Mongabay.co.id

Warga Membakar Lahan, Kejahatan atau Bentuk Perlawanan?

 

Sampai saat ini, kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan, masih terjadi. Puluhan titik api terus dipadamkan petugas dari darat maupun udara. Sepekan terakhir, malam dan dini hari, sebagian warga Palembang sudah meraskan kabut asap, seperti di kawasan Plaju dan sekitarnya. Pembakaran lahan yang dilakukan masyarakat ini, apakah sebuah kejahatan atau sebagai bentuk perlawanan?

Maraknya titik api di Sumatera Selatan telah ada sejak Juli, Agustus, September, hingga awal Oktober 2018. Bahkan, selama penyelenggaraan Asian Games, titik api tetap muncul dari lahan mineral atau gambut, baik yang sudah dikelola atau yang belum namun statusnya bukan kawasan konservasi.

Lokasi kebakaran tetap berada di Kabupaten Ogan Ilir (OI), Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin dan Musi Banyuasin. Khusus di Kabupaten OKI, lokasi yang hampir setiap hari dilakukan pemadaman baik darat maupun udara, antara lain di Cengal, Tulungselapan, Pedamaran, Rambutan, Sungai Menang, Pampangan, Pangkalan Lampam, dan Mesuji. Sementara, di Kabupaten OI pemadaman dilakukan di Inderalaya dan Pemulutan.

“Saya menilai itu bentuk perlawanan. Sebab, sangat tidak mungkin masyarakat tidak tahu larangan dan sanksi terhadap pelaku pembakar lahan,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang, Rabu (03/10/2018).

“Sikap warga itu merupakan perlawanan terhadap ketidakadilan dan hegemoni pemilik modal. Perlawanan juga terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat atau kaum tani,” katanya.

Baca: Asian Games dan Jejak Kehidupan Bahari di Sungai Musi

 

Ketika lahan terbakar, bukan hanya menimbulkan kerusakan lingkungan tetapi juga satwa liar yang ada menjadi korban. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bayangkan, misalnya masyarakat desa hidup di tengah perkebunan atau pertanian yang luasnya puluhan hingga ratusan ribu hektar, yang dikuasai perusahaan, sementara mereka hanya memiliki lahan terbatas. Mereka tidak mampu mengelola lahan dengan baik karena keterbatasan teknologi dan anggaran.

“Lalu, pemerintah melarang mereka membakar lahan tapi tidak memberikan bantuan teknologi atau anggaran. Apakah kondisi ini tidak membuat mereka kecewa dan marah. Jadi perlawanan mereka itu dengan membakar, mungkin diam-diam,” jelas Yenrizal.

Jika sikap ini terus terjadi? “Pembangkangan sosial. Masa bodoh dengan semua aturan atau larangan pemerintah. Pemerintah hendak bicara apa saja terserah, program pemerintah dianggap angin lalu,” ujarnya.

Bukankah banyak program yang dilakukan pemerintah maupun organisasi nonpemerintah yang juga didukung pendanaan dari negara asing? “Hampir semua program itu terlihat berbasis laporan, bukan hasil. Anggaran dilaporkan terserap, tanpa persoalan, tapi hasilnya diragukan.”

“Serius dan hati-hatilah dengan penanganan persoalan kebakaran hutan dan lahan, sebab jika tidak benar justru akan melahirkan kelompok masyarakat antinegara. Presiden harus mengukur setiap bukti kegiatan di lapangan. Misalnya, tepat atau tidaknya sasaran yang dilakukan, sehingga benar-benar terlihat manfaatnya,” terang Yenrizal.

Baca juga: Si Kowil, Upaya Sigap TNI Cegah Kebakaran Hutan dan Lahan

 

Merusak hutan sama halnya dengan menghancurkan kehidupan makhluk hidup di Bumi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Membakar diam-diam

DD Shineba, dinamisator Kedeputian III BRG (Badan Restorasi Gambut) wilayah Sumsel, mengatakan terkait permasalahan warga yang tetap membakar lahan meskipun sosialisasi dan aturan sudah dibuat, itu sebuah dilema. Tidak dapat dinilai hitam atau putih.

“Ini dilema. Jika mengacu UU 32 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, masyarakat hukum adat boleh membuka lahan dengan cara bakar. Tapi berbeda dengan aturan yang lain. Di Sumatera Selatan ada perda yang isinya melarang pembakaran lahan oleh perusahaan maupun warga,” katanya, Rabu (03/10/2018).

Sekarang, masyarakat tidak membakar karena takut dihukum. Akibatnya mereka membakar diam-diam. “Ini lebih bahaya dari kebiasaan membakar yang dipraktikan masyarakat.”

Apakah itu tindak perlawanan? “Ya, masuk, tapi tidak diketahui wujudnya. Namanya diam-diam. Tidak terbuka atau jelas,” katanya.

Yang jelas, kondisi tersebut karena tiada insentif dari pemerintah, seperti pengetahuan pengelolaan lahan tanpa bakar dan teknologi penunjangnya. Ini akhirnya mengakibatkan ketimpangan sosial yang tinggi.

Insentif itu bukan berarti uang. “Bisa berupa pengetahuan dan teknologi, yang muaranya pembukaan dan pengelolaan lahan tanpa bakar. Bila perlu juga dihadirkan teknologi hasil pangan atau pertanian, ada keberlanjutan. Intinya, jangan hanya melarang tanpa dibarengi dukungan yang cukup,” ujarnya.

 

Water bombing atau pemadaman api dilakukan di wilayah Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir, beberapa waktu lalu di pertengahan 2018. Foto: BNPB Sumatera Selatan

 

Apakah sikap masyarakat desa yang melindungi para pelaku pembakaran ini juga sebuah perlawanan? “Sulit menjawabnya sebelum kita melakukan penelitian mendalam di masyarakat,” jelas Yusuf Bahtimi, peneliti dari CIFOR, yang melakukan penelitian di Kabupaten OKI, kepada Mongabay Indonesia, Kamis (04/10/2018).

Tapi, environmental justice serangannya dari berbagai arah. Masyarakat diperlakukan tidak adil sehingga melawan. “Benteng etika sebagai manusia di tengah masyarakat juga melemah,” ujarnya.

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, saat ini cukup sulit mendapatkan informasi pelaku pembakaran lahan di masyarakat desa. Setiap warga mengaku tidak tahu. Aparat kepolisian maupun petugas pencegah dan pemadam kebakaran minim informasi. Namun, warga selalu siap jika dilibatkan untuk memadamkan lahan terbakar.

 

 

Exit mobile version