Mongabay.co.id

Fenomena Semburan Lumpur Tenggelamkan Pemukiman Kala Gempa Sulteng

Perumahan di Petobo, setelah tertimbun pasir lumpur usai gempa. Foto ini diambil Jumat (5/10/18) . Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

 

Gempa bumi 7,4 SR mengguncang Kota Palu dan Donggala, dan Sigi, menyebabkan fenomena alam terjadi semburan lumpur, dengan sebutan likuifaksi. Goncangan gempa sedemikian kuat, menyebabkan permukaan tanah amblas hingga mengeluarkan lumpur begitu banyak. Lumpur pun menenggelamkan komplek perumahan, seperti terjadi di Perumahan BTN Patobo, Palu.

Pantauan Mongabay, Jumat (5/10/18), tampak kawasan Petobo, luluh lantak. Jarak dari pertigaan Dewi Sartika ke titik lokasi sekitar 100 meter, timbunan bangunan dampak gempa dan semburan pasir kurang lebih setinggi tiga meter. Evakuasi sulit. Ratusan korban diperkirakan masih terkubur.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, di komplek perumahan ini saat gempa, muncul lumpur dengan massa dan volume besar.

“Kita kenal dengan istilah likuifaksi. Lumpur keluar dari permukaan tanah, karena ada goncangan gempa. Sedimen di bawah tanah mencair jadi lumpur, hingga ada penurunan muka tanah, seolah-olah hanyut kemudian ditelan lumpur,” katanya.

Kerusakan parah juga melanda Perumnas Balaroa. Saat gempa di perumahan itu, terjadi kenaikan dan penurunan muka tanah. Beberapa bagian amblas sedalam lima meter, tetapi di beberapa bagian lain terjadi kenaikan muka tanah mencapai dua meter. Posisi kedua perumahan ini persis di jalur sesar Palu Koro.

“Kita belum tahu berapa jumlah korban berada di dua komplek prrumahan itu. Baik karena amblas, maupun karena tertimbun lumpur. Perkiraan ratusan,” katanya.

 

Perumahan di Petobo, setelah tertimbun pasir lumpur usai gempa. Foto ini diambil Jumat (5/10/18) . Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Data sementara hingga 3 Oktober, tim SAR menemukan korban di Perumnas Balaroa 48 orang meninggal dunia, dan di Petobo 36 orang, juga meninggal dunia.

Proses evakuasi sangat sulit. Mengerahkan alat berat juga sama sulitnya, terlebih saat ini ketersediaan alat berat di lokasi sangat minim. Di dua perumahan itu, tim SAR gabungan terus evakuasi manual.

Sutopo menyebut, likuifaksi terjadi di beberapa wilayah, di Kelurahan Petobo, Kota Palu, Jalan Dewi Sartika, Palu Selatan, Biromaru dan Desa Sidera. Likufaksi juga terjadi di Kabupaten Sigi, meliputi Mpano, Sidera, Jono Oge, dan Lolu.

Kerusakan dampak likuifaksi diperkirakan untuk Jono Oge, Sigi mencapai 202 hektar, 36 bangunan rusak, dan 168 lain juga kemungkinan rusak. Di Petobo, Palu, luasan mencapai 180 hektar, bangunan rusak 2.050, dan bangunan mungkin rusak 168.

Di Petobo, tujuh alat berat dikerahkan. Di wilayah Balaroa luasan mencapai 47,8 hektar, menyebabkan 1.045 bangunan rusak, lima alat berat dikerahkan.

Kerusakan karena likuifaksi di satu daerah, katanya, tergantung material geologi yang terkandung di dalam tanah. Ketika terjadi goncangan, tanah-tanah yang kering jadi cair karena material bercampur air hingga jadi lumpur.

Kasus di Perumahan BTN Patobo, volume lumpur sangat besar hingga membuat komplek perumahan tenggelam oleh lumpur dan amblas. Meski begitu, kata Sutopo, tak semua tempat ketika gempa terjadi likuifaksi.

“Di Lombok, terjadi likuifaksi, tapi kecil. Keluar lumpur. Di Jawa Barat juga ada, tapi kecil yang menyebabkan rumah-rumah hancur. Kalau kita melihat di Palu, likuifaksi begitu besar.”

