat malah juga turut investasi di sini,” katanya.

Adam dan tim patrol mengantongi beberapa nama pemodal termasuk lembaga yang mengorganisir. Dia menyebutkan, sudah memberikan semua data terkait permabahan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Adam tak mau terang-terangan membicarakan ini. “Ada anggota DPRD juga, ini perambahan massif dan terstruktur,”katanya.

Berkembangnya anggapan kalau kondisi sudah aman di areal garapan mempersulit upaya penyelesaian konflik lahan.

Jual beli lahan tinggi di areal Hutan Harapan. Wilayah timur (Sako Suban-Hulu Badak), ada rombong calo tanah dari luar Jambi. “Ada rencana pembukaan perkebunan sawit seluas 5.000 hektar dan pembangunan pesantren di Sako Suban. Kita sudah identifikasi pihak yang ingin melakukan,” katanya.

Dia bahkan menemukan SK menteri palsu Nomor: P.452/MENLHK/KUM.76/ KPTS/2018 berisi pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan pembukaan lahan transmigrasi baru untuk perkebunan sawit plasma di Kecamatan Batanghari Leko, Muba, seluas 5.000 hektar. Perusahaannya, PT Perkebunan Sriwijaya terindikasi berada di konsesi Reki.

 

 

Jalan tambang batubara masih mengintai

Rencana pembukaan jalan tambang di restorasi Reki sudah bergulir sejak 2013, sempat hilang dan menyeruak kembali tahun lalu. Lisman Sumardjani, Direktur Reki mengatakan, seharusnya pembukaan jalan dilihat dari sisi ekologis dan keberlanjutan ekosistem.

“Pada 2017, kita memperoleh tembusan surat rekomendasi dari Gubernur Sumsel. Sangat disayangkan, mengingat ada jalan lama masih kondisi baik dan tak melintasi kawasan,” katanya.

Rencana jalan tambang batubara, PT Triaryani (PT Golden Eagle Energy Tbk.) telah mendapatkan rekomendasi IPPKH Gubernur Sumsel tertanggal 26 Oktober 2017, dan berusaha mendapatkan rekomendasi Gubernur Jambi.

Izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk pertambangan dan pembangunan infrastruktur jalan pengangkutan khusus batubara akan melalui Reki sepanjang sekitar 32 kilometer.

“Kita tak bicara panjang jalan yang dibangun, ini akan membelah kawasan. Kita tahu akan makin terbuka akses ke kawasan, berarti meningkat perambahan. Juga ancaman flora dan fauna.”

Lisman mengatakan, dari awal rencana pembukaan jalan ini, Reki sudah keberatan dan mempertanyakan alasan dasar pembukaan jalan. “Jalan lama masih baik kok, ini maksud buat jalan baru lagi sebenarnya buat apa?”

Erizal, Kepala Dinas Kehutanan Jambi membenarkan sudah ada surat pengajuan rekomendasi ke Gubernur Jambi soal rencana pembukaan jalan tambang di areal Reki. “Dinas Kehutanan menindaklanjuti saja surat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang meminta rekomendasi dari gubernur. Sudah dilayangkan sekitar satu bulan lalu. Saya belum tahu apakah sudah ada surat rekomendasi gubernurnya,” katanya.

Dari beberapa arahan KLHK, antara lain harus ada belt conveyor, yang terbuat dari logam untuk mengangkut muatan dalam kapasitas besar. “Ini cukup berat saya pikir untuk realisasi rencana pembukaan jalan. Keputusan jalan nanti di KLHK, bukan di kami.”

 

 

Dana Hutan Harapan

Bukan hanya tree platform Puncak Manik, sebagai destinasi ekowisata yang ditawarkan Hutan Harapan. Dedaunan bambu kering berserak di tanah. Bunyi daun kering berpadu derap langkah rombongan tiba di salah satu destinasi wisata minat khusus di Sungai Bambu Hitam yang dikenal dengan istilah Yusuf Rimba.

Thea, Manajer Komunikasi Burung Indonesia mengeluarkan kamera saku. Dia berkeliling di bawah bambu nan rindang.

Yusuf Rimba, tempat cocok untuk pemantauan burung. Setidaknya, ada 307 jenis burung yang menggantungkan hidup di Hutan Harapan.

