Mongabay.co.id

Tradisi Makan Papeda Gunakan Sempe

Mama Opi dan cucunya, Fain, sedang membuat sempe. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Sejak siang pukul 11:00, perahu-perahu datang dan pergi di Kampung Abar. Perahu-perahu itu mengangkut para pengunjung. Mereka ingin mengikuti pesta budaya makan papeda pakai sempe.

Kampung Abar di Distrik Ebungfau, Kabupaten Jayapura, Papua. Ia terletak di bagian selatan Danau Sentani. Ke kampung ini, perlu waktu sekitar 15 menit dengan perahu motor dari Dermaga Yahim.

Pesta budaya ini diselenggarakan tiap 30 September. Tahun ini kali kedua.

Acara mulai pukul 13:00 waktu setempat. Naftali Felle, Kepala Suku di Kampung Abar juga pemrakarsa memberikan sambutan. Dia bilang, sempe merupakan benda bersejarah.

“Alasan kami buat kegiatan ini karena dari 139 kampung dan lima kelurahan di Jayapura, Kampung Abar, satu-satunya yang memiliki bahan baku dan membuat benda-benda yang bernilai historis sangat tinggi. Ini benda budaya bagi kami orang Sentani yang sampai kini masih kami pertahankan,” katanya.

Masyarakat Kampung Abar, memiliki tradisi membuat benda-benda dari tanah liat. Ia berfungsi bermacam-macam seperti menyimpan air, menyimpan sagu, memasak hingga jadi piring. Tanah liat bersumber dari perbukitan di sekitar kampung.

Dalam tradisi masyarakat, satu keluarga makan papeda dari satu sempe sebagai tanda ikatan kekeluargaan. Tradisi inilah yang coba dihidupkan lagi melalui pesta budaya ini.

Pesta budaya ini memiliki tema Helai Mbai Hote Mbai. Helai adalah sebutan lain untuk sempe, mbai berarti satu, hote adalah wadah ikan.

“Dulu kalau orangtua putar papeda di sempe, semua anak dipanggil datang tanpa terkecuali. Mereka duduk lingkar. Mereka makan papeda dari satu sempe ini, mereka ambil ikan dan colo kuah di satu hote.”

 

Makan papeda bersama-sama pakai sempe. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Pesta budaya ini diharapkan memperkuat ikatan kekeluargaan, persaudaraan dan persahabatan. Hal ini sesuai dengan sempe yang umumnya bermotif ban (yalu) sebagai simbol tali persaudaraan.

Hadir dalam pembukaan acara ini Asisten III Bidang Administrasi Umum Setda Kabupaten Jayapura, Timotius J. Demetouw. Menurut Timotius, penyelenggaraan pesta budaya ini sejalan dengan visi Bupati Jayapura tentang kebangkitan adat.

Pesta budaya ini, katanya, mendukung gagasan awal Festival Danau Sentani (FDS) yang mulai 2008. Saat itu, para penggagas FDS berharap, setelah pengunjung melihat keunikan masing-masing kampung, berikutnya mereka bisa berkunjung langsung ke kampung dan menyaksikan proses-proses dengan masyarakat. Dia mengapresiasi pesta budaya ini.

“Hari ini oleh panitia dan penggagas, mereka mau menghidupkan keunikan kampung ini. Bagaimana bisa makan papeda dalam sempe. Mungkin bagi orang di sini sudah biasa. Bagi kebanyakan orang ini berbeda dan rasanya pasti berbeda dengan makan dalam bokor atau piring.”

Dalam acara ini juga dicanangkan penggunaan sempe pada 23 kampung lain di Danau Sentani. Pencanangan ini ditandai penyerahan sempe kepada perwakilan kepala kamponu dan ondofolo. Salah satu perwakilan pengunjung juga didaulat menerima sempe sebagai bentuk ajakan agar masyarakat umum juga menggunakan.

Acara lanjut dengan makan papeda di sempe. Para pengunjung bergantian makan di bawah pondok yang sudah disediakan. Ada pepada, sagu bakar, pisang, ubi, ikan kuah, ikan bakar, jamur, dan berbagai sajian lain.

Pesta budaya ini didukung Kelompok Papua Tour Guide, Papua Jungle Chef dan Wisata Alam Hiroshi. Untuk menyambut pesta budaya ini, masyarakat Kampung Abar sudah bersiap dari jauh-jauh hari.

“Ibu-ibu mempersiapkan sempe. Waktu rapat disepakati satu ibu siapkan lima sempe. Bapa-bapa mempersiapkan pondok untuk taru papeda. Dua minggu selesai. Sempe dan pondok.”

 

Alat-alat dari tanah liat. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Sagu untuk membuat papeda adalah sagu mongging. Sagu ini disebut menghasilan papeda bening dengan kualitas nomor satu. Untuk sagu bakar, jenis sagu merah berduri yang disebut bara. Ikan gabus dan mujair khas Danau Sentani disajikan bersama papeda. Ada juga ulat sagu, jamur hingga tikus tanah.

Seluruh bahan untuk keperluan pesta budaya ini tersedia di Kampung Abar. Mulai bahan pembuatan pondok, sagu, ikan hingga wadah tanah liat. Naftali yakin, seterusnya masyarakat bisa pesta budaya ini mandiri.

