Dari sejumlah diskusi dengan berbagai masyarakat yang hidup di sekitar lahan basah di Sumatera Selatan, penulis menjumpai mereka mengalami kebingungan ketika disebutkan kata “gambut”. Bagaikan anak sekolah dasar yang sedang belajar memahami sesuatu, beragam pertanyaan pun muncul.
“Ini bukan gambut. Ini rawang tempat kami cari ikan dan kayu. Pondok kami bae ada di dalam rawang. Kalau lahan gambut, itu di sana yang dijadikan kebun sawit dan HTI,” sebut seorang nelayan di Tulungselapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) kepada penulis.
Dari penjelasannya tampak jelas sebuah garis demarkasi. Mereka terlihat asing dengan istilah gambut, bias pun terjadi. Bahkan pada sebagian masyarakat yang mengaku telah mendapatkan penyuluhan tentang restorasi gambut, mereka berpendapat lahan gambut adalah rawa yang sudah dikelola jadi perkebunan sawit, HTI atau lahan pertanian milik para transmigran.
Padahal jika ditelisik, rawa gambut adalah bagian dari rawang atau yang biasa disebut sebagai “lebak berayun” atau “rawa berayun”; yang punya arti lahan rawa atau lebak yang jika diinjak membuat tubuh seperti digoyang.
Rawang sebagai Identitas
Bagi masyarakat Melayu di Sumatera dan Semenanjung Malaysia, rawang bukan sebatas penyebutan wilayah lahan basah atau rawa. Rawang telah menjelma menjadi penyebutan sebuah identitas sebuah komunitas atau masyarakat, yang hidup di kawasan tersebut.
Hasil penelusuran penulis maka banyak nama permukiman, dari dusun, desa hingga kota yang menggunakan kata “rawang”. Di seantero Sumatera misalnya, nama rawang mudah dijumpai. Ada Rawang Besar di Kabupaten OKI. Ada desa Rawang di Padang Selatan dan Pariaman, Rawang Air Putih dan Rawang Kao di Siak. Rawang Baru, Rawang Lama dan, Rawang Pasar di Asahan.
Ada nama Rawang Binjai dan Rawang Bonto di Kuantan Singingi dan Rawang Sari di Pelalawan. Di Aceh Utara ada Rawang Itik, hingga Hampan Rawang di Sungai Penuh, Kerinci, Jambi. Di Malaysia, ada kota bernama Rawang yang masuk negara bagian Selangor.
Semua penyebutan nama “rawang” merujuk pada lokasi permukiman yang dulunya adalah kawasan lahan basah, entah berupa lebak, rawa, dan gambut.
Rawang juga merujuk pada konotasi kawasan lahan basah yang bebas diakses. Jika pun terjadi pembatasan, lebih melihat penghormatan pada seseorang yang lebih dahulu mengakses satu wilayah di rawang. Tidak ada perizinan atau tanda kepemilikan pada lahan ini.
Baca juga: Masyarakat Rawang yang Perlahan Kehilangan Tempat Hidupnya
Dr. Edwin Martin, peneliti Balai Litbang LHK Palembang, awal September 2018, menyebut sudah seharusnya restorasi gambut di Indonesia, -khususnya di Sumatera Selatan, dilakukan dengan mengarah pengembalian kepada identitas rawang.
“Rawang adalah ekosistem kompleks lahan basah dimana ada keseimbangan hasil-hasil alam dan kebutuhan manusia sekitarnya. Rawang mengandung makna intrinsik wilayah basah, kaya, subur dan tempat kembali damai. Kemana titik restorasi gambut hendak diarahkan? Secara ideal seharusnya kembali ke konteks rawang ini,” ungkapnya saat itu.
Harapan Edwin ini menurut penulis cukup beralasan. Sebab berbagai program restorasi gambut saat ini sasarannya lebih fokus pada pengelolaan kawasan konservasi, wilayah konsesi dan HGU yang semuanya sulit untuk diakses oleh komunitas rawang, yang akibatnya mereka jauh dari jangkauan pembangunan.
Pada tahun 2018, desa-desa yang berada di Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) mengalami kebakaran lahan seperti tahun sebelumnya, seperti Cengal, Mesuji dan Tulungselapan, -yang semuanya merupakan permukiman tempat komunitas rawang-nya masih ada. Nyaris mereka tidak pernah tersentuh oleh program pemberdayaan.
Di sisi lain, pemberdayaan ekonomi cenderung berorientasi pada pengelolaan lahan gambut. Program yang didukung terbatas pada pertanian, perkebunan atau kegiatan ekonomi yang berbasis lahan. Akibatnya program ini hanya dapat diterima masyarakat transmigran yang sejak awal “dipaksa” mengelola lahan gambut.
