Mongabay.co.id

Ring of Fire dan Tsunami: Teknologi Alternatif dan Perlunya Edukasi bagi Publik

Belum lagi dampak gempa Lombok dan sekitarnya usai ditangani, di Sulawesi Tengah pada tanggal 28 September 2018 menjelang senja, kombinasi gempa 7,7 SR, tsunami dan tanah bergerak disertai semburan lumpur (likuifaksi, soil liquefaction) terjadi. Korban manusia dan harta benda yang paling terpengaruh berada di Kota Palu, Donggala dan sekitarnya.

Apa yang memicu dan menjadi dampak dari besarnya eskalasi yang terjadi ini; dan lalu bagaimana mengurangi resiko bencana alam tersebut?

Sejak dulu kala, kita diceritakan bahwa Indonesia merupakan negara besar, terletak antara dua benua (Benua Asia dan Benua Australia) dan dua samudera (Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik). Sebagai negara kepulauan, garis pantai Indonesia termasuk yang terpanjang di daerah tropika, yakni lebih dari 95.000 km [1].

Baca juga: Gempa dan Tsunami Palu: Data Seputar Sesar Palu Koro Minim

Namun demikian, negeri ini juga merupakan salah satu negara yang paling rawan gempa, karena berada pada pertemuan lempeng bumi hampir di sekelilingnya disertai dengan jalur aktif gunung berapi [2]. Kombinasi lempeng bumi yang selalu bergerak dan gunung merapi yang aktif suatu waktu dapat memicu gempa, baik gempa skala kecil sampai sangat besar (megatrust). Gempa besar adakalanya memicu tsunami. Sehingga Indonesia merupakan bagian dari Pacific Ring of Fire (Cincin Api Pasifik) [3] (Gambar 1), yang merupakan daerah gempa teraktif di dunia.

 

Indonesia di Asia Tenggara (dilingkari hitam) merupakan bagian wilayah Cincin Api Pasifik (Pasific Ring of Fire). Peta oleh Kious & Tilling [3]

 

Berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa tsunami umumnya dipicu oleh gempa laut dangkal yang mampu mentransfer energi yang cukup ke kolom air di atasnya [4]. Tsunami dengan korban terbesar sepanjang sejarah adalah yang terjadi pada 26 Desember 2004 yang dipicu oleh gempa besar di sebelah barat Meulaboh atau sebelah utara Pulau Simeulu, Aceh. Korban pun berjatuhan hingga ratusan ribu orang di Aceh, dampak masif bencana pun sampai jauh ke pesisir timur Afrika.

Meskipun demikian, korban di Pulau Simeulue yang merupakan lokasi terdekat dengan sumber gempa, korbannya kurang dari 10 orang? Mengapa? Salah satu jawaban utamanya adalah bahwa penduduk Simeulue punya daya adaptasi terhadap alam. Mereka punya budaya smong, yakni syair terkait gempa dan tsunami serta bagaimana menghadapinya. Tradisi lisan itu diturunkan antar generasi di simeulue dari gempa dan tsunami besar yang terjadi pada tahun 1907.

Daya adaptasi yang tinggi terhadap bencana oleh mayarakat Siemeulue mampu meminimalkan korban nyawa. Mereka bersahabat dengan alam dan alam menjadi guru kehidupan.

Cerita tersebut menguatkan bukti temuan ilmiah, dimana Monecke dan tim [5] pada jurnal Nature menemukan bukti bahwa pesisir Aceh termasuk Pulau Simeulue pernah dihantam 3 tsunami besar sebelum tsunami 26 Desember 2004, yakni tsunami besar: pertama yang diperkirakan terjadi dalam kurun tahun 780-990, kedua terjadi antara 1290-1400 dan ketiga terjadi pada tahun 1907.

Kejadian tsunami 2004, juga memberikan banyak hikmah, bahwa hutan mangrove yang baik mampu mengurangi dampak tsunami serta melindungi kehidupan dan sumberdaya pesisir [6-11]. Namun hutan mangrove yang rusak atau terfragmentasi malah justru dapat menambah daya rusak tsunami [12, 13]. Penjelasannya, karena hutan mangrove yang rusak tidak kokoh sehingga patahan pohonnya yang dibawa oleh aliran tsunami bakal menambah daya rusak tsunami tersebut.