Joni Rizal, Manajer Komunikasi PT Reki mengatakan, pada musim kemarau, ada beragam jenis burung turun mandi, seperti srigunting bukit (Dicrusus remifer) , cucak kelabu (Pyconotus cyaniventris), enggang khilingan (Anorrhinus galeritus) dan kangkareng hitam ( Anthracoceros malayumus).

Musadat mengajak kami berkeliling dalam kawasan berupa jalan setapak sepanjang satu kilometer. Hutan sekunder tua yang dilalui cukup baik didominasi family Diterocarpacea dan beberapa jenis pohon yang dilindungi.

“Ini pohon apa, “ kata Thea, menunjuk pohon berukuran besar.

“Ini medang,” kata Musadat.

Ada beberapa pondok dari bambu. Musadat menjelaskan, kalau tempat itu lokasi berkemah. Ia mampu menampung maksimal 10 pengunjung. Berjejer lima meja berukuran sekitar 2×3 meter terbuat dari bambu.

Bambu ikon bagi tempat ini dan salah satu sumber pendapatan hasil hutan bukan kayu yang dikembangkan Reki.

Selama 10 tahun, Denmark menjadi penyumbang utama konsesi hutan harapan. Bantuan teknis dan dukungan finansial mencapai DKK81,5 juta setara Rp182 miliar melalui Environmental Support Programme (ESP).

Per Rasmussen, National Program Adviser ESP mengatakan, bantuan berakhir tahun ini. Rasmussen menilai, upaya penyelamatan hutan dataran rendah ini harus mendapatkan sumber dana lain agar terus berlanjut.

“Ini bentang terluas hutan dataran rendah di Sumatera, dengan berbagai kekayaan flora dan fauna. Berakhirnya dana bantuan, kami sedang mendorong Jerman bisa ikut berkontribusi pasca berakhirnya dana Denmark,” katanya.

Yusup Cahyadin, Head of Departemen Ekosistem Manajemen Reki mengatakan, upaya mengurangi ketergantungan sumber dana eksternal, Reki memulai investasi skala kecil dengan dengan masyarakat Adat Batin Sembilan melalui agrobisnis hasil hutan bukan kayu.

Pengembangan ekowisata saja, katanya, tak akan sanggup menopang biaya operasional perusahaan Rp30 miliar pertahun. Reki Indonesia sedang menyiapkan 12.000 bibit bambu untuk ditanam di zona produksi Hutan Harapan. Jenis yang dikembangkan bambu betung (Dendrocalamus asper), dengan batang bernilai tinggi sebagai bahan baku bangunan dan furnitur.

 

Hutan Harapan, dengan beragam keterancaman. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Hasil olahan bambu Indonesia, seperti panel lantai dan dinding, telah memasuki pasar ekspor. Bibit-bibit bambu ini kini dalam perawatan di lokasi persemaian Sungai Beruang, tak jauh dari base camp Hutan Harapan.

Bibit-bibit ini, akan tanam dengan kerapatan 150-200 batang per hektar, jarak tanam 10×7 meter atau 10×5 meter.

“Dengan kerapatan dan jarak itu, keseluruhan bibit itu akan menutup area 100-200 hektar. Sekitar 2.000 batang akan ditanam pada kawasan kemitraan dengan masyarakat yang mengelola kawasan dengan sistem agroforestry.”

Dari penelitian bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hutan Harapan sendiri hidup berbagai jenis bambu, seperti Gigantochloa scortechinii, bambu penghasil biga (kristal) di Tiongkok untuk obat-obatan penyakit tertentu, seperti impotensi.

“Di Hutan Harapan kita bisa menemukan bambu, 70% Dendrocalamus luteus, diameter 3-5 cm dan panjang maksimal delapan meter.”

Jenis lain juga penghasil biga adalah Schizostachyum zollingeri. Jenis baru ditemukan di Hutan Harapan, Dendrocalamus sp, Gigantochloa sp 1 dan Gigantochloa sp 2. Untuk menanam 588 hektar, katanya, diperkirakan perlu investasi Rp9.616 miliar.

Selama 20 tahun, total pengeluaran Rp139,52 miliar, pendapatan diharapkan Rp285,55 miliar, dikurangi pajak, laba Rp 146,02 miliar.

Selain bambu, kata Yusup, mereka menampung hasil hutan seperti jernang, damar, getah karet dan madu hutan. “Kita sudah ada satu fasilitas pengolahan karet, ini bagi masyarakat Batin Sembilan yang bisa menyetor hasil karet basah,” katanya seraya bilang, di pabrik akan diolah jadi lembaran-lembaran dan nilai jual bisa tiga kali karet basah.