 

Irigasi Gumbasa, Petobo, rusak parah pasca gempa. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini, katanya, jalur sesar gempa di beberapa tempat sudah terpetakan. Wilayah di sekitar jalur sesar berpotensi likuifaksi jika gempa. Namun, katanya, pemetaan lebih detail mengenai wilayah mana saja yang berpotensi likuifaksi belum dilakukan. Pemetaan potensi likuifaksi sangat sulit dan memerlukan pendanaan tak sedikit.

“Tak sembarang tempat di jalur gempa pasti akan menimbulkan likuifaksi. Tidak semua daerah rawan gempa pasti menghasilkan likuifaksi. Perlu penelitian dan pemetaan lebih detil. Belum semua wilayah di Indonesia itu terpetakan jalur sesar sampai skala yang betul-betul detil,” katanya.

Dia berharap, pemerintah daerah rawan gempa bisa membuat peta mikro zonasi dan peta likuifaksi hingga bisa diketahui berapa potensi gempa. Dari hasil pemetaan, katanya, bisa dasar tata ruang wilayah.

“Nanti kalau membangun di jalur sesar gempa, boleh dengan kekuatan konstruksi sudah ditentukan. Memang biaya lebih mahal.”

Bercermin pada BTN Patobo dan Perumnas Balaroa, kedua perumahan berada di jalur sesar Palu Koro. Kalau merujuk aspek tata ruang, tak boleh ada perumahan sebegitu padat di wilayah itu. Apalagi, katanya, dibangun dengan kekuatan konstruksi sangat terbatas.

“Itulah yang terjadi ketika ada gempa besar, ancaman tinggi. Kita mengimbau pemerintah daerah prioritaskan penanggulangan bencana.”

Dia menilai, jarang sekali melihat pada visi misi baik pilkada maupun pilpres, bencana jadi prioritas. Padahal, katanya, dengan wilayah Indonesia rawan bencana, prioritas itu penting.

Sri Hidayati, Ketua Pusat Gempa PVMBG mengatakan, fenomena likuifaksi kemungkinan terjadi di Donggala. Namun belum bisa mengkonfirmasi situasi Donggala karena tim belum sampai.

“Faktor menyebabkan likuifaksi biasa kondisi batuan sendiri, misal, ada pasir halus kemudian penuh air, yang membuat potensi likuifaksi tinggi. Di Palu, likuifaksi tinggi. Di Lombok, juga ada, tak semua gempa bumi bisa memicu likuifaksi.”

 

Kawasan Petobo, Palu, hancur lebur pasca gempa dan semburan lumpur. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, likuifaksi biasa terjadi saat ada guncangan gempa sangat keras dengan magnitud di atas enam. Kondisi geologi di wilayah itu juga berpengaruh.

“Kalau pemetaan geologi, dari Badan Geologi sudah lama memetakan Palu dan sekitar. Kita di PVMBG sudah membuat peta kawasan rawan bencana gempa bumi,” katanya.

Mereka mengindikasikan Palu dan Donggala, rawan gempa tinggi. Di Badan Geologi, katanya, ada yang memetakan potensi likuifaksi di Palu, dan masuk kategori tinggi karena kondisi geologi.

Adrin Tohari, peneliti Geoteknik Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, guncangan gempa kuat selain berpotensi menyebabkan tsunami, bisa timbul likuifaksi. Namun, katanya, fenomena likuifaksi tak terjadi begitu saja.

“Biasa likuifaksi karena gempa magnitude dan MMI lebih enam dan durasi gempa di atas satu menit. Kondisi batuan tanah tidak padat dan mudah lepas, juga muka air tanah tak lebih dari empat meter,” katanya.

Likuifaksi terjadi di Palu, katanya, karena sesar Palu Koro membentuk zona depresi di sisi barat dan timur serta membentuk teluk. Tanah di sana lunak, meski terlihat padat di bagian atas.

Dia bilang, likuifaksi pernah terjadi di beberapa daerah lain. Pada gempa Padang 2009, likuifaksi mengakibatkan rumah dan bangunan miring. Begitu juga saat gempa di Yogyakarta 2006, juga gempa dan tsunami di Maumere, Nusa Tenggara Timur, 1992.