Tak heran, jika muncul program pemeliharaan sapi atau kambing, yang merupakan tradisi masyarakat yang hidup di tanah mineral. Demikian juga menanam nenas atau jagung; yang jelas sama sekali bukan tradisi dari orang rawang.
Dapat dikatakan sedikit sekali program yang menyentuh komunitas rawang. Jika pun ada, mungkin hanya tradisi anyaman saja yang didukung; meski pasarnya belum tampak menjanjikan.
Di komunitas rawang, dikenal anyaman purun, pandan, rotan dan bambu, semua tumbuhan yang banyak dijumpai dan cepat tumbuh di daerah rawa. Anyaman ini dirangkai menjadi beragam peralatan rumah tangga, tempat tidur, hingga alat memancing dan berkebun.
Tradisi anyaman ini lalu diadopsi oleh masyarakat di tepi sungai, yang pada saat terjadi perpindahan permukiman ke wilayah darat, tradisi ini pun turut berkembang di desa-desa tersebut.
Baca juga: Wong Rawang, Membaca Jejak Keberadaan Mereka di Lahan Gambut
Orang rawang, tinggal di rumah atau pondok bertiang yang ada di atas permukaan air. Transportasi yang mereka gunakan adalah perahu berukuran kecil tanpa mesin, yang dapat dinaiki dua orang. Untuk bertahan hidup di daerah rawa, mereka mencari ikan dengan cara memancing yang disebut bekarang.
Dalam bekarang dikenal proses menguras genangan air di rawa dangkal dengan cara disekat, juga terjadi proses pemilihan ikan. Ikan diambil yang berukuran besar, yang berukuran kecil dibiarkan hidup. Uniknya, tidak semua ukuran ikan dapat memakan umpan yang berada di pancing.
Dalam tradisi cocok tanam, komunitas rawang baru melakukan penanaman pada saat musim kemarau. Di rawa kering atau gambut dangkal, mereka menanam labu dan terong-terongan, serta menabur padi yang disebut sonor, yang sekarang sudah dilarang karena ada aktifitas membakar lahan sebelum penaburan benih padi dilakukan.
Orang rawang juga tidak memiliki tradisi makan makanan hewan berkaki empat. Sebaliknya mereka memiliki tradisi olah beragam ikan yang menghasilkan berbagai ragam kuliner seperti sale atau ikan asap, pekasem, ikan asin hingga terasi. Semua olahan ini menjaga agar ikan yang ditangkap tidak cepat membusuk, tapi dapat disimpan untuk waktu yang lama.
Kekayaan hasil sagu dari pohon aren pun mereka kombinasikan dengan ikan melahirkan kuliner yang eksis dan terkenal: pempek. Sangat dipercaya, pempek yang dulunya disebut lenjeran, adalah makanan pokok masyarakat Nusantara, sebelum hadirnya padi sebagai sumber makanan.
Pempek, -seperti halnya dendeng, dapat disimpan berhari-hari selama seseorang melakukan perjalanan. Jika pun kering, makanan ini tidak langsung dibuang. Setelah diiris-iris, dapat dijadikan kerupuk, yang dulunya cukup dibakar di atas bara api, tak perlu harus digoreng dengan menggunakan minyak kelapa atau sawit seperti sekarang ini.
Beragam tradisi cara hidup, bercocok tanam dan olah pangan komunitas rawang yang diwariskan selama bergenerasi telah menjelma menjadi pengetahuan untuk hidup bertahan di lahan basah.
Penulis percaya berbagai tradisi komunitas di daerah rawang, telah turut berkontribusi dan memperkaya kebudayaan masyarakat lahan basah atau maritim yang ada di Indonesia dan Asia Tenggara. Seharusnya ini menjadi modal dalam upaya menjaga dan memperbaiki bentang alam yang terlanjur rusak.
Sudah waktunya berbagai pengetahuan ini difasilitasi, -bukannya dimatikan, ketika diperhadapkan dengan program lahan gambut. Jika tidak, maka ini akan menjadi pertanda keselarasan identitas rawang dan restorasi gambut di Sumatera Selatan menuju kepada kepunahan.
Foto utama: Ilustrasi nelayan tradisional Sungai Sebangau, Kalimantan Tengah, mencari ikan dengan cara memancing atau memasang perangkap ikan yang lestari. Foto: Taufik Wijaya
* Taufik Wijaya, penulis adalah pengamat sosial, jurnalis dan sastrawan. Tinggal di Palembang. Artikel ini merupakan opini penulis.