 

Kerjasama semua pihak

Teguh, Mida dan Mala, tiga perempuan Suku Batin Sembilan, terlihat mengeluarkan anyaman rotan mereka. Beberapa anyaman belum usai diperbaiki.

Kehadiran rombongan kami tak membuat mereka kikuk. Kelumpang, tempat tinggal kelompok Rusman beserta 30 keluarga warga adat Batin Sembilan. Ada 275 keluarga Batin Sembilan dengan 1.066 jiwa tersebar di beberapa titik Hutan Harapan.

Sebagian besar dari mereka memilih menetap dan hidup semi nomaden. Kehidupan Batin Sembilan sangat tergantung hutan.

Teguh, istri Rusman menyebut, meski sudah menetap mereka masih berburu labi-labi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

“Berburu labi-labi, biasa dijual Rp35.000-Rp50.000. Sekarang cari labi-labi sulit. Kami ambil rotan, damar dan jernang juga,” katanya.

Rotan dibuat anyaman oleh sebagian besar perempuan Batin Sembilan. Anyaman mereka hanya untuk keperluan pribadi. Selain pasar belum ada, anyaman mereka juga perlu diperhalus lagi.

 

Jejak harimau di Hutan Harapan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Jomi Suhendri, Manajer Kemitraan Reki mengatakan, pasar hasil hutan bukan kayu jadi kendala selain perlu pelatihan untuk peningkatan mutu dan kualitas anyaman. “Pelatihan-pelatihan sudah sering dilakukan, kita ada pelatihan agroforestry juga anyaman. Kita sempat datangkan pelatih, ini tidak mudah bagi mereka.”

Rusman, Temenggung Batin Sembilan mengatakan, selain mengambil hasil hutan, mereka juga menanam beberapa tanaman obat. ”Kami tak mengenal obat kimia dan dokter. Kalau sakit kami biasa bikin ramu-ramuan dari hutan.”

Dia mengajak kami ke lokasi tanaman obat-obatan di belakang rumah. Ada berbegai jenis tanaman obat seperti dedaup, beriang hantu, serekan, pasak bumi, pulai dan melati hutan.

Rusman bilang, beberapa tanaman obat tertentu sulit ada di hutan. Dengan menanam kembali, Rusman berpikir tak akan kehilangan tanaman itu. “Semua bibit diambil di hutan, sekarang mencari tanaman obat harus masuk nian ke dalam. Jauh, kalau sudah ditanam di sini, bisa cepat jika mau digunakan,”katanya.

Rusman kini bekerja di Reki sebagai tim patrol. Ada 20 orang Batin Sembilan bekerja di perusahaan. Mereka mendapatkan akses sekolah dan layanan kesehatan gratis. Tanding, misal, berharap anaknya bisa sekolah hingga ke jenjang tinggi. Bagi mereka, pendidikan penting, untuk keluar dari lingkaran ketidaktahuan.

Menurut Jomi, perusahaan sudah menandatangani nota kesepahaman kemitraan dengan 11 kelompok masyarakat Batin Sembilan, kelompok tani hutan dan pemerintah desa.”Bentuknya ada yang kemitraan kehutanan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Dua di Sumsel, selebihnya di Jambi.”

Jomi berkata, perambahan tak serta merta bisa selesai dengan skema kemitraan. Desa Tanjung Mandiri dan Alam Sakti, kini masih berkonflik. “Kami sudah bersurat ke KLHK untuk membantu penyelesaian konflik, sampai sekarang belum ada bentuk konkrit. Jika dibiarkan, kami takut perambahan terus meluas.”

Dian Agista, Direktur Eksekutif Burung Indonesia, Board Hutan Harapan meminta, para bisa bersama-sama mendukung upaya penyelamatan hutan.

“Ini restorasi ekosistem pertama, banyak pembelajaran diperoleh, karena memulai bentuk pengelolaan restorasi. Mulai dari kebijakan sampai permasalahan. Berbeda dengan bentuk pengelolaan hutan lain ke perusahaan, restorasi hanya bertujuan pada pengelolaan, sulit mengembangkan bentuk pengelolaan lain.”

Kini, sudah ada 16 konsesi restorasi ekosistem di Indonesia dengan luasan 623.075 hektar.

 

Keterangan foto utama:    Menuju Puncak Manik di HUtan Harapan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version