 

Petopo, luluh lantak, pasca fenomena gempa dan likuifaksi. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Rovicky Dwi Putrohari, dewan penasihat Ikatan Ahli Geologi Indonesia menyebut, likuifaksi sebagai gejala alami saat gempa terjadi di daerah yang terdapat lapisan batuan berpasir dan terisi air.

Likuifaksi, katanya, bukan terjadi karena gempa bumi dengan kekuatan besar juga karena lapisan batuan berpori yang tergetarkan.

 

Kerusakan wilayah lain

Kerusakan juga terjadi di beberapa wilayah lain. Dampak saluran komunikasi terputus, hingga kini BNPB belum mendapatkan informasi rinci. Di Donggala, misal, kerusakan parah di Desa Tosale, Kecamatan Benawa Selatan, Desa Towale (Kecamatan Banawa Tengah), dan Desa Loli (Kecamatan Banawa).

“Di Desa Loli, permukiman di pesisir diterjang tsunami dan rata dengan tanah. Tinggi tsunami di wilayah ini diperkirakan enam hingga tujuh meter. Menurut pengakuan warga, tinggi gelombang tsunami melampuai tiang listrik,” katanya.

Kini, tim SAR gabungan bergerak menuju Donggala. “Tetapi komunikasi putus total karena listrik masih padam,” kata Sutopo

Berdasarkan peta analisis guncangan gempa, katanya, kekuatan gempa Donggala lebih besar daripada Palu. Dia perkirakan, kondisi lebih parah dibandingkan Kota Palu.

“Jumlah korban jiwa di Donggala, kami baru mendapatkan informasi 11 jiwa. Mudah-mudahan tidak bertambah,” katanya.

Di Sigi, tujuh kecamatan terisolir karena akses jalan tertutup longsor. Ketujuh kecamatan itu, Lindu, Kulawi, Kulawi Selatan, Dolo Barat, Dolo Selatan, Gumbasa, dan Salua.

“Masyarakat di sana tetap memerlukan bantuan. Saat ini, kita masih fokus Palu. Tetapi Donggala, Sigi dan Parigi Muotong juga parah. Kami berupaya bisa menuju ke sana,” kata Sutopo.

 

Sigi juga rusak parah karena gempa. Foto: Ridwan Zulfiqar Abdulrauf

 

Gempa bumi tak hanya meluluhlantakan Sulteng. Provinsi tetangga, Sulawesi Barat, juga merasakan dampak. Di Mamuju Utara, tercatat satu orang meninggal dunia, 185 rumah rusak berat, 22 rumah rusak sedang, dan 92 rumah rusak ringan. Kerusakan terjadi di Kecamatan Sarjo, Sarude, Bambaira, Bambalamotu, Pedongga, dan Pasangkayu.

“Ini data sementara dan daerah yang terdampak bencana gempa memang meluas.”

 

 

Korban terus bertambah

Sutopo, mengatakan, hingga 4 Oktober pukul 13.00 korban jiwa tercatat 1.571 orang. Mereka dari Kota Palu 1.352 orang, Donggala 144 orang, Sigi 62 orang, Parigi Moutong 12 orang dan Pasang Kayu satu orang.

Jumlah korban sudah dimakamkan 1.551 orang setelah identifikasi melalui DVI, face recognition dan sidik jari. Jenazah sebagian besar dimakamkan masal di Paboyo, Pantoloan, dan pemakaman keluarga.

“Bantuan tenaga medis dan obat-obatan terus berdatangan. Kami juga mendirikan rumah sakit lapangan,” katanya

Korban luka berat 2.549 orang dan dirawat di beberapa rumah sakit. Korban hilang 113 orang. Terdiri dari Pantoloan Induk 29 orang, Donggala (31), Palu (4), Pasar Wani (7), Jalan Kijang (11), Jalan Roja Moici (4), Jalan Muhamad Hatta (25), Patung Kuda (1) dan Kampung Nelayan (1). Korban tertimbun 152 orang.

“Jumlah korban tertimbun di Petobo, Sigi dan Balaroa Kota Palu, belum dapat diperkirakan,” katanya.

Untuk pengungsi sebanyak 70.821 jiwa tersebar di 114 titik. Jumlah rumah rusak sementara 66.238 di Sulteng dan 505 Sulbar.

Proses evakuasi, pencarian dan penyelamatan korban terus berlanjut. Saat ini 16 alat berat dikerahkan membantu evakuasi, bantuan alat berat lain sedang dalam perjalanan.