 

Tradisi gerabah

Gerabah ditemukan di situs-situs arkeologi di sekitar Danau Sentani. Situs-situs itu antara lain, Situs Marweri Urang, Situs Pulau Mantai, Situs ceruk Ifeli-feli, situs Pulau Asei, Situs Yomokho, Situs Gua Rukhabulu Awabu, Situs Ceruk Reugable Kampung Ayapo, Situs Phulende dan Situs Kampung Tua Abar. Tradisi membuat gerabah ini sudah ada sejak jaman prasejarah.

Ada beberapa penelitian tentang gerabah di Kampung Abar. Salah satu oleh Rini Maryone dari Balai Arkeologi Papua. Hasil penelitian dimuat dalam jurnal Berjudul Perkembangan Tradisi Pembuatan Gerabah Abar Sentani.

Disebutkan, kerajinan gerabah ini diperkenalkan nenek moyang Marga Felle yang bermigrasi dari timur. Mereka berlayar hingga tiba di Papua.

Mereka datang membawa tanah liat (kenda) yang diikat dalam bai (wadah dari pelepah nibun) dari negeri asalnya. Ketika bermigrasi, nenek moyang Marga Felle tiba di Kampung Kayu Batu di Teluk Humbold, Kota Jayapura. Mereka tinggal di sana beberapa waktu lalu perjalanan ke Danau Sentani. Selanjutnya, nenek moyang Marga Felle, menetap di Kampung Abar dan mulai membuat kerajinan gerabah.

Jenis gerabah di Kampung Abar, antara lain helai atau sempe, hele, ebe hele, bhu ebe, hote, kendanggalu. Helai atau sempe untuk membuat papeda sekaligus tempat makan papeda, Hele buat menyimpan sagu. Ebe hele untuk memasak ikan dan sayuran, Bhu ebe sebagai tempat air. Hote tempat menyajikan ikan dan sayuran dan kendanggalu sebagai mencetak sagu bakar.

Mama-mama Kampung Abang, Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Gerabah Kampung Abar memiliki ciri khas dengan dasar cembung hingga memerlukan dudukan dari anyaman rotan melingkar disebut mauka.

Selain memiliki fungsi praktis sebagai alat rumah tangga, gerabah juga berfungsi sosial dan religi. Gerabah sebagai alat tukar dan perlengkapan anak yang hendak menikah. Saat agama Kristen belum masuk, masyarakat jadikan gerabah bekal kubur. Ada juga kepercayaan, wadah sagu tak boleh dalam keadaan kosong agar tidak kekurangan makanan, terutama saat pesta-pesta adat.

Kepercayaan tradisional bahwa tempayan sagu memiliki kekuatan gaib yang dapat memberikan tanda-tanda tertentu, seperti jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia, akan muncul tanda sepeti warna sagu di dalam tempayan akan berubah jadi merah, atau malam akan terdengar suara tangis dari dalam tempayan.

 

Mempertahankan dan mengembangkan

Sebelumnya, saat berkunjung ke Kampung Abar, Selasa (11/9/18), Mama Opi Yoku ditemani cucunya Fain Doyapo sedang membuat sempe untuk persiapan pesta budaya ini. Mama Opi sudah melakukan sejak menikah dan meneruskan ke cucu-cucu.

Meski terdapat alat bantu pembuatan seperti mesin putar, Mama Opi mengerjakan dengan cara tradisional. Alat antara lain papan kayu berbentuk persegi sebagai alas untuk membuat wadah gerabah (yungmakhe), kayu bentuk menyerupai sendok nasi untuk meratakan ketebalan wadah gerabah dan menghaluskan (yanggalu). Batu bulat atau lonjong dipakai saat merapikan dan memadatkan badan wadah gerabah dari dalam (ruka kaliyme).

Secara sederhana, proses pembuatan gerabah adalah mengambil tanah liat, memisahkan batu dan pasir, membentuk jadi gerabah, mengeringkan dan membakar. Karena kualitas bagus, tanah liat di Kampung Abar, tak memerlukan bahan campuran.

Untuk meningkatkan kualitas produksi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jayapura, berusaha memfasilitasi pelatihan bagi warga terutama mama-mama. Mama-mama mengikuti pelatihan di Minahasa, Sulawesi Utara dan studi banding hingga ke Bantul, Yogyakarta.

Hasil pelatihan ini, tidak hanya memproduksi alat-alat dapur juga mulai hasilkan benda-benda lain seperti pot bunga, asbak, hiasan boneka kodok, hiasan tifa, dan hiasan dinding lain, kompor, meja dan kursi.

Di kampung ini juga ada sanggar yang dikelola Kelompok Pengrajin Titian Hidup. Sanggar ini dilengkapi mesin penghancur tanah, meja roda pemutar, tungku perapian hingga mempermudah pembuatan gerabah.

Hari Suroto dari Balai Arkeologi Jayapura mengatakan, tradisi pembuatan gerabah di Kampung Abar khawatir hilang karena ‘modernisasi’. Faktor penyebab, persaingan dengan wadah dari plastik atau aluminium.

Sehari-hari, katanya, orang memilih wadah berbahan plastik yang dirasa lebih praktis dan murah. Kalau gerabah tidak produksi lagi, katanya, pengetahuan teknik pembuatan gerabah Abar bisa menghilang.

 

Keterangan foto utama:   Mama Opi dan cucunya, Fain, sedang membuat sempe. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version