 

Mesjid yang ambruk di Lombok akibat gempa beberapa waktu lalu. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan video dan gambar yang beredar dari netizen di Palu dan sekitarnya, maka terlihat bahwa keberadaan mangrove dan hutan pantai sangat minim dan malah banyak yang tidak ada sama sekali. Kawasan permukiman, perdagangan atau kawasan aktivitas manusia banyak yang berhadapan langsung dengan pesisir tanpa pelindung alam maupun buatan.

Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Pusat Informasi dan Data dari Badan Nasional Penanggunalan Bencana dalam penjelasannya, pasca tsunami Aceh tahun 2004, Indonesia sebenarnya mendapat hibah alat pendeteksi dini tsunami (buoy) dari berbagai negara sahabat. Namun alat tersebut sudah tidak berfungsi sejak beberapa tahun terakhir.

Alasannya biaya pemeliharaan alat yang yang tergolong mahal. Sesuatu yang amat disayangkan, karena nyawa manusia sejatinya tidak ternilai, dan letak Indonesia yang berada pada wilayah rawan tsunami.

Lalu, adakah teknologi yang lebih murah namun akurat, sehingga dampak tsunami bisa kita minimalisir?

Tahun 2016, Melgar dkk [14] mempublikasikan hasil kajiannya di jurnal Geophysical Research Letters, sebuah jurnal bergengsi di bidang geofisik. Melgar dan tim dalam publikasi tersebut mendemostrasikan strategi yang flesibel untuk peringatan dini tsunami lokal berdasarkan data dari stasiun geodetik dan seismik regional.

Melalui analisis retrospektif dari empat kejadian tsunami di Jepang dan Chili, Melgar dkk mampu menunjukkan bahwa informasi sumber gempa yang cepat, -yang dihasilkan dari metodologi yang dikembangkan untuk peringatan dini gempa, dapat digunakan untuk menghasilkan perkiraan tepat waktu dari amplitudo tsunami maksimum yang diharapkan dengan akurasi yang cukup untuk peringatan tsunami.

Kajian tersebut juga telah divalidasi dengan membandingkan dengan model rinci sumber gempa dan propagasi tsunami serta survei lapangan. Pendekatan oleh Melgar dkk tersebut juga tidak memerlukan penyebaran instrumentasi geodetik dan seismik baru di banyak zona subduksi dan dapat dilaksanakan dengan cepat oleh badan-badan pemantauan dan peringatan nasional.

Kajian Melgar dkk tersebut merupakan kelanjutan dan penguatan terhadap penelitian Song [15] yang juga dipublikasikan pada jurnal yang sama tahun 2007. Song yang menggunakan data geodetik pantai mampu mendeteksi pergeseran lereng kontinen patahan karena gempa bumi besar, dan bahwa perpindahan dasar laut yang terdeteksi dapat menentukan sumber energi tsunami dan skalanya secara instan untuk tsunami Aceh (2004) dan Nias (2005).

Oleh karena itu, data jaringan geodetik pantai dapat diandalkan dalam peringatan dini tsunami dan dapat menggantikan pendekatan konvensional seperti buoy, yang memerlukan biaya operasional yang mahal.

Indonesia sudah punya ratusan jaringan geodetik (GPS) yang bisa dikembangkan untuk peringatan dini tsunami sebagaimana hasil kajian Melgar dan timnya tersebut. Berbagai lembaga pemerintah telah menggunakan data jaringan geodetik, yang dapat disinkronkan dan dikoordinasikan untuk optimalisasi pemanfaatan data jaringan GPS, untuk kepentingan peringatan dini tsunami. Teknologi ini relatif jauh lebih murah, namun secara ilmiah terbukti akurat.