Personil SAR dari TNI, Polri, Basarnas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga terus ditambah. Personil 6.399 orang, 3.169 TNI, 2.033 Polri, 111 relawan, 1.086 dari kementerian lembaga dan pemerintah daerah.

 

Jl. Poros Palu Gimpu-Kulawi Selatan, rusak parah, tidak bisa dilalui kendaraan kecuali jalan kaki. Foto: Ridwan Zulfiqar Abdulrauf

 

Untuk membantu penanggulangan gempa dan tsunami, juga dikerahkan dua KRI, tiga helikopter dan lima pesawat.

Proses evakuasi dan penanggulangan bencana terkendala jaringan komunikasi di beberapa tempat masih putus. Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informasi mengatakan, di Sulteng ada 3.404 BTS (Palu 1.119 BTS, Donggala 230 dan Sigi 274).

“Saat gempa 28 September sore, BTS banyak mati. Beroperasi hanya 12%. Saat ini yang beroperasi 49% BTS di Sulteng. Distribusi tidak merata,” katanya.

BTS mati karena aliran listrik juga mati. Hingga kini, pemulihan jaringan listrik jadi prioritas pemerintah.

“Kebutuhan komunikasi sangat urgen. Kami sudah datangkan 65 telepon satelit oleh regu Danrem untuk penyisiran korban. Kita prioritaskan penanganan korban.”

Di Kota Palu dan Donggala, katanya, Telkom sudah berhasil menghidupkan kembali karena ada listrik.

Syahabuddin, staf ahli Menteri Sosial mengatakan, sudah menyediakan sembilan dapur umum di beberapa titik. Operasional dapur umum oleh Tagana.

“Kemensos mendukung logistik makanan, layanan sosial. Dapur umum ini ada beras, sarden, biskuit, lengkap. Tinggal disebar. Yang menjadi masalah adalah transportasi. Karena itu Kemensos, masih ada satu pesawat carter dari Halim Perdanakusumah,” katanya.

Kemensos juga akan fokus layanan psiko sosial bagi anak-anak dan para orangtua korban.

 

Ketrangan foto utama:     Kondisi Kelurahan Petobo Kecamatan Palu Selatan, Sulawesi Tengah, Jumat (5/10/18). Ini lokasi gempa yang berdampak semburan lumpur dan pasir dari dalam tanah. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

Evakuasi Resto Dunia Baru Jalan Emi Saelan, Tatura, petugas berupaya evakuasi empat korban. Tim penyelamt datang dari Balikpapan. Foto: Minnie Rovai/ Mongabay Indonesia

 

Bantuan internasional

Presiden Joko Widodo menyatakan, Pemerintah Indonesia bersedia menerima bantuan internasional untuk menanggulangi dampak gempa dan tsunami di Sulteng. Kesediaan ini disampaikan kepada Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. Menkopolhukam Wiranto ditunjuk sebagai koordinator. BNPB bersama Kementerian Luar Negeri menyiapkan mekanisme dan prosedur sesuai peraturan.

“Bantuan kita terima sesuai kebutuhan. Negara-negara sahabat yang sudah menawarkan bantuan penanganan kemanusiaan di Sulteng dipersilakan,” kata Sutopo.

Sejauh ini, ada 26 negara sahabat dan dua organisasi Internasional menawarkan bantuan kepada Pemerintah Indonesia. Mereka antara lain, Australia, Amerika Serikat, Maroko, Korea Selatan, Uni Eropa, Tiongkok, Singapura, Turki, Filipina, Swiss dan lain-lain.

“Mereka baru mengucapkan lisan. Semua bantuan harus disampaikan tertulis. Semua bantuan akan dikoordinasikan dengan kementerian dan lembaga terkait. Semua bantuan harus self supporting dan sebisa mungkin tak membebani tuan rumah. Air transportation menjadi prioritas dari semua bentuk bantuan,” kata Sutopo.

Pemerintah sepakat, katanya, ada enam kebutuhan boleh masuk seperti alat angkut udara untuk landasan pacu 2.000 meter menyesuaikan kondisi di Palu, tenda pengungsi, genset, rumah sakit dan tenaga emdis, water treatment, dan fogging.

 

Evakuasi puluhan korban di Mall Tatura, masih terus dilakukan sejak kemarin. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version