Akhirnya, penulis mengusulkan pentingnya hal-hal ini untuk dilakukan: (1) edukasi terhadap mitigasi dan adaptasi terhadap bencana masuk dalam pendidikan formal dan informal, sebagaimana keberhasilan dan daya tahan masyarakat Simeulue hidup dalam kawasan yang rawan bencana namun masyarakat tetap bertahan, (2) menjaga hutan mangrove yang masih baik dan merehabilitasi mangrove yang sudah rusak berbasis ilmiah dengan pendekatan multi aspek dan (3) pengembangan teknologi alternatif peringatan dini tsunami dengan menggunakan data jaringan geodetik yang sudah ada, -dengan menguatkan koordinasi dan sinkronisasi antar lembaga penanganan bencana dan pengguna informasi geodetik tersebut, yang lalu dibuatkan sistem informasi yang bisa menjangkau masyarakat dengan cepat dan akurat.

Mari berbenah untuk kehidupan yang lebih baik.

 

Referensi

[1]     Hersusanto, B. (2009). Makna negara kepulauan. Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia.

[2]     Simkin, T. et al. (2006). This Dynamic Planet: World Map of Volcanoes, Earthquakes, Impact Craters, and Plate Tectonics: US Geological Survey Geologic Investigations Map I-2800. SIPRE auger. Jon’s Machine Shop (http://jonsmachine.com/)350, 99712-1007.

[3]     Kious, W. J., & Tilling, R. I. (1996). This dynamic Earth: the story of plate tectonics. Washington: DIANE Publishing.

[4]     Puspito, N. T. (2008). Study on tsunamigenic earthquake criteria for the Indonesian tsunami early warning system. Proceedings of International Conference on Earthquake Engineering and Disaster Mitigation. hal. 446-451.

[5]     Monecke, K. et al. (2008). A 1,000-year sediment record of tsunami recurrence in northern Sumatra. Nature, 455 (7217), 1232-1234.

[6]     Kathiresan, K., and Rajendran, N. (2005). Coastal mangrove forests mitigated tsunami. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 65, 601-606.

[7]     Dahdouh-Guebas, F., & Koedam, N. (2006). Coastal Vegetation and the Asian Tsunami. Science311 (5757), 37.

[8]     Chang, S. E., Adams, B. J., Alder, J., Berke, P. R., Chuenpagdee, R., Ghosh, S., and Wabnitz, C. (2006). Coastal ecosystems and tsunami protection after the December 2004 Indian Ocean Tsunami. Earthquake Spectra22(S3), 863-887.

[9]     Dahdouh-Guebas, F. and Pulukkuttige, J.L. (2009). Bibliometrical review on pre- and post tsunami assumptions and facts about mangroves and other coastal vegetation as protective buffers. Ruhuna Journal of Science, 4, 28–50.

[10]  Onrizal et al. (2009) The effect of tsunami in 2004 on mangrove forests, Nias Island, Indonesia. Wetland Science7(2), 130-134.

[11]  Onrizal. (2015) The Recovery of Coastal Vegetation of Northern Sumatra After Earthquakes and Tsunamis in 2004 and 2005. [Ph.D Dissertation]. Penang: Universiti Sains Malaysia.

[12]  Onrizal & Mansor, M. (2016) Status of coastal forests of the Northern Sumatra in 2004’s tsunami catastrophe. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 17(1), 44-54

[13]  Cochard, R., Ranamukhaarachchi, S. L., Shivakoti, G. P., Shipin, O. V., Edwards, P. J., and Seeland, K. T. (2008). The 2004 tsunami in Aceh and Southern Thailand: a review on coastal ecosystems, wave hazards and vulnerability. Perspectives in Plant Ecology, Evolution and Systematics10 (1), 3-40.

[14]  Melgar, D. et al. (2016). Local tsunami warnings: Perspectives from recent large events. Geophysical Research Letters43(3), 1109-1117.

[15]  Song, Y. T. (2007). Detecting tsunami genesis and scales directly from coastal GPS stations. Geophysical Research Letters34(19), L19602

 

* Onrizal, Phd, penulis adalah Associate Professor Ekologi dan Konservasi Hutan Tropika, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

 

Exit